23 November 2021 8703
Life Reinsurance

Mental Health Awareness Di Lingkungan Kerja

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak di antara kita yang menghabiskan waktu untuk bekerja. Bagi kita yang bekerja sebagai pegawai perkantoran, kita menghabiskan waktu setidaknya sebanyak 8 jam dalam satu hari untuk bekerja, dan hal tersebut kita lakukan selama 5 hari dalam satu minggu. Memang pekerjaan telah menjadi salah satu dari top priority dalam kehidupan kita, karena memang dari pekerjaan itulah kita mendapatkan penghasilan dan penghidupan.

Ler1
Sumber foto: www.freepik.com

Dalam dunia pekerjaan, tentunya kita akan menghadapi situasi ups and downs. Saat berada di dalam kondisi ups, kita akan merasa bahwa pekerjaan yang kita lakukan dapat memberikan kesejahteraan, kepuasan, kebahagiaan, bahkan dapat membuat kita merasa mencapai aktualisasi diri. Meskipun demikian, tidak jarang kita akan berada di dalam kondisi downs, seperti misalnya saat kita menghadapi deadline¸ menghadapi tekanan dari atasan atau klien, atau memiliki rekan kerja yang ‘tidak bersahabat’. Perasaan overwhelmed yang berkelanjutan dapat membuat pekerjaan kita menjadi hal yang korosif bagi kesehatan kita, baik itu kesehatan fisik maupun kesehatan mental.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa atau kesehatan mental adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Pada dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk mengelola kesehatan mentalnya, sehingga, pada saat orang tersebut mengalami situasi downs –misalnya, menghadapi stress atau krisis-, orang tersebut dapat mengelola dan menjaga agar kesehatan mentalnya tetap berada dalam kondisi yang baik.

Sayangnya, mengelola kesehatan mental tidak semudah yang dikatakan. Kondisi mental seseorang pun berfluktuatif dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kondisi kesehatan fisik, mood, serta orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Saat kita tidak mampu mengelola stress atau krisis, saat itulah kita dapat mengalami distress, yang dapat mencetuskan terjadinya gangguan mental.
 

Ler2
Sumber foto: www.freepik.com

Gangguan mental didefinisikan sebagai adanya gangguan pada kesehatan mental, berpikir, perilaku, dan emosi yang dialami oleh seseorang, dan telah memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV). Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, penderita gangguan mental dikelompokkan menjadi Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK sendiri mengacu kepada orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sementara itu, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.

Gangguan mental dapat bersifat ringan, sedang, berat, bahkan dapat juga membahayakan hidup. Beberapa hal yang patut kita curigai sebagai tanda dan gejala dari gangguan mental di antaranya adalah ketika kita mulai merasa lelah dan tidak bersemangat dengan kehidupan dan aktivitas harian kita, memburuknya hubungan kita dengan pasangan, keluarga, teman, atau orang-orang lainnya di sekitar kita, perburukan mood atau mood yang fluktuatif selama beberapa minggu terakhir, keinginan untuk menyendiri yang berkepanjangan, tidak memiliki keinginan untuk merawat diri, mengalami gangguan tidur, serta adanya keinginan untuk mengakhiri hidup.

 
Kemunculan gangguan mental sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah adanya penyakit fisik yang kronis, genetik, trauma, adanya pengalaman buruk dalam hidup, kondisi sosial dan ekonomi, serta adanya stress atau krisis dalam kehidupan, termasuk di antaranya stress di lingkungan kerja. Berdasarkan data dan studi yang ada, sebagian besar risiko stress di lingkungan kerja disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan, waktu kerja yang terlalu panjang, tekanan dari klien atau adanya deadline, pekerjaan yang tidak cocok dengan kemampuan atau latar belakang pendidikan kita, serta relasi kita yang tidak baik dengan rekan kerja atau atasan.

Ler3

Sumber foto: www.freepik.com
 
Gangguan mental di lingkungan kerja sayangnya masih sering dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting, dan bukan merupakan bagian dari gangguan kesehatan. Karyawan yang mengalami gangguan mental pun sering kali dianggap sebagai orang yang ‘suka mencari perhatian’ atau orang yang ‘lebay’. Stigma itulah yang menyebabkan orang enggan untuk menyampaikan bahwa dirinya mengalami gangguan mental. Padahal, dampak dari gangguan mental itu tidak kalah besar jika dibandingkan dengan dampak akibat gangguan kesehatan fisik, di mana, gangguan mental pada karyawan dapat mempengaruhi performa kerjanya, kapabilitas, produktivitas, serta relasi dari karyawan tersebut dengan para koleganya. Selain itu, berdasarkan studi yang ada, karyawan yang mengalami gangguan mental cenderung lebih mungkin menderita gangguan kesehatan fisik, seperti di antaranya nyeri otot, tulang, dan sendi, gangguan pencernaan, gangguan jantung, gangguan pernafasan, gangguan sistem imun, dan beberapa penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.

