04 October 2022 8639
Life Reinsurance

Penggunaan Kendaraan Listrik dari Perspektif Kesehatan dan Lingkungan

Kendaraan listrik saat ini bukan lagi merupakan benda yang asing bagi masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan, yang mungkin telah terbiasa melihat kendaraan listrik berlalu lalang di jalan raya. Ide terkait penggunaan kendaraan listrik pun secara umum disambut dengan sangat baik oleh masyarakat, karena, penggunaan kendaraan listrik dianggap sebagai solusi yang inovatif dalam mengatasi isu terbatasnya ketersediaan bahan bakar minyak (BBM), sekaligus isu pencemaran udara. Meskipun demikian, ternyata sayup-sayup mulai terdengar isu bahwa penggunaan kendaraan listrik ternyata dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Apakah sebenarnya kendaraan listrik tidak ‘sehijau’ yang selama ini digaung-gaungkan?
Sebelum membahas efek samping dari penggunaan kendaraan listrik, tentunya kita harus terlebih dahulu mengenal apa yang disebut dengan kendaraan listrik, serta bagaimana kendaraan listrik tersebut dapat beroperasi.

Kendaraan listrik yang saat ini beredar di masyarakat pada dasarnya merupakan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Berbeda dengan kendaraan konvensional yang menggunakan BBM untuk dapat beroperasi, KBLBB ini menggunakan baterai yang diisi dengan tenaga listrik. Sehingga, KBLBB ini tidak menggunakan mesin pembakaran, dan tidak menghasilkan emisi karbon monoksida.

Di masa kini, ide penggunaan KBLBB lahir dari kejengahan masyarakat akan lalu lintas yang crowded serta kualitas udara yang tidak baik, yang sebagian di antaranya disinyalir disumbang oleh hasil pembakaran kendaraan bermotor. Ketersediaan BBM yang semakin menipis juga turut mendorong dunia untuk melahirkan inovasi yang cerdas, yang dapat secara sekaligus mengatasi isu-isu critical pada masyarakat. Meskipun isu-isu tersebut nampaknya baru mencuat pada beberapa tahun ke belakang, nyatanya, sejarah kendaraan listrik telah dimulai pada abad ke-18, lho!

Iya, memang, sudah selama itu.

Perjalanan pengembangan kendaraan listrik dimulai pada abad ke-18, ketika para ilmuwan dari Hungaria, Belanda, dan US berfokus pada konsep kendaraan bertenaga baterai. Sejak saat itulah, pengembangan kendaraan listrik telah dimulai, meskipun tentu masih dilakukan dalam skala yang kecil. Pada tahun 1932, seorang pria Inggris bernama Robert Anderson berhasil mengembangkan mobil roda tiga yang dimotori oleh baterai listrik. Mobil tersebut lah yang tercatat sebagai kendaraan listrik pertama dalam sejarah.

Seiring waktu, perkembangan kendaraan listrik pun semakin maju. Bahkan, pada tahun 1898, Ferdinand Porsche berhasil menciptakan mobil hybrid pertama yang menggunakan energi listrik dan bensin sebagai sumber energi kendaraan tersebut. Thomas Alva Edison melalui kerja sama dengan Henry Ford juga turut mengembangkan mobil listrik low cost pada tahun 1914, dan masa-masa itulah yang diklaim menjadi masa kejayaan pertama dari mobil listrik.

Meskipun canggih dan sangat menarik, sayangnya harga dari mobil listrik masih terlampau tinggi ketimbang mobil konvensional yang berbahan bakar bensin. Alasan itulah yang menyebabkan mobil listrik masih ‘kalah pamor’ ketimbang mobil bensin. Butuh puluhan tahun sampai saat ini tren penggunaan mobil listrik kembali mulai menjamur, karena mulai maraknya jenis mobil listrik yang harganya sudah mulai terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, jargon bahwa kendaraan listrik merupakan kendaraan yang ‘ramah lingkungan’ serta salah satu sarana pencegahan pemanasan global juga semakin menggenjot popularitas dari kendaraan listrik di masa kini.

