31 August 2022 5447
Life Reinsurance

Fenomena Antibody Dependent Enhancement (ADE) pada Sistem Imun

Sistem imun manusia terdiri atas berbagai rangkaian mekanisme tubuh yang kompleks, dan setiap individu memiliki mekanisme serta respon sistem imun yang berbeda-beda. Perbedaan sistem imun inilah yang menyebabkan respon setiap individu dapat berbeda-beda saat terinfeksi suatu penyakit, atau saat menerima suatu vaksinasi. Bisa saja, satu individu mengalami gejala ringan saat terinfeksi suatu penyakit, sementara individu lainnya mengalami gejala berat padahal dia terinfeksi penyakit yang sama. Bisa saja, satu individu mengalami efek samping ringan saat menerima suatu vaksin, sementara individu lainnya mengalami efek samping berat padahal dia menerima vaksin yang sama.

Perbedaan mekanisme dan respon sistem imun tersebut pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan mekanisme dan respon dari antibodi yang dimiliki oleh tubuh kita. Oleh karena itu, sebelum dapat memahami potensi perbedaan dari mekanisme dan respon sistem imun, kita terlebih dahulu harus memahami peranan antibodi dalam sistem imun tubuh kita.

Ketika suatu patogen memasuki tubuh kita, sistem imun kita akan memberikan respon dengan melibatkan berbagai sel dan protein. Pada awal masa infeksi, sistem imun yang akan bekerja adalah innate immunity, yaitu sistem imun ‘general’ yang masih belum bersifat spesifik ataupun terarah pada patogen tertentu. Dengan kata lain, innate immunity ini memang akan mengenali patogen sebagai suatu benda asing, namun, innate immunity ini masih belum memiliki kemampuan untuk mewaspadai keberadaan patogen tersebut.

Seiring berjalannya waktu, sistem imun kita yang cerdas ini akan beradaptasi menjadi sistem imun spesifik yang dikenal sebagai adaptive immunity. Sistem imun ini akan beraksi secara spesifik kepada suatu patogen, dan akan mengikat patogen tersebut agar tidak masuk dan menginfeksi sel-sel tubuh kita lebih lanjut. Nah, antibodi kita merupakan bagian dari adaptive immunity, yang mana keberadaannya diharapkan dapat mengikat patogen, untuk mencegahnya memasuki dan menginfeksi sel-sel tubuh kita. Antibodi yang berperan dalam mekanisme ini dikenal sebagai neutralizing antibody.

Secara umum, antibodi merupakan ‘garda pertahanan terdepan’ dari sistem imun, di mana, antibodi ini akan mendeteksi keberadaan dan memerangi patogen penyebab infeksi yang masuk ke tubuh kita. Antibodi sendiri dapat muncul sebagai respon atas infeksi yang sebelumnya kita derita, atau sebagai respon atas vaksinasi yang kita terima. Dalam hal ini, antibodi yang muncul akan bersifat spesifik atas suatu penyakit. Misalnya, antibodi atas SARS-CoV-2 (patogen penyebab Covid) hanya akan muncul apabila kita pernah terinfeksi Covid, atau pernah menerima Vaksin Covid sebelumnya.

Kita tentu berharap bahwa keberadaan antibodi dapat membantu tubuh kita untuk memerangi suatu infeksi yang sama, apabila di kemudian hari kita terpapar patogen yang sama. Nyatanya, hal tersebut tidak selalu terjadi. Terdapat suatu fenomena yang justru harus kita waspadai apabila kita telah memiliki antibodi spesifik terhadap suatu penyakit. Fenomena tersebut dikenal sebagai Antibody Dependent Enhancement (ADE).

Fenomena ADE ini dapat terjadi dalam suatu kondisi khusus yang tidak diketahui dengan pasti sebabnya dan tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi, di mana, keberadaan antibodi spesifik tersebut justru akan membuat tubuh kita menjadi lebih rentan terinfeksi, atau dapat terinfeksi dengan lebih berat. Antibodi yang dihasilkan oleh sistem imun kita memang dapat mengingat dan berikatan dengan patogen tersebut, namun, bukannya melawan dan mencegah terjadinya infeksi, antibodi tersebut justru akan menjadi ‘Kuda Troya’ yang akan membuka gerbang bagi patogen untuk dapat masuk ke dalam sel kita, menginfeksi sel-sel tubuh kita, dan memperburuk respon imun tubuh kita terhadap patogen tersebut.

