Pada hari Kamis 18 Juni 2021, data penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia menunjukkan adanya penambahan kasus baru sebanyak 12,624 kasus, sehingga total kasus COVID-19 di Indonesia telah mencapai 1,950,276 kasus. Penambahan kasus tersebut merupakan penambahan kasus terbanyak di Indonesia sejak akhir Januari 2021. Setelah kurva penambahan kasus COVID-19 di tanah air sempat melandai selama beberapa waktu, kini kurva tersebut kembali memuncak dan diprediksi dapat lebih parah jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan pandemi COVID-19 saat ini?
Berdasarkan data serta mengutip pernyataan dari beberapa ahli yang ada, lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia diperkirakan disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah adanya hari raya keagamaan serta beberapa hari libur nasional beberapa waktu yang lalu. Berdasarkan data statistik yang ada, kenaikan kasus pasca Hari Raya Idul Fitri 2021 secara nasional berada di angka 112.22%. Kenaikan tersebut bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan kasus pasca Hari Raya Idul Fitri 2020 yang berada di angka 93.11%.
Faktor kedua yang diduga turut menjadi penyebab lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia adalah fenomena pandemic fatigue yang turut melanda masyarakat Indonesia. Fenomena ini merujuk kepada ‘rasa lelah’ masyarakat yang diakibatkan oleh kondisi pandemi yang berkepanjangan. Di awal pandemi, masyarakat masih didominasi oleh kekhawatiran akan penyakit yang belum mereka kenal, sehingga mereka cenderung lebih patuh terhadap protokol kesehatan yang ada. Sementara saat ini, di saat pandemi COVID-19 telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, masyarakat cenderung telah ‘beradaptasi’ akan kekhawatiran tersebut dan merasa ‘lelah’ akan keharusan untuk terus menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-harinya. Bukti dari abainya masyarakat ini dapat kita lihat dari adanya penurunan angka kepatuhan penggunaan masker serta berbagai kerumunan yang muncul di masyarakat. Keabaian ini juga diperberat dengan telah hadirnya vaksin COVID-19 di masyarakat, yang mana membuat masyarakat merasa ‘aman’ untuk mengabaikan protokol kesehatan.
Faktor ketiga yang juga diprediksi menjadi penyebab dari lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia adalah kemunculan varian mutasi SARS-CoV-2 yang dikenal sebagai varian B.1.617 alias Varian Delta. Varian ini pertama kali terdeteksi di India, dan hingga saat ini, Varian Delta disebutkan telah menyebar ke lebih dari 80 negara di seluruh dunia. Varian Delta ini sendiri telah masuk ke dalam kelompok variant of concern (VOC) yang berarti bahwa Varian Delta ini merupakan ancaman global yang serius, yang dapat dilihat dari kecepatan penularan serta dampak yang disebabkan oleh Varian Delta terhadap pandemi ini.
Maria Van Kerhove selaku Petinggi Teknis WHO untuk penanganan pandemi COVID-19 juga menyebutkan adanya bukti dari data statisti serta studi-studi terbaru yang menunjukkan bahwa Varian Delta ini lebih menular dan menimbulkan gejala yang lebih berat jika dibandingkan dengan varian lainnya. Maria bahkan menyebutkan bahwa telah terjadi mutasi lanjutan dari Varian Delta sendiri, yang disebut sebagai Varian Delta Plus, di mana kemampuan varian tersebut untuk menginfeksi menjadi lebih advance untuk menginfeksi manusia.
Public Health England (PHE) bahkan melaporkan bahwa Varian Delta ternyata memiliki kemampuan penularan lebih tinggi –sekitar 1.6 kali- jika dibandingkan dengan Varian Alpha yang sebelumnya ditemukan di Inggris. Berbagai otoritas kesehatan di dunia termasuk Indonesia juga menyebutkan bahwa Varian Delta ini cenderung membuat penderitanya lebih bergejala dan membutuhkan perawatan di RS. Walaupun demikian, hingga kini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Varian Delta ini menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi.
Kemampuan lain dari Varian Delta adalah kemampuannya untuk dapat menetralisir antibodi terhadap SARS-CoV-2. Kemampuan tersebut disebutkan lebih kuat jika dibandingkan dengan kemampuan varian-varian mutasi lainnya. Seseorang akan memperoleh antibodi melalui riwayat infeksi sebelumnya atau melalui proses vaksinasi. Dengan kemampuan netralisir antibodinya, Varian Delta akan mampu menyebabkan reinfeksi pada penyintas COVID-19. Hal ini telah dibuktikan melalui data statistik yang menunjukkan bahwa angka reinfeksi pada penyintas jauh lebih tinggi jika dibandingkan pada saat Varian Delta belum teridentifikasi.