Berdasarkan data yang ada, gangguan mental diketahui mempengaruhi sekitar 19% dari populasi dewasa, 46% dari populasi remaja, dan 13% dari populasi anak di seluruh dunia. Meskipun proporsi tersebut cukup tinggi, hanya separuh dari penderita gangguan mental tersebut yang menerima perawatan secara mumpuni. Kurangnya cakupan perawatan bagi penderita gangguan mental disinyalir diakibatkan oleh adanya stigma negatif akan gangguan mental dan penderitanya, yang secara tidak langsung turut mengakibatkan rendahnya minat tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan untuk menyediakan perawatan bagi penderita gangguan mental.

Pada tahun 2016, Indonesia menjadi sorotan dunia ketika Human Right Watch mempublikasikan artikel yang mengekspos realita perlakuan masyarakat Indonesia terhadap penyandang disabilitas psikososial. Artikel tersebut mentrigger kemunculan artikel-artikel lainnya, yang menceritakan dan menampilkan foto-foto penderita disabilitas psikososial yang diperlakukan secara tidak layak, misalnya, dikurung di dalam ruangan sempit, dibelenggu, atau dipasung.
 

Ler4

Sumber foto: www.freepik.com
 
Meskipun memang akhir-akhir ini stigma tersebut telah membaik, bahkan mental health awareness mulai ramai digaungkan, studi-studi yang ada masih menunjukkan bahwa streotip masyarakat dan media akan gangguan kesehatan mental dan penderitanya masih cukup negatif serta jauh berbeda dari streotip terhadap penderita gangguan kesehatan fisik. Indonesia masih perlu lagi menggiatkan mental health awareness, termasuk di antaranya melalui edukasi dan sosialisasi untuk mengubah stigma serta streotip yang ada di masyarakat. Penting untuk diingat bahwa negative labelling yang melekat pada gangguan mental dan penderitanya hanya akan memberikan dampak lebih buruk lagi kepada mereka. Streotip tersebut dapat menimbulkan diskriminasi serta ketakutan dan rasa malu, sehingga penderita gangguan kesehatan mental cenderung enggan untuk mengungkapkan gangguan yang dialaminya kepada orang-orang di sekitarnya.

Mari kita kembali lagi ke kesehatan mental di lingkungan kerja…
Manajemen perusahaan yang baik serta awareness akan pentingnya kesehatan mental di lingkungan kerja pada hakikatnya akan meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan di perusahaan tersebut. Berdasarkan data dan studi yang ada, karyawan dengan kesehatan mental yang baik memiliki tingkat produktivitas sebesar 12 – 15% lebih tinggi jika dibandingkan dengan karyawan yang mengalami gangguan mental. Perusahaan yang memiliki mental health awareness yang baik akan membuat para karyawannya merasa lebih aman dan nyaman saat bekerja. Mereka cenderung untuk lebih berani berpendapat, berpikir dan berasional lebih baik, memiliki fokus kerja yang lebih baik, serta lebih berani untuk mengambil keputusan.

Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mendukung seluruh karyawannya, termasuk mereka yang mengalami gangguan mental. Beberapa bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh perusahaan terhadap karyawannya yang mengalami gangguan mental di antaranya adalah memberikan cuti untuk memulihkan kesehatan mentalnya, membantu mencarikan bantuan profesional atau fasilitas perawatan yang diperlukan, menawarkan working arrangement yang fleksibel, menawarkan untuk memediasi apabila karyawan memiliki konflik di lingkungan kerja, serta membantu memfasilitasi komunikasi karyawan dengan atasan atau koleganya. Perusahaan perlu memastikan bahwa karyawannya tersebut merasa mendapatkan dukungan, bantuan, dan tidak mendapatkan diskriminasi dari perusahaan, atasan, serta para koleganya. Berdasarkan data dan studi yang ada, karyawan yang mendapatkan dukungan tersebut cenderung memiliki pemulihan yang lebih cepat dan baik, serta dapat kembali bekerja dengan produktif kembali.

Tidak hanya bersifat kuratif dan rehabilitatif, perusahaan juga perlu menerapkan tindakan promotif dan preventif untuk memelihara kesehatan mental para karyawannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah mengadakan edukasi dan sosialisasi terkait mental health awareness kepada para karyawan, sehingga karyawan dapat mengenali tanda dan gejala apabila dirinya mengalami gangguan mental, serta karyawan tidak perlu merasa khawatir akan potensi diskriminasi dari lingkungan kerjanya apabila dirinya menyatakan mengalami gangguan mental. Pada akhirnya, karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut akan merasa bahwa perusahaan tempatnya bekerja memiliki genuine care kepada kesehatan karyawan secara holistik. Para karyawan pun akan lebih produktif dan all-out dalam melaksanakan pekerjaannya.

Sebagai penutup, intervensi kesehatan mental –baik itu dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif- harus diberikan sebagai bagian dari strategi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang berkesinambungan. Akan sangat baik apabila perusahaan turut mendukung dan berpartisipasi dalam penyediaan intervensi ini, karena, kunci keberhasilan dari program kesehatan masyarakat adalah adanya keterlibatan dari seluruh lapisan masyarakat.
Stay safe and healthy, semuanya!
 
***
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id