Perkembangan kasus Covid di China akhir-akhir ini terbilang sangat mengkhawatirkan. China saat ini diketahui tengah mengalami lonjakan kasus Covid yang terburuk, sejak wabah di Wuhan pada 2019 – 2020 lalu. Kondisi yang ada saat ini menyebabkan Pemerintah dan Sistem Kesehatan China kewalahan, lantaran penambahan kasus Covid yang sangat signifikan tidak dapat diimbangi oleh kapasitas fasilitas kesehatan yang mumpuni. Selain itu, subvarian ‘baru’ dari SARS-CoV-2 disinyalir juga memegang peranan penting pada lonjakan kasus Covid di China.
Bagaimana hal tersebut dapat terjadi, serta apakah kondisi tersebut perlu diwaspadai dan dijadikan sebagai ‘early warning’ di Indonesia dan negara-negara lainnya?
Memburuknya kondisi Covid di China disinyalir merupakan kombinasi dari dampak pelonggaran Zero-Covid-Policy secara mendadak, serbuan Subvarian Omicron BF.7, serta rendahnya cakupan Vaksinasi Covid terutama pada populasi lansia. China memang selama ini ‘melindungi’ negaranya dengan memberlakukan kebijakan penanganan Covid yang sangat ketat, yang dikenal sebagai Zero-Covid-Policy. Kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk menekan jumlah kasus Covid serendah mungkin. Pemerintah China bahkan tidak segan untuk mengambil ‘tindakan ekstrim’ seperti lockdown berkepanjangan. Selama ini, Pemerintah China memang relatif berhasil menekan angka kasus Covid di China selama pemberlakuan Zero-Covid-Policy. Meskipun demikian, pelonggaran Zero-Covid-Policy secara mendadak ternyata justru membuat China dihantam badai gelombang Covid yang sangat dahsyat.
Pelonggaran Zero-Covid-Policy merupakan buah dari demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat China. Demonstrasi tersebut merupakan ungkapan atas kemarahan dan rasa frustasi dari masyarakat China, lantaran Pemerintah China mempertahankan kebijakan penanganan Covid yang sangat ekstrim, yang tentunya membuat mobilitas, interaksi, dan pergerakan roda kehidupan di China menjadi sangat terbatas. Kemarahan dan rasa frustasi masyarakat China pun memuncak akibat adanya kejadian kebakaran di wilayah Urumqi yang menewaskan 10 korban jiwa. Kebakaran tersebut konon tak dapat tertangani oleh petugas pemadam kebakaran, lantaran adanya barrier lockdown yang dibentuk oleh Pemerintah China. Dengan berbagai pertimbangan, Presiden Xi Jinping pun akhirnya mengumumkan pelonggaran Zero-Covid-Policy pada awal Desember ini.
Sayangnya, hasil dari pelonggaran Zero-Covid-Policy tidak semanis yang dibayangkan. Bukannya menikmati kebebasan yang ada, masyarakat China justru harus menghadapi badai gelombang Covid yang sangat dahsyat pada bulan Desember ini. Kondisi Covid di China sontak menjadi sorotan dan kekhawatiran dunia, setelah China mencatatkan lebih dari 250 juta kasus Covid dalam 20 hari pertama di bulan Desember 2022. Chinese Centers for Disease Control and Prevention (Chinese CDC) mengestimasikan bahwa jumlah kasus yang dialami di China saat ini setara dengan 18% dari total 1.4 miliar penduduk China. Fakta tersebut membuat China resmi mengalami kejadian kasus Covid terbanyak secara global sejak pertama kali Covid mewabah.
Peningkatan kasus Covid yang signifikan di China sayangnya tidak dapat diimbangi oleh kesiapan sistem kesehatan dan kecukupan fasilitas kesehatan di China. Seluruh rumah sakit di China ramai diserbu oleh masyarakat China yang terinfeksi Covid. Sayangnya, sebagian besar dari penderita yang datang ke rumah sakit, datang sudah dalam kondisi kesehatan yang tidak baik. Terlebih lagi, sebagian besar penderita yang datang dalam kondisi tidak baik tersebut adalah populasi lansia yang masuk ke dalam kategori kelompok rentan. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan kasus Covid di China juga diikuti dengan peningkatan fatalitas yang cukup signifikan.
Yang menjadi kekhawatiran berikutnya adalah data terkait Covid yang selama ini disampaikan oleh China, ternyata tidak sesuai dengan data sebenarnya. World Health Organization (WHO) menemukan adanya ketidakcocokan antara laporan kasus Covid yang disampaikan oleh National Health Commission (NHC) China, dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Hal tersebut disinyalir lantaran China telah menghentikan mass testing, dan hanya melaporkan kasus Covid yang terkonfirmasi di rumah sakit atau klinik. Adapun untuk kasus Covid yang terkonfirmasi melalui home-testing serta kasus Covid asymptomatic, ternyata tidak dimasukkan oleh China sebagai data kasus terkonfirmasi Covid.
