22 December 2020 7085
Life Reinsurance

Gangguan Pencernaan Pada Kasus Covid-19


COVID-19 yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 diketahui telah menyebabkan gangguan pencernaan pada sebagian penderitanya. Beberapa gangguan pencernaan yang muncul antara lain adalah diare, mual, muntah, dan nyeri perut. Karena COVID-19 selama ini dipandang identik dengan ‘penyakit pernafasan’, adanya gangguan pencernaan ini tentunya membuat kita semua penasaran terkait bagaimana hal tersebut dapat terjadi.
 

Sumber foto: www.freepik.com
 
Sebuah jurnal yang bertajuk Gastrointestinal Presentation in COVID-19 in Indonesia: A Case Report yang diterbitkan oleh Muhammad K. Azwar et al menceritakan tentang seorang pasien wanita berusia 23 tahun yang menderita COVID-19. Kasus bermula ketika pasien tersebut datang ke sebuah rumah sakit di Bogor, dengan keluhan sesak nafas, kelelahan, batuk kering, nyeri otot, demam, nyeri dada, nyeri perut bagian atas (epigastric), mual, dan muntah. Dokter yang merawat pasien tersebut kemudian memutuskan agar pasien dirawat inap untuk tujuan observasi.

Saat dilakukan pemeriksaan fisik, dokter menemukan adanya peningkatan suhu tubuh di 37.9°C, peningkatan denyut nadi (tachycardia) dengan denyut nadi 125 denyut/menit, dan adanya penurunan saturasi oksigen ke angka 88% pada pasien. Sementara, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya penurunan angka hemoglobin (anemia) dan penurunan angka trombosit (trombositopenia). Menilik pada hasil pemeriksaan tersebut, diagnosis awal dari dokter pada pasien tersebut adalah suspek gastroesophageal reflux disease (GERD) dan demam dengue.

Setelah beberapa hari menjalani rawat inap, sebagian besar dari keluhan awal pasien –seperti demam, nyeri perut, mual, dan muntah- telah membaik. Namun, pasien tersebut masih terus mengeluhkan adanya sesak nafas dan batuk kering, walaupun pasien tersebut telah mendapatkan terapi oksigen sejak awal dirawat inap. Oleh dokter, pasien tersebut direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan rontgen dada, yang mana hasilnya menunjukkan adanya suspek pneumonia pada kedua lapang paru dan adanya penumpulan pada sudut kostroprenikus. Dengan temuan ini, dokter kemudian memutuskan melakukan pemeriksaan RT-PCR/swab test, dan ternyata hasilnya mengkonfirmasi adanya diagnosis COVID-19 pada pasien.

Kasus pasien di Bogor ini ternyata bukanlah temuan yang langka dan yang pertama kali ada. Para peneliti di Stanford University juga mengemukakan bahwa sepertiga dari pasien COVID-19 yang mereka teliti juga mengeluhkan adanya gangguan pencernaan. Bahkan, sebagian dari pasien yang mengalami gangguan pencernaan tersebut justru tidak mengalami gangguan pernafasan yang ‘seharusnya’ identik dengan COVID-19.

Temuan adanya gangguan pencernaan pada pasien COVID-19 turut diamini oleh para peneliti di Beijing yang melakukan studi serupa, di mana, hasil studi tersebut menyatakan bahwa 79% dari pasien COVID-19 yang mereka teliti juga mengeluhkan adanya gangguan pencernaan seperti diare, mual, muntah, dan nyeri perut.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Tongji Medical College, China. Sama seperti studi-studi di atas, hasil penelitian mereka juga menyatakan bahwa 60% dari pasien COVID-19 yang mereka teliti mengalami diare, dan bahkan, 20% dari kelompok pasien tersebut justru mengalami diare sebagai gejala awal COVID-19.

Kasus serta studi-studi di atas merupakan bukti bahwa infeksi virus SARS-CoV-2 memang benar dapat menimbulkan gangguan pencernaan. Nah, bagaimana virus yang ‘seharusnya’ identik dengan penyakit pernafasan ini justru dapat menyebabkan gangguan pencernaan?


Sumber foto: www.freepik.com
 
Sebelumnya, telah diketahui bahwa SARS-CoV-2 yang telah masuk ke dalam tubuh manusia akan memasuki sel tubuh melalui reseptor khusus yang bernama angiotensin converting enzyme II (ACE-2) dan host cellular transmembrane serine protease (TMPRSS). Reseptor ACE-2 ini terdapat di berbagai bagian dan organ tubuh, termasuk di antaranya adalah sel alveolus paru-paru, esophagus, serta enterocyte ileus dan colon.