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah kemampuan Varian Delta untuk menetralisir antibodi yang terbentuk melalui proses vaksinasi. Memang, vaksinasi tidak akan membuat kita kebal terhadap infeksi, namun setidaknya akan membuat kita terhindar dari gejala berat saat terinfeksi. Sayangnya, Varian Delta dilaporkan mampu membuat penderitanya bergejala cukup berat, bahkan mereka yang sebelumnya telah menerima vaksinasi COVID-19 dosis lengkap.
Dikutip dari pernyataan Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Varian Delta ini memang telah terbukti ditemukan di Indonesia, bahkan dilaporkan, Varian Delta ini telah mendominasi penambahan kasus di Jakarta, Kudus, dan Bangkalan. Budi juga mengatakan bahwa masuknya Varian Delta di Indonesia diperkirakan disebabkan oleh banyaknya pekerja migran yang kembali ke Tanah Air melalui pelabuhan laut. Karena, berbeda dari protokol penjagaan yang ketat di pelabuhan udara, pengawasan di pelabuhan laut cenderung lebih sulit dikarenakan banyaknya kapal yang mengangkut barang.
Dengan melihat telah hadirnya Varian Delta di antara kita, Indonesia harus memiliki strategi penanganan yang lebih sigap dan serius. Strategi penanganan pertama yang harus diambil adalah membuat aturan tegas yang mengawal pengetatan protokol kesehatan di masyarakat. Upaya active cases finding harus kembali digencarkan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk di lingkungan perkantoran, karena, mau tidak mau harus diakui bahwa perkantoran lah yang saat ini menyumbang angka mobilitas masyarakat tertinggi di Indonesia, yang mana, dapat menjadi sumber penyebaran atau bahkan klaster penularan COVID-19.
Masyarakat juga harus mau melihat dan mengakui bahwa situasi pandemi ini sedang mengalami perburukan. Sehingga, diharapkan mereka dapat lebih memiliki kesadaran, sense of crisis, serta konsistensi dalam menerapkan protokol kesehatan. Karena, jika masyarakat terus abai dan meremehkan COVID-19, bukan tidak mungkin situasi pandemi ini masih akan terus mengalami perburukan.
Strategi penanganan yang kedua adalah harus dipersiapkannya sejumlah fasilitas kesehatan darurat yang mampu mengakomodir karantina, isolasi, serta perawatan penderita COVID-19 sebelum dirujuk ke RS berskala besar. Dalam hal ini, pemerintah dapat membangun beberapa RS Darurat COVID-19 (RSDC) di beberapa daerah yang sedang mengalami lonjakan kasus. Hal ini dimaksudkan agar tidak semua penderita COVID-19 melakukan perawatan di RS rujukan COVID-19. Sebaiknya, hanya penderita bergejala berat, kritis, atau yang membutuhkan perawatan intensif saja yang ditangani di RS rujukan COVID-19. Sedangkan penderita lainnya dapat melakukan perawatan secara berjenjang.
Jika fasilitas kesehatan darurat tidak dipersiapkan, dikhawatirkan sistem pelayanan kesehatan Indonesia akan segera mengalami kolaps. Seperti yang disampaikan oleh dr. Masdalina Pane selaku Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), kejadian kolaps diperkirakan akan terjadi dalam kurun waktu dua hingga empat minggu mendatang, jika penanganan yang serius tidak segera diambil. Kolaps dapat terjadi apabila fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tidak dapat lagi menangani dan melayani masyarakat yang membutuhkan perawatan kesehatan. Apabila nantinya kolaps benar terjadi, masyarakat akan semakin sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk di antaranya akan sulit mendapatkan obat-obatan serta akses ke alat kesehatan seperti ventilator.
Strategi penanganan yang ketiga adalah melakukan akselerasi dalam program vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, akselerasi vaksinasi akan dilakukan dengan target pemberian 700,000 dosis vaksin per-harinya di bulan ini, dan diakselerasi kembali menjadi 1 juta dosis vaksin per-harinya di bulan depan.
Yang terpenting yang harus kita selalu ingat adalah COVID-19 merupakan penyakit komunal, yang mana penyebarannya sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakat menyikapinya. Apabila seluruh masyarakat berkomitmen untuk menerapkan protokol kesehatan dengan baik, tentunya COVID-19 dapat kita cegah penyebarannya. Namun apabila kita masih terus abai dan menganggap remeh pandemi ini, tentunya ujung dari pandemi ini akan semakin jauh dari jangkauan.
Yuk, teman-teman, kita sama-sama berpartisipasi aktif untuk menanggulangi pandemi ini! Karena hanya dengan bersama, kita bisa melakukannya J
********