28 February 2025
99
Life Reinsurance
Memahami Perubahan Aturan BPJS Kesehatan Serta Pengaruhnya Terhadap Industri Perasuransian Nasional
Pada pertengahan menuju akhir 2024, aturan-aturan terbaru dari BPJS Kesehatan selaku penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) marak diperbincangkan di masyarakat. Pasalnya, terdapat beberapa perubahan penjaminan yang berpotensi menimbulkan perubahan dan dinamika pada pelayanan kesehatan yang difasilitasi oleh BPJS. Meskipun diberlakukan pada Program JKN, perubahan tersebut sedikit banyak tentu akan berdampak bagi Industri Perasuransian selaku penyedia layanan kesehatan swasta.
Mari bersama kita kupas apa saja perubahan yang menjadi perhatian bagi masyarakat, serta potensi dampak dari perubahan tersebut kepada Industri Perasuransian.
Pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)
Pemerintah mengumumkan akan menghapus kelas BPJS Kesehatan dan menggantinya menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025. Sebelumnya, BPJS Kesehatan memberlakukan kelas rawat inap yang dikategorikan menjadi Kelas 1, 2, dan 3 sesuai pembayaran yang dilakukan dan fasilitas yang diperoleh. Dengan nominal pembayaran yang berbeda, pasien akan menerima fasilitas yang berbeda pula, misalnya, pasien yang membayar iuran untuk Kelas 1 akan menjalani rawat inap di kamar berkapasitas 2 – 4 orang sementara pasien yang membayar iuran untuk Kelas 2 akan menjalani rawat inap di kamar berkapasitas 3 – 5 orang.
Penghapusan kelas BPJS Kesehatan tertuang melalui Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sistem KRIS nantinya akan memberikan fasilitas yang sama kepada seluruh peserta BPJS Kesehatan, baik di rumah sakit milik Kementerian Kesehatan maupun rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Nantinya, pasien BPJS Kesehatan akan menempati kamar rawat inap dengan kapasitas maksimal 4 (empat) tempat tidur, dengan pengelompokkan kamar sesuai dengan jenis kelamin dan penyakit pasien.
Selain ketentuan kamar rawat inap, besaran iuran bagi peserta program Jaminan Kesehatan Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan mengalami penyesuaian. Penetapan tersebut nantinya didasarkan pada hasil evaluasi dan koordinasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap. Sistem KRIS sendiri akan diterapkan secara bertahap dan targetnya selesai pada 30 Juni 2025 mendatang. Sebelum sistem KRIS diberlakukan secara resmi, maka iuran BPJS Kesehatan sementara masih disesuaikan dengan kelas masing-masing.
Daftar Penyakit Rujukan
Pada pertengahan menuju akhir 2024, beredar informasi di masyarakat terkait 144 jenis penyakit yang tidak dapat dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), di antaranya adalah kejang demam, Malaria, Bronkitis, dan Pneumonia. 144 penyakit yang masuk ke dalam daftar diharapkan dapat selesai penanganannya di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Rizzky Anugerah selaku Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan mengatakan bahwa 144 diagnosis penyakit yang harus tuntas di FKTP telah merujuk pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012. Pasien dengan diagnosis tersebut pada dasarnya masih bisa dirujuk ke rumah sakit sesuai indikasi medis, namun proses dan indikasi rujukan spesialistik harus mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012.
Sebagaimana alur pemeriksaan menggunakan BPJS Kesehatan, peserta perlu ditangani terlebih dahulu oleh dokter di FKTP. FKTP yang dimaksud meliputi puskesmas, klinik, tempat praktik mandiri dokter, tempat praktik mandiri dokter gigi, klinik pratama, atau fasilitas kesehatan yang setara. Jika diperlukan penanganan lebih lanjut spesialistik, FKTP baru akan memberikan rujukan untuk diperiksa lebih lanjut di rumah sakit atau FKRTL.
Kategori Kondisi Gawat Darurat
Salah satu isu yang merebak dan menimbulkan kebingungan masyarakat adalah definisi kondisi gawat darurat menurut BPJS. Menurut BPJS Kesehatan, kondisi gawat darurat adalah suatu keadaan klinis yang membutuhkan penanganan medis segera untuk mencegah kematian atau kecacatan serius. Kriteria gawat darurat yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan merujuk kepada Peraturan Kementerian Kesehatan No. 47 Tahun 2018. Kondisi gawat darurat seorang pasien akan ditentukan oleh DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan) dan bukan ditentukan oleh pasien, keluarga, maupun BPJS Kesehatan.