Adanya reseptor ACE-2 pada enterocyte ileus dan colon membuat SARS-CoV-2 dapat memasuki dan menginfeksi ileus dan colon. Saat terjadi infeksi pada enterocyte, terjadilah peningkatan permeabilitas dinding sel terhadap pathogen asing, dan kemudian, terjadi pula replikasi virus pada sel saluran pencernaan. Infeksi pada enterocyte ini akan menyebabkan terjadinya malabsorbsi, sehingga muncullah berbagai enteric symptom seperti diare dan muntah. Hal yang menarik dari mekanisme ini adalah jumlah dari reseptor ACE-2 di ileus dan colon justru 100 kali lipat lebih banyak dari jumlah reseptor ACE-2 di saluran pernafasan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika gangguan pencernaan menjadi gangguan yang umum dan wajar terjadi pada infeksi COVID-19.

Adanya gangguan pencernaan pada penyakit saluran pernafasan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berdasarkan studi yang dilakukan pada sekelompok pasien di Mass General Hospital dan telah diterbitkan pada Journal of Clinical Gastroenterology and Hepatology, penderita influenza juga dapat mengalami gangguan pencernaan, seperti diare dan nyeri perut. Hal tersebut seolah semakin menguatkan ‘kewajaran’ bahwa penderita penyakit saluran pernafasan dapat juga menderita gangguan pencernaan.
 

Sumber foto: www.freepik.com
 
Dengan keberadaan SARS-CoV-2 di saluran pencernaan, sampel dari saluran pencernaan atau limbah dari saluran pencernaan tentunya diharapkan dapat juga dijadikan sebagai sampel dari uji diagnostik COVID-19. Asumsi tersebut bukannya tidak beralasan dan belum pernah diuji. Malahan, uji tersebut sudah pernah diteliti dan dipublikasikan pada Journal of American Medical Association (JAMA), di mana dinyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 memang terbukti dapat ditemukan pada feses penderitanya, walaupun sensitivitas dari uji diagnostik COVID-19 yang dilakukan dengan sampel feses masih berada pada kisaran angka 29%.

Penelitian akan aktivitas SARS-CoV-2 pada saluran pencernaan hingga saat ini masih terus dilakukan. Berdasarkan pengamatan mikroskop elektron, para peneliti menemukan fakta bahwa SARS-CoV-2 ternyata tidak hanya dapat ditemukan pada sel-sel usus, melainkan juga dapat bereplikasi di dalamnya. Walaupun demikian, belum dapat disimpulkan apakah temuan ini akan mengarah kepada asumsi bahwa transmisi COVID-19 juga dapat terjadi secara fecal-oral, sebagaimana umumnya terjadi pada penyakit yang menyerang saluran pencernaan.

Temuan adanya gangguan pencernaan pada infeksi COVID-19 ini tak ayal membuat penegakkan diagnosis menjadi sedikit lebih ‘tricky’. Pasalnya, dokter terkadang menjadi bingung bagaimana caranya untuk membedakan apakah gangguan pencernaan yang dialami oleh pasien merupakan gejala dari penyakit saluran pencernaan atau gejala dari COVID-19.

Hal ini membuat tenaga kesehatan menyadari pentingnya untuk kembali ke dasar ilmu kesehatan, di mana, kita harus melihat suatu kasus secara keseluruhan untuk dapat menegakkan suatu diagnosis. Kita hendaknya tidak hanya melihat pasien dari gejala atau keluhannya saja, melainkan juga dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta riwayat perjalanan dan kontak dari pasien tersebut. Selain itu, penting bagi kita untuk turut menggali riwayat penyakit yang pernah pasien alami. Karena, sebuah studi juga mengungkapkan bahwa adanya riwayat penyakit saluran pencernaan sebelumnya pada pasien COVID-19 dapat membuat pasien tersebut lebih rentan mengalami gangguan pencernaan pada saat terinfeksi COVID-19. Misalnya, pada pasien yang memiliki riwayat penyakit radang usus, pasien tersebut lebih berisiko mengalami gangguan pencernan apabila dia terinfeksi COVID-19.
Nah, semangat, ya, para dokter. Tugas anda di masa pandemi ini tidak mudah, nih! J
 
 
***



 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id