Pada awal September lalu, Presiden China Xi Jinping memutuskan untuk kembali melakukan lockdown pada 33 kota, di antaranya adalah Shenzhen dan Chengdu. Lockdown yang dilakukan pada sebuah kota dapat berupa full lockdown ataupun partial lockdown, tergantung dengan hasil penilaian risiko pada masing-masing kota. Pemberlakuan kebijakan lockdown di China ini memang bukan yang pertama kali, karena, sepanjang sejarah Pandemi Covid, China memang telah beberapa kali menerapkan kebijakan lockdown di negaranya.
Hal yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, apakah di masa ini, kebijakan lockdown masih diperlukan dalam penanganan Covid?
Sebelum mempertanyakan diperlukan atau tidaknya kebijakan lockdown di China, ada baiknya terlebih dahulu kita sama-sama memahami pengertian dari istilah lockdown. Lockdown merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu upaya pengendalian penyebaran infeksi, melalui pembatasan akses masuk dan keluar dari suatu daerah. Pada daerah yang sedang memberlakukan kebijakan lockdown, mobilitas masyarakat akan dibatasi, baik mobilitas yang dilakukan di dalam daerah tersebut, ataupun mobilitas dari dan ke luar daerah tersebut.
Kebijakan lockdown dapat diberlakukan secara full ataupun partial. Pada pemberlakuan kebijakan full lockdown, masyarakat akan diminta sepenuhnya tinggal di dalam rumah dan tidak diperkenankan untuk berpergian karena alasan apapun. Sementara pada pemberlakuan kebijakan partial lockdown, masyarakat masih diperbolehkan berpergian untuk belanja kebutuhan harian atau membeli obat-obatan.
Kebijakan lockdown sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena kebijakan lockdown pernah diberlakukan pada sekitar abad ke-14 sebagai upaya penanggulangan Wabah Black Death (Pes) di seluruh Eropa. Pemberlakuan kebijakan lockdown pada dasarnya merupakan upaya ‘buying time’ agar para ilmuwan, otoritas kesehatan, dan Pemerintah dapat mempelajari wabah yang tengah berlangsung, serta mengembangkan obat atau vaksin untuk menanggulangi wabah tersebut. Sehingga, dalam hal penanganan wabah, lockdown lebih merupakan kebijakan sementara yang diharapkan tidak diberlakukan dalam waktu lama.
Setelah berjuang menghadapi Pandemi Covid selama hampir tiga tahun ke belakang, dapat dikatakan bahwa dunia telah cukup berhasil untuk mengendalikan pandemi ini. Hal tersebut terbukti dari telah menurunnya fatality dan hospitalization rate dari penderita Covid. Keberhasilan tersebut tak lepas dari berhasil dikembangkannya Vaksin Covid, serta berbagai pengembangan dan keberhasilan lainnya dalam dunia medis. Sehingga dapat dikatakan, walaupun dunia ini belum sepenuhnya terbebas dari Covid dan kita masih harus sangat mewaspadai Covid, kebijakan pembatasan yang sangat ketat seperti lockdown sepertinya sudah tidak lagi diperlukan.
Nah, bagaimana dengan kebijakan lockdown yang diambil oleh Pemerintah China?
Dahulu memang Covid adalah suatu penyakit infeksi yang baru dan masih harus banyak dipelajari. Pada akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang harus dilakukan pada seorang penderita Covid. Hal ini menimbulkan fatalitas yang tinggi pada penderita Covid. Suasana mencekam ini terus berlangsung sampai pertengahan tahun 2021, di mana Pandemi Covid memasuki Gelombang Delta yang menyebabkan fatalitas penyakit yang bahkan lebih tinggi lagi dibanding dengan Gelombang Alpha dan Beta. Oleh karena itu, Pemerintah China yang saat itu menerapkan kebijakan lockdown tentu sangat dimengerti, mengingat, pembatasan ekstrim memang sangat diperlukan pada saat itu.
Sejak awal Pandemi Covid, China memang telah mencanangkan Zero Covid Policy, yang berarti bahwa kemunculan satu kasus Covid saja akan ditanggapi secara sangat serius oleh China. Di awal Pandemi Covid, Zero Covid Policy ini banyak mendapatkan dukungan dan simpatisan, karena dinilai menunjukkan keberanian, ketegasan, dan kesungguhan Pemerintah China dalam menanggulangi Pandemi Covid. Bahkan, masyarakat dunia menyoroti kebijakan Pemerintah dari negara-negara lain yang dinilai tidak ‘seberani dan seserius’ China dalam menanggulangi Covid, hanya karena Pemerintah dari negara-negara tersebut tidak memberlakukan lockdown.
