02 June 2025
119
Knowledge
Waspada Antraks Menjelang Idul Adha
Pada awal Mei 2025, Thailand melaporkan kematian akibat penyakit Antraks. Kematian ini merupakan kematian akibat Antraks yang pertama kali terjadi di Thailand sejak tahun 1994. Tidak hanya menelan korban jiwa, Otoritas Kesehatan Thailand juga melaporkan adanya dua penderita lainnya yang turut terkonfirmasi penyakit Antraks.
Selain itu, Otoritas Kesehatan Thailand juga mengidentifikasi sedikitnya 638 orang yang berpotensi turut terpapar Antraks setelah mengkonsumsi daging merah yang ‘berisiko’. Sebagai tindak preventif, 638 orang tersebut telah menerima antibiotik dan akan menjalani masa observasi.
Kematian manusia akibat Antraks sebenarnya bukan hal yang baru terjadi. Di Indonesia sendiri, penyakit Antraks pernah mencatat kematian sebanyak 599 kasus sepanjang tahun 1992 – 2001, dengan 10 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Kematian terakhir akibat Antraks di Indonesia tercatat terjadi pada tahun 2023 di Yogyakarta.
Pada waktu yang sama, Yogyakarta juga melaporkan 87 warga lainnya yang terkonfirmasi terinfeksi Antraks. Meskipun untuk saat ini Antraks tidak menyebabkan fatalitas yang masif seperti pada kasus Pandemi COVID-19, merebaknya wabah Antraks seharusnya dapat menjadi salah satu wabah yang diantisipasi oleh Pemerintah dan Otoritas Kesehatan Indonesia, terutama menjelang Idul Adha atau Hari Raya Idul Kurban.
Apakah penyakit Antraks itu?
Antraks merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri bernama Bacillus anthracis. Penyakit infeksi ini sangat menular dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang sangat serius.
Penyakit Antraks merupakan penyakit zoonosis, sehingga meskipun pada dasarnya penyakit ini dialami dan berasal dari hewan, penyakit Antraks juga dapat ditularkan dan diderita oleh manusia.
Bagaimana manusia dapat terinfeksi Antraks?
Bakteri Bacillus anthracis merupakan bakteri yang hidup di tanah, oleh karena itu, hewan ternak pemakan rumput seperti sapi, kambing, domba, dan kuda merupakan hewan yang paling rentan terinfeksi Antraks. Apabila manusia berkontak atau memakan daging hewan yang terinfeksi Antraks, manusia tersebut juga dapat terinfeksi penyakit Antraks.
Berdasarkan rute penularannya, penyakit Antraks pada manusia dapat terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu Antraks Kulit, Antraks Saluran Pencernaan, dan Antraks Saluran Pernapasan. Penularan Antraks Kulit dapat terjadi apabila seseorang memiliki luka terbuka pada kulit dan kemudian berkontak dengan hewan yang terinfeksi Antraks. Luka terbuka tersebut akan terpapar bakteri Bacillus anthracis, dan manusia itupun akan terinfeksi Antraks.
Manusia yang menderita Antraks Kulit akan mengalami masa inkubasi selama 1 – 7 hari, dan selanjutnya mengalami gejala seperti kemunculan benjolan di area leher, lengan, dan wajah yang sangat gatal. Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat, Antraks Kulit dapat dikategorikan sebagai Antraks yang ‘relatif jinak’ dan tidak menimbulkan fatalitas.
Antraks Pencernaan dapat dialami oleh manusia yang mengkonsumsi daging hewan yang terinfeksi Antraks. Manusia tersebut akan mengalami masa inkubasi selama 1 – 7 hari, sebelum akhirnya mengalami gejala penyakit seperti mual dan muntah, penurunan nafsu makan, gangguan menelan, nyeri tenggorokan, nyeri perut, demam, nyeri kepala, dan gangguan buang air besar (diare atau BAB berdarah). Meskipun gejalanya masih tergolong moderate dan tidak menyerang organ vital, penderita Antraks Pencernaan yang tidak tertangani dengan cepat dan adekuat berpotensi mengalami risiko fatalitas sebesar 40 – 60%.