Fenomena ADE ini sebenarnya bukanlah fenomena yang baru. Meskipun demikian, fenomena ADE ini memang kembali menjadi topik diskusi yang hangat di era Pandemi Covid, terutama sejak mulai dikembangkannya Vaksin Covid. Fenomena ADE dikhawatirkan justru akan membuat penyintas Covid atau penerima Vaksin Covid menjadi lebih rentan terinfeksi Covid, jika dibandingkan dengan populasi non-penyintas atau populasi yang belum menerima Vaksin Covid. Dalam hal ini, apabila seorang penyintas Covid kembali terinfeksi Covid, gejala yang dideritanya saat mengalami reinfeksi dapat menjadi lebih berat, atau, apabila seorang penerima Vaksin Covid terinfeksi Covid, gejala yang dideritanya saat mengalami infeksi dapat lebih berat.

Bagaimana hipotesis tersebut dapat muncul?

Secara umum, vaksin bekerja dengan menginduksi neutralizing antibody. Tujuan utama dari pemberian vaksin memang bukan mencegah individu tersebut untuk tidak terinfeksi suatu penyakit, melainkan, untuk dapat menghindarkan individu tersebut dari mengalami gejala yang berat apabila terinfeksi suatu penyakit. Dalam hal ini, best scenario-nya adalah diharapkan penerima vaksin yang terinfeksi tidak akan mengalami gejala, atau setidaknya hanya mengalami gejala yang ringan saja.

Meskipun demikian, kita tidak dapat mengharapkan best scenario dapat terjadi pada 100% penerima vaksin. Dalam kasus-kasus tertentu, terdapat kondisi di mana penerima vaksin tetap akan mengalami gejala yang relatif berat atau bahkan mengalami komplikasi, padahal dirinya telah menerima vaksin dosis lengkap atas penyakit tersebut. Kondisi ini dikenal sebagai ‘breakthrough illness’, dan kondisi ini dapat terjadi apabila karena suatu ‘unidentified cause’, vaksin yang diterimanya tidak dapat menginduksi tingkat kekebalan yang cukup tinggi untuk dapat mencegah terjadinya suatu infeksi.
Dalam skenario yang lebih ekstrim, seorang individu dapat mengalami ADE, yaitu ketika antibodi yang dimilikinya –baik dari riwayat infeksi sebelumnya atau dari vaksin yang diterimanya- justru akan ‘membantu’ virus untuk menginfeksi sel-sel tubuhnya. Antibodi ini mengikat virus bukan untuk melumpuhkannya, namun justru untuk membawanya ke dalam sel-sel tubuh kita, dan pada akhirnya akan membantu si virus menginfeksi sel-sel tersebut. Pada akhirnya, mekanisme ADE ini akan membuat individu mengalami gejala yang lebih berat atau bahkan komplikasi saat terinfeksi suatu penyakit.

Kekhawatiran munculnya fenomena ADE pada penyintas Covid dan Vaksin Covid ini bukannya tanpa alasan. Fenomena ADE terbukti pernah muncul pada beberapa penyakit dan vaksin sebelumnya, salah satunya adalah pada Infeksi Dengue dan Vaksin Dengue. Infeksi Dengue adalah salah satu infeksi paling umum di dunia, yang setiap tahunnya menginfeksi ratusan juta orang dan menyebabkan fatalitas pada puluhan ribu penderitanya. Penyebab dari fenomena ADE pada kasus Dengue ini diperkirakan karena Virus Dengue memiliki empat serotype yang berbeda, yang dapat mempengaruhi kerja dari antibodi kita.

Ketika seseorang terinfeksi oleh satu serotype Virus Dengue, orang tersebut akan memiliki neutralizing antibody atas serotype tersebut. Jika di kemudian hari orang tersebut kembali terinfeksi Virus Dengue dengan serotype yang berbeda, neutralizing antibody tersebut akan mengikat Virus Dengue yang masuk, namun bukan untuk melumpuhkan si virus, melainkan untuk membantu virus tersebut masuk ke dalam sel tubuh dan menimbulkan Infeksi Dengue yang lebih berat jika dibandingkan dengan Infeksi Dengue pertama.

Kasus ADE pada Vaksin Dengue pernah terjadi pada tahun 2016 di Filipina. Sebanyak 800,000 anak menerima Vaksin Dengue, dan 14 anak di antaranya meninggal dunia setelah terinfeksi Virus Dengue. Diduga, anak-anak yang meninggal dunia tersebut mengembangkan respon antibodi yang tidak mampu menetralisir Virus Dengue yang menginfeksinya.
Selain dari Vaksin Dengue, Vaksin Respiratory Syncytial Virus (RSV) juga tercatat pernah menimbulkan kejadian ADE. RSV merupakan virus yang sering menyebabkan kejadian pneumonia pada anak. Vaksin RSV dikembangkan dengan dengan menumbuhkan RSV, memurnikannya, dan menonaktifkannya dengan chemical formaldehyde. Uji klinis yang dilakukan menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima Vaksin RSV justru berpotensi mengalami komplikasi pneumonia dan meninggal dunia saat terinfeksi RSV. Kejadian ini pada akhirnya menyebabkan uji coba Vaksin RSV dihentikan, dan sampai saat ini, Vaksin RSV ini tidak pernah disetujui serta dirilis ke publik.