Selain itu, data kematian akibat Covid yang disampaikan oleh China ternyata hanya data kematian dari mereka yang kematiannya secara langsung diakibatkan oleh penyakit saluran pernafasan akibat Covid, dan bukan termasuk mereka yang kematiannya diakibatkan oleh dampak tidak langsung dari Covid. Hal tersebut tentu bertentangan dengan kebijakan dari WHO, dan tentunya kondisi Covid yang under-reported ini akan menyebabkan bias pada data Covid secara global.
Dalam menyikapi temuan tersebut, WHO pun mendesak China agar lebih transparan dalam pelaporan kasus terkonfirmasi Covid, kematian terkait Covid, tingkat keparahan penyakit, jumlah pasien Covid yang dirawat di rumah sakit, serta statistik terkait Covid lainnya, yang mana sangat penting dalam penyusunan strategi penanganan pandemi dan upaya mitigasi ke depannya. Tidak transparannya China dalam penyampaian data dikhawatirkan dapat turut berdampak bagi negara-negara lainnya yang mulai menjalani ‘fase new-normal’, setelah terkungkung dalam rangkaian pembatasan sosial dan ekonomi selama hampir selama tiga tahun ke belakang.
Bagaimana dengan Covid Omicron Subvarian BF.7 yang juga digadang-gadang sebagai ‘dalang’ dari badai Covid di China?
Covid Omicron Subvarian BF.7 alias BA.5.2.1.7 merupakan turunan dari Covid Omicron Subvarian BA.5. SARS-CoV-2 yang merupakan virus penyebab Covid, diketahui telah terus berevolusi sejak kemunculannya yang pertama di akhir tahun 2019. Evolusi dari SARS-CoV-2 telah melahirkan banyak varian, yang kemudian bermutasi dan melahirkan subvarian-subvarian baru.
Setiap varian dan subvarian baru dapat memiliki kemampuan yang berbeda dengan varian dan subvarian lainnya. Subvarian BF.7 sendiri disinyalir memiliki kemampuan transmisi dan infeksi terkuat jika dibandingkan dengan varian dan subvarian lainnya. Sebagai perbandingan, Varian Delta memiliki R0 sebesar 5 – 6, sementara Subvarian BF.7 memiliki R0 sebesar 10. Hal ini berarti di saat satu penderita Varian Delta mampu menginfeksi 5 – 6 orang lainnya, di waktu dan kondisi yang sama, satu penderita Subvarian BF.7 dapat menginfeksi 10 orang lainnya.
Subvarian BF.7 diketahui juga memiliki mutasi pada spike protein-nya. Mutasi tersebut menyebabkan Subvarian BF.7 memiliki kemampuan immune-escape yang tinggi, yang menyebabkannya dapat ‘kabur’ dari sergapan antibodi, baik yang dihasilkan melalui riwayat infeksi sebelumnya, atau melalui pemberian Vaksin Covid. Selain itu, Subvarian BF.7 juga memiliki masa inkubasi yang lebih pendek, sehingga, penularan yang terjadi di masyarakat pun dapat menjadi lebih luas dan cepat.
Bagaimana kondisi terkini dari negara-negara lainnya?
Meskipun Subvarian BF.7 menimbulkan dampak yang sangat buruk di China dan tetap patut diwaspadai, ternyata, kemunculan subvarian ini tidak terlalu menjadi concern di negara-negara lainnya. Subvarian BF.7 pun dikatakan bukan merupakan subvarian yang ‘baru’, lantaran sebenarnya subvarian ini sudah ditemukan di negara lain kurang lebih pada dua tahun yang lalu. Sejauh ini, Subvarian BF.7 telah ditemukan di India, USA, UK, Belgia, Jerman, Perancis, serta Denmark, dan tidak ada satupun dari negara-negara tersebut yang mengalami badai gelombang Covid seperti China saat menghadapi Subvarian BF.7.
Vinay K. Nandicoori selaku Director of CSIR – Center for Cellular and Molecular Biology (CCMB) menyampaikan bahwa situasi India saat ini tidak seperti saat mereka menghadapi Covid Delta pada tahun 2021 lalu. Covid Delta telah menjadi pembelajaran yang sangat mahal bagi India, di mana setelah melewati badai tersebut, India telah menggencarkan masyarakatnya untuk mendapatkan Vaksin Covid termasuk booster-nya. Nandicoori menilai bahwa untuk saat ini masyarakat India telah relatif siap menghadapi paparan infeksi Covid, lantaran herd immunity yang telah masyarakat India miliki, baik dari pemberian Vaksin Covid, maupun dari riwayat infeksi Covid di masa lampau. Kondisi itulah yang membuat India lebih ‘percaya diri’ dalam menghadapi Subvarian BF.7.
Kepercayaan diri yang sama juga ditunjukkan oleh Pemerintah USA dan UK. Subvarian BF.7 diketahui telah mulai mendominasi dan berkontribusi pada 5.7% kasus Covid di USA dan 7% kasus Covid di UK. Meskipun demikian, para ahli di USA dan UK mempercayai bahwa buruknya dampak dari Subvarian BF.7 di China, sebagian besar disebabkan oleh rendahnya angka cakupan Vaksinasi Covid di China. Karena, sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya, Vaksin Covid memiliki peranan yang penting untuk mencegah penderita Covid mengalami gejala berat atau bahkan fatalitas saat terinfeksi Covid.