Di Indonesia sendiri, sejarah mobil listrik dimulai pada tahun 2012, di mana mobil bertenaga listrik pertama di Indonesia mulai dikembangkan. Sayangnya, proses pengembangan mobil listrik saat itu tidak terlalu berjalan mulus, sampai pada era pemerintahan Presiden Jokowi di mana pengembangan mobil listrik mulai digiatkan kembali. Bapak Budi Karya Sumadi selaku Menteri Perhubungan RI juga menjalin kerja sama dengan University of Nottingham untuk melakukan pengembangan kendaraan listrik demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan low-carbon transportation.

Meskipun merupakan sebuah solusi yang inovatif, patut diingat bahwa penggunaan mobil listrik berpotensi menyebabkan peningkatan demand akan energi listrik, yang mana energi listrik tersebut tidak hanya digunakan untuk proses pengisian baterai mobil listrik, melainkan juga untuk proses produksi mobil listrik itu sendiri. Jika ditilik dengan seksama, sebenarnya peningkatan demand akan energi listrik ini sendiri dapat mengurangi ‘aspek hijau’ dari mobil listrik. Meskipun demikian, setidaknya penggunaan mobil listrik secara masif diharapkan masih akan mengurangi tingkat emisi, karena pencemaran udara ‘hanya’ akan bersumber dari pembangkit listrik, dan bukan dari banyaknya kendaraan konvensional yang secara masif digunakan oleh masyarakat.

Masih dari segi energi listrik, sampai saat ini, Indonesia masih sangat mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai sumber energi listrik yang tidak rendah emisi. Meskipun Pemerintah telah menargetkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mencapai 25% pada tahun 2025, pada kenyataannya, Indonesia masih sangat bergantung pada kontribusi batu bara dan gas. Menurut data yang disampaikan oleh Muhammad Ikhsan Asaad selaku Direktur Mega Project PLN, subtotal penggunaan bahan bakar fosil mencapai 87.4% pada tahun 2020. Angka tersebut bukan jumlah yang sedikit, bukan?

Nah, bagaimana dengan potensi ‘efek samping’ mobil listrik bagi kesehatan dan keselamatan pengendaranya?
Sebagaimana yang telah diinformasikan sebelumnya, mobil listrik saat ini menggunakan baterai lithium-ion sebagai komponen utamanya. Baterai jenis ini memiliki keunggulan dari segi usia pakai dan kecepatan pengisian daya. Meskipun demikian, baterai ini memiliki senyawa yang sangat sensitif terhadap tegangan dari peralatan maupun suhu sekitarnya. Sehingga, penggunaan baterai ini dalam waktu lama disinyalir akan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan di masa mendatang.

Berdasarkan data dan studi yang ada, penyebab potensi gangguan kesehatan kemungkinan besar disebabkan oleh gasless pollutant dari mobil listrik, yang dikenal sebagai Electromagnetic Field Radiation (EMF). Baterai dan power cable pada mobil listrik pun umumnya ditempatkan di dekat pengendara dan penumpang mobil listrik, sehingga, risiko untuk terjadinya paparan dapat dikatakan relatif tinggi.

Secara teori dan data terbatas yang ada, eksposur dari energi yang dilepaskan oleh mobil listrik dapat menyebabkan gangguan kesehatan berupa nyeri kepala, rasa cemas, rasa depresi, mual, muntah, fatigue, disfungsi seksual, dan gangguan tidur. Selain itu, apabila eksposur terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan intens, manusia yang terpapar memiliki peningkatan risiko untuk mengalami kanker, gangguan neurologis, gangguan psikologis, keguguran pada wanita hamil, dan leukemia pada anak-anak.

Meskipun tidak dipungkiri penggunaan mobil listrik memiliki potensi untuk menyebabkan gangguan kesehatan, berdasarkan studi yang dilakukan oleh International Commission on Non-Ionising Radiation Protection (ICNIRP), eksposur yang berpotensi dialami oleh pengendara mobil listrik maksimum hanyalah 20% dari recommended safety level yang direkomendasikan oleh ICNIRP. Eksposur maksimum ini dapat terjadi ketika mobil listrik baru mulai dinyalakan, dan posisi manusia yang terpapar relatif dekat dengan baterai selaku sumber eksposur.