Lain dahulu, lain sekarang.
Saat ini, sebagian besar masyarakat dunia telah menerima Vaksin Covid dosis lengkap, bahkan, sebagian masyarakat juga sudah menerima dosis booster. Meskipun belum sepenuhnya bebas dari pandemi, masyarakat dunia saat ini sudah dapat lebih lega dan bebas untuk kembali melakukan aktivitas sehari-harinya. Tidak hanya krisis kesehatan, krisis sosial dan ekonomi pun perlahan mulai pulih, berkat berangsur pulihnya aktivitas masyarakat seperti sedia kala. Jumlah kasus Covid pun relatif terkendali, termasuk dari fatality rate dan hospitalization rate-nya. Oleh karena itu, wajar adanya jika kebijakan lockdown China yang saat ini ‘hanya’ mencatat kasus Covid sebanyak 80 – 120an kasus per-harinya menjadi pertanyaan bagi masyarakat dunia.
Sebenarnya, terdapat satu hipotesa terkait ‘kerasnya’ sikap China akan Zero Covid Policy yang menyeruak di pemberitaan, yaitu, China merasa bahwa Vaksin Covid yang mereka kembangkan ‘tidak begitu berhasil’. China memang mengembangkan inactive vaccine yang secara data empiris terbukti memiliki efektivitas lebih rendah dari mRNA vaccine yang dikembangkan oleh Negara-negara Barat. Kekhawatiran China akan potensi efektivitas rendah vaksin mereka diperparah dengan rendahnya angka cakupan vaksinasi pada populasi lansia China, yaitu, hanya sekitar 38% populasi lansia China yang telah menerima vaksin dosis lengkap. Kekhawatiran China tersebut sebenarnya masuk akal, mengingat, sebagaimana yang telah kita ketahui, populasi lansia merupakan salah satu populasi rentan yang dapat mengalami gejala berat atau fatalitas apabila terinfeksi Covid.
Meskipun demikian, tentu sebenarnya kebijakan lockdown bukanlah satu-satunya kebijakan yang dapat China ambil. Sebenarnya China dapat saja mengambil kebijakan lain, seperti menggenjot kampanye Vaksin Covid pada populasi lansia dan populasi rentan lainnya, atau dapat mengimpor mRNA vaccine untuk meningkatkan efektivitas vaksin di masyarakat. Meskipun demikian, China menganggap bahwa mengimpor vaksin dari Negara-negara Barat atau menghentikan Zero Covid Policy-nya sebagai suatu ‘pengakuan’ akan kegagalan mereka menanggulangi Covid. Oleh karena itu, China sampai saat ini masih terus mempertahankan kebijakan mereka tersebut.
Tentunya dalam hal ini, pada dasarnya China bermaksud baik. Negara yang menganut paham sosialisme ini terkenal lebih mengutamakan stabilitas sosial dan politik, ketimbang perkembangan ekonomi. Sayangnya, terlalu condong dalam satu sisi tidak akan membawa impak yang baik. Perkembangan ekonomi China sudah mencatatkan penurunan jika dibandingkan dengan dekade sebelumnya, dan bahkan, angka pengangguran usia muda di China pun tercatat meningkat drastis. Penurunan kondisi ekonomi di China ini tentunya harus disikapi dengan serius oleh dunia, karena China merupakan negara yang menyumbang seperlima dari pertumbuhan ekonomi global. Pada akhirnya, kemerosotan ekonomi China dikhawatirkan akan menimbulkan kemerosotan ekonomi di negara-negara lainnya.
Transisi pandemi menuju endemi pada dasarnya merupakan ‘pengakuan’ bahwa dunia tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan Covid. Pada akhirnya, masyarakat dunia memang untuk saat ini harus hidup ‘berdampingan’ dengan Covid, yang berarti bahwa masyarakat dunia harus mengadaptasi kebiasaan, kewaspadaan, serta protokol kesehatan yang selama ini dipelajari sejak mengenal Covid.
Ya, memang Covid harus diberantas dan ditanggulangi. Namun, pada tahapan ini, sudah selayaknya masyarakat dunia dapat menyeimbangkan kewaspadaan akan Covid dengan terus berputarnya roda kehidupan. Selama masyarakat dunia dapat menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan benar, serta selama kondisi Covid –dalam hal ini adalah positivity rate, fatality rate, dan hospitalization rate