Kejadian ADE juga pernah terjadi pada versi awal Vaksin Campak. Vaksin Campak versi awal ini dikembangkan dengan menonaktifkan Virus Campak menggunakan chemical formaldehyde. Pemberian Vaksin Campak versi awal ini kepada anak-anak justru menyebabkan anak-anak tersebut mengalami demam tinggi, ruam kulit yang tidak biasa, serta atypical pneumonia saat terinfeksi Virus Campak. Setelah kejadian tersebut, Vaksin Campak versi awal ini ditarik dari peredaran. Anak-anak yang sebelumnya menerima Vaksin Campak versi awal ini akhirnya direkomendasikan untuk divaksin kembali dengan Vaksin Campak versi baru, yang sampai saat ini masih digunakan di masyarakat.

Potensi fenomena ADE tidak harus membuat kita khawatir berlebih, apalagi sampai menolak untuk menerima vaksin, karena pada dasarnya, vaksin rutin yang selama ini direkomendasikan otoritas kesehatan dan Pemerintah, telah lolos dari screening ADE yang dilakukan pada uji klinis fase III, yang memang diperuntukkan agar potensi efek samping dari vaksin dapat teridentifikasi. Pun pada pengembangan Vaksin Covid merk apapun, screening ADE juga telah dilakukan, dan sampai saat ini, tidak ditemukan adanya bukti kejadian ADE pada manusia yang menerima Vaksin Covid merk apapun.
Pada manusia? Lalu, apakah kejadian ADE pernah terjadi pada mahluk lain yang terlibat pada pengembangan Vaksin Covid?

Studi yang dilakukan oleh Wang et al menunjukkan adanya potensi kejadian ADE pada hewan coba yang diberikan Vaksin Covid. Dari empat B-cell peptide epitopes SARS-CoV S protein yang diberikan kepada kera selaku hewan coba, tiga peptide terbukti dapat memicu kemunculan antibodi yang bersifat protektif pada si kera. Meskipun demikian, satu peptide lainnya terbukti justru meningkatkan infeksi in vitro dan menyebabkan kerusakan patologi paru secara in vivo yang lebih berat ketimbang kelompok kontrol.

Studi Vaksinasi SARS-CoV pada hewan coba menunjukkan hasil yang sangat bervariasi dalam hal kemanjuran, proteksi, immunopathology, dan potensi kejadian ADE. Meskipun demikian, bukti bahwa pemberian vaksin mampu menghasilkan neutralizing antibody atas protein S tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, pemberian Vaksin Covid pada manusia harus difokuskan pada strategi peningkatan titer neutralizing antibody yang signifikan, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan potensi proteksi dari infeksi, serta meminimalisir risiko terjadinya ADE.

Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI, FINASIM selaku Ketua Tim Advokasi Vaksinasi COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada bukti terjadinya ADE pada vaksin yang telah didistribusikan secara global. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Kusnandi Rusmil, Sp.A (K), MM selaku Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang juga merupakan Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin COVID-19 Universitas Padjajaran. Beliau menyatakan bahwa sejauh ini, fenomena ADE pada kasus SARS, MERS, Ebola, dan HIV hanya ditemukan secara in silico (simulasi komputer) dan in vitro (percobaan pada cawan petri di laboratorium).

Jadi teman-teman, kita dapat menerima Vaksin Covid dan vaksin-vaksin lainnya tanpa rasa khawatir berlebih ya. Belum ada bukti kuat yang dapat memvalidasi kekhawatiran potensi ADE atas vaksin-vaksin yang saat ini beredar di masyarakat. Jadi, apabila terdapat efek samping setelah menerima vaksin, jangan lantas berasumsi bahwa itu adalah kejadian ADE. Apabila kita justru terinfeksi penyakit setelah menerima vaksin, juga jangan lantas berasumsi bahwa infeksi itu disebabkan oleh vaksin, dan itu adalah bagian dari fenomena ADE. Para ilmuwan dan otoritas kesehatan yang berwenang akan senantiasa melakukan pemantauan atas potensi ADE pada penyakit infeksi dan vaksin-vaksin yang beredar. Apabila terdapat indikasi potensi kejadian ADE, pasti temuan tersebut akan dipublikasikan dan vaksin yang beredar akan langsung ditarik.

Stay safe and healthy, semuanya!
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id