Memang, bagaimana sih status cakupan Vaksin Covid di China?
Berdasarkan data yang ada, cakupan Vaksin Covid Dosis Pertama di China baru mencapai 76.6%, cakupan Vaksin Covid Dosis Kedua di China baru mencapai 65.8%, dan Cakupan Vaksin Covid Dosis Booster Pertama di China baru mencapai 40.4% pada bulan November 2022. Cakupan Vaksin Covid tersebut bahkan lebih rendah lagi pada kelompok lansia, di mana, cakupan Vaksin Covid Dosis Booster Pertama bagi kelompok berusia 70 – 79 tahun baru mencapai kurang dari 50%, dan bagi kelompok berusia lebih dari 80 tahun baru mencapai kurang dari 20%.
Berkaca pada fakta-fakta di atas, kita harus kembali mengingat pentingnya peranan Vaksin Covid dalam upaya penanganan pandemi. Rendahnya cakupan Vaksin Covid di China disinyalir diakibatkan oleh kurang komprehensifnya proses pengembangan Vaksin Covid di China, di mana, populasi lansia tidak dilibatkan dalam pengujian dalam proses pengembangan tersebut. Kondisi tersebut menyebabkan otoritas kesehatan China tidak dapat menyatakan bahwa Vaksin Covid yang dikembangkan aman bagi populasi lansia, terutama bagi mereka yang memiliki komorbid. Pada akhirnya, banyak di antara populasi lansia yang dinyatakan ‘tidak eligible’ untuk menerima Vaksin Covid, dan sebagian lainnya merasa bahwa Vaksin Covid tidak aman bagi mereka.
Selain itu, China diketahui hanya menggunakan Vaksin Covid produksi dalam negerinya sendiri selama ini, yaitu Vaksin CoronaVac dan Vaksin Sinopharm. Kedua vaksin tersebut menggunakan platform inactivated virus untuk menstimulasi sistem imun agar dapat memproduksi antibodi. Sayangnya, Vaksin Covid dengan platform inactivated virus diketahui memiliki efikasi yang lebih rendah dalam mencegah fatalitas, ketimbang Vaksin Covid dengan platform mRNA. Oleh karena itu, masyarakat China pun berpotensi memiliki imunitas yang lebih rendah dan lebih ‘kurang siap’ dalam menghadapi Virus Covid varian dan subvarian baru.
Apa pelajaran yang dapat kita tarik dari situasi yang tengah dialami oleh China?
Yang pertama, kita harus mengingat pentingnya peranan dari Vaksin Covid dalam upaya penanggulangan Pandemi Covid. Saat ini, cakupan Vaksin Covid di Indonesia pun masih belum optimal dan memenuhi ekspektasi, di mana, cakupan Vaksin Covid Dosis Pertama baru mencapai 86.93%, cakupan Vaksin Covid Dosis Kedua baru mencapai 74.45%, Cakupan Vaksin Covid Dosis Booster Pertama baru mencapai 29.13%, dan cakupan Vaksin Covid Dosis Booster Kedua (khusus bagi lansia dan tenaga kesehatan) baru mencapai 4.99% pada bulan Desember 2022. Masih belum optimalnya cakupan Vaksin Covid di Indonesia dapat diartikan masih berpotensinya Indonesia untuk mengalami ‘gelombang-gelombang Covid baru’, apabila menghadapi varian atau subvarian Covid ‘baru’. Oleh karena itu, awareness masyarakat terkait pentingnya Vaksin Covid perlu untuk lebih digalakkan kembali.
Yang kedua, kita harus tetap mewaspadai varian atau subvarian apapun yang ada. Satu varian atau subvarian yang tidak berbahaya bagi negara lain, belum tentu akan tidak berbahaya pula di Indonesia. Selain itu, perlu diingat juga bahwa kita tidak dapat memilih varian atau subvarian apa yang akan menginfeksi kita. Yang dapat kita lakukan adalah menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan benar, agar kita dapat terhindar dari paparan Virus Covid varian atau subvarian apapun.
Sudah hampir tiga tahun lamanya kita bergelut dengan penanganan Pandemi Covid. Meskipun saat ini kondisi Covid nampaknya telah relatif terkendali di Indonesia, kita masih harus terus mewaspadai potensi tantangan yang ada ke depannya, seperti potensi munculnya varian atau subvarian baru, peningkatan mobilitas masyarakat –terutama di periode liburan, hari besar agama, atau hari libur nasional-, serta adanya potensi ancaman dari penyakit infeksi menular lainnya. Kondisi yang kondusif ini tidak hanya harus dirayakan, namun juga harus dipertahankan, sembari kita terus menyusun strategi yang sustainable bagi sistem kesehatan Indonesia ke depannya.
Stay safe and healthy, semuanya!
***