Antraks Pernapasan merupakan tipe Antraks yang paling berbahaya. Manusia dapat mengalami Antraks Pernapasan jika menghirup udara yang terkontaminasi bakteri Bacillus anthracis. Biasanya, peternah hewan atau orang yang sering berkontak dengan hewan ternak lah yang paling berisiko mengalami Antraks Pernapasan.
Berbeda dengan dua tipe sebelumnya, Antraks Pernapasan ini cenderung memiliki masa inkubasi yang lebih lama dan range masa inkubasi yang lebih luas, yaitu sekitar 7 hari – 2 bulan setelah paparan. Gejala yang dapat dialami oleh penderita di antaranya adalah demam, nyeri otot, kelelahan, hingga gejala berat seperti sesak napas dan syok. Penderita Antraks Pernapasan juga dapat mengalami komplikasi seperti Meningitis dan gangguan sistem saraf lainnya. Jika dibandingkan dengan dua tipe sebelumnya, Antraks Pernapasan merupakan tipe Antraks yang paling berbahaya dan memiliki fatalitas sekitar 85%.
Pemerintah Indonesia, Kementerian Kesehatan, dan berbagai instansi terkait telah menyikapi potensi penyebaran Antraks melalui beberapa strategi, di antaranya adalah isolasi zona merah untuk membatasi pergerakan ternak dan warga yang berpotensi terinfeksi; vaksinasi hewan ternak; sterilisasi dan disinfeksi lingkungan yang terkontaminasi; serta edukasi dan peningkatan awareness masyarakat akan potensi bahaya mengkonsumsi daging berisiko.
Strategi preventif tersebut selayaknya kembali digiatkan mengingat saat ini kita akan segera memasuki Hari Raya Idul Kurban di mana momentum Idul Kurban ini identik dengan penyembelihan dan pendistribusian hewan kurban dalam jumlah masif.
Mengingat potensi bahaya tersebut, Pemerintah dan Dinas Peternakan direkomendasikan untuk melakukan inspeksi hewan kurban sebelum dijual/didistribusikan, dan hewan kurban juga diharuskan memiliki Sertifikat Kesehatan Hewan. Edukasi masyarakat juga diperlukan agar warga tidak menyembelih hewan yang menunjukkan gejala sakit seperti lemas, demam, dan luka membengkak. Praktik ‘Brandu’ (menyembelih hewan yang mati mendadak) juga sangat dianjurkan untuk tidak dilakukan, mengingat adanya kemungkinan hewan tersebut terinfeksi Antraks.
Selama proses penyembelihan hewan, Pemerintah Daerah dihimbau agar dapat memfasilitasi Dokter Hewan dan Petugas Kesehatan Hewan untuk dapat hadir di lokasi penyembelihan hewan. Apabila terdapat kecurigaan hewan yang disembelih mengalami penyakit, pemeriksaan post-mortem dapat dilakukan untuk melihat organ hewan.
Penanganan bangkai dan limbah penyembelihan hewan juga harus menjadi perhatian khusus. Apabila ditemukan kecurigaan hewan yang disembelih mengalami Antraks, bangkai hewan tersebut tidak boleh disentuh atau dipotong, melainkan harus dikubur di kedalaman tanah yang cukup dalam dengan kapur dan formalin.
Meskipun bukan merupakan penyakit yang ‘baru’, penyakit Antraks tetap menjadi ancaman kesehatan di Indonesia, terutama di daerah dengan praktik peternakan tradisional. Peningkatan kesadaran masyarakat, pengawasan ketat terhadap kesehatan hewan, dan respons cepat dari pemerintah sangat penting untuk mencegah dan mengendalikan wabah Antraks di masa depan.
Penting untuk kita ingat bahwa Hari Raya Idul Adha merupakan momen suci dan salah satu hari besar keagamaan dari Umat Agama Mayoritas di Indonesia. Tetapi, tanpa pengawasan yang memadai, Hari Raya Idul Adha dapat berpotensi menjadi pintu masuk wabah Antraks jika hewan kurban tidak dikelola melalui prosedur kesehatan yang ketat dan tepat.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara Pemerintah, panitia kurban, dan masyarakat untuk menjamin pelaksanaan ibadah yang aman, sehat, dan berkah.
Stay safe and healthy, semuanya!
***