Beberapa contoh kondisi gawat darurat yang diakui oleh BPJS Kesehatan di antaranya adalah serangan jantung, stroke, cedera berat, diare profus lebih dari 10 hari, muntah profus lebih dari 6 hari, typhus dengan komplikasi, serta kejang dengan penurunan kesadaran. Dalam kondisi gawat darurat, peserta BPJS dapat langsung menuju UGD rumah sakit tanpa rujukan terlebih dahulu. Namun, apabila pasien tidak mengalami kondisi gawat darurat, maka pasien tidak dapat menerima perawatan di Unit Gawat Darurat (UGD) dan harus melalui prosedur perawatan sesuai dengan ketentuan BPJS Kesehatan (poliklinik di FKTP dan berjenjang). Apabila pasien tetap bersikukuh untuk menerima perawatan di UGD, maka perawatannya tidak dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Pada dasarnya, kebijakan BPJS Kesehatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa FKTP mampu menangani berbagai masalah kesehatan dasar secara efektif, sehingga mengurangi beban pada FKRTL. Meskipun demikian, di sisi lain implementasi kebijakan tersebut juga mendorong ‘concern’ akan kecukupan kapasitas dan sumber daya yang diperlukan oleh FKTP untuk mengelola berbagai kondisi dengan efektivitas yang diharapkan. Selain itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan akan membuat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan akan menurun atau tidak sebaik sebelumnya.
Dalam pernyataannya di acara Semangat Awal Tahun 2025, Budi Sadikin selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) mengakui bahwa pada dasarnya BPJS Kesehatan memang tidak akan dapat menjamin seluruh jenis penyakit. Untuk itu, dia mengimbau agar masyarakat dapat memiliki asuransi kesehatan selain BPJS Kesehatan. Budi Sadikin menyampaikan bahwa untuk kejadian/penyakit yang tidak dapat di-cover oleh BPJS Kesehatan idealnya di-cover oleh asuransi di atasnya. Saat ini Kementerian Kesehatan tengah menggodok skema yang dapat melibatkan asuransi swasta untuk dapat menanggung pengobatan yang tidak termasuk dalam BPJS.
Pernyataan Menkes RI tentu akan membawa dinamika bagi Industri Perasuransian. Di satu sisi, dengan adanya kondisi-kondisi yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan dan ‘dorongan’ dari Pemerintah agar Masyarakat Indonesia memiliki asuransi kesehatan, tentu minat dan awareness dari Masyarakat Indonesia untuk memiliki asuransi -khususnya asuransi kesehatan- akan meningkat. Di sisi lain, harus diakui bahwa penjaminan yang selama ini dilakukan oleh BPJS Kesehatan telah membawanya untuk mengalami defisit hingga Triliunan Rupiah.
Ali Ghufron selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan terancam mengalami defisit hingga Rp20 Triliun dikarenakan peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan dari 252 utilisasi/hari menjadi 1.7 juta utilisasi/hari. Kondisi ‘over-utilization’ ini tentu harus menjadi ‘early-warning’ bagi pelaku perasuransian dan menjadi pertimbangan besar pada saat perumusan skema kolaborasi antara perusahaan asuransi dengan BPJS Kesehatan.
Implementasi kebijakan baru dari BPJS Kesehatan dapat menjadi ‘pisau bermata dua’ bagi Industri Perasuransian. Pada satu sisi, Industri Perasuransian akan mendapatkan angin segar untuk meraih lebih banyak perhatian dan pangsa pasar baru. Meskipun demikian, pelaku perasuransian tetap harus berhati-hati dalam perumusan kebijakan penjaminan, termasuk di antaranya penyusunan ketentuan polis, pengecualian polis, alur rujukan, dan tarif premi. Pada akhirnya, sinergi antara BPJS Kesehatan dengan Industri Perasuransian diharapkan akan mampu menciptakan ketahanan kesehatan yang kokoh bagi seluruh Masyarakat Indonesia.