Studi ICNIRP yang didanai oleh Uni Eropa tersebut bahkan membandingkan potensi eksposur antara mobil listrik dengan mobil konvensional, di mana, studi tersebut melibatkan satu mobil listrik yang merupakan hydrogen-powered car, dua mobil konvensional yang merupakan petrol-fueled cars, dan satu mobil konvensional yang merupakan diesel-fueled car. Eksposur yang diidentifikasi dari mobil non-listrik dikatakan berada pada kisaran 10% dari recommended safety level, dan angka tersebut tidak berbeda terlalu jauh dengan angka eksposur mobil listrik.

Oo Abdul Rosyid selaku Perekayasa Balai Besar Teknologi Konversi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan bahwa potensi bahaya dari baterai mobil listrik sebenarnya bukan hanya pada gangguan kesehatan yang ditimbulkannya, melainkan juga pada potensi kebakaran dan ledakan dari baterai itu sendiri. Baterai mobil listrik pada dasarnya terdiri dari ratusan hingga ribuan sel yang saling terkait satu sama lain. Apabila masalah terjadi pada satu sel, masalah tersebut dapat menjalar pada sel-sel yang lain. Hal inilah yang menyebabkan baterai mobil listrik menjadi rentan mengalami percikan api, bahkan kebakaran atau ledakan.

Kekhawatiran yang diungkapkan oleh Oo Abdul Rasyid bukannya tak berdasar, karena hal ini pernah terjadi pada beberapa kasus sebelumnya, di mana, terjadi kasus kebakaran atau ledakan pada mobil listrik Chevrolet pada tahun 2011, mobil listrik Tesla Model S pada tahun 2013 – 2019, dan mobil listrik Jaguar i-Pace pada tahun 2018. Kasus-kasus tersebut terjadi bahkan saat kendaraan tersebut hanya dalam posisi terparkir, atau pada saat sedang dilakukan pengisian daya. Risiko-risiko tersebut dapat semakin terpicu oleh adanya cuaca panas, dan karena Indonesia terletak di daerah tropis, upaya meminimalisir risiko ini harus semakin diseriusi.

Bagaimana dengan potensi ‘efek samping’ mobil listrik bagi lingkungan?

Sama seperti baterai-baterai lainnya, baterai mobil listrik juga memiliki ‘masa kadaluwarsa’. Rerata masa pakai dari baterai mobil listrik adalah 12 tahun, dan setelah itu baterai harus diganti agar mobil listrik tetap dapat beroperasional dengan baik. Nah, karena baterai-baterai ini perlu diganti, tentunya terdapat potensi penumpukan limbah dari baterai bekas pakai di masa mendatang. Baterai dari mobil listrik juga tergolong ke dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga, penanganannya harus dilakukan secara khusus, termasuk proses daur ulangnya agar senyawa kimia yang ada pada baterai bekas pakai tersebut tidak merusak lingkungan.

Nah, bagaimana teman-teman?

Ternyata masih banyak perspektif yang dapat kita pahami dari penggunaan mobil listrik, selain manfaatnya untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, polusi udara, serta menipisnya ketersediaan BBM. Setiap solusi tentunya memiliki risiko, dan kitalah yang harus mengupayakan agar risiko yang ada dapat dimitigasi semaksimal mungkin, sehingga, manfaat dari solusi tersebut dapat kita ambil semaksimal mungkin.

Stay safe and healthy, semuanya!
 
 
***
 

Sumber artikel:
https://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2621341/Are-electric-cars-safe-drive-Experts-dismiss-fears-exposure-electromagnetic-fields-cause-cancer.html
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20211126111356-384-726369/brin-jelaskan-bahaya-baterai-lithium-mobil-listrik
https://www.its.ac.id/news/2022/03/11/euforia-kendaraan-listrik-apakah-sehijau-yang-kita-pikirkan/
https://driveelectriccolorado.org/myth-buster-ev-battery-safety/

 
 
 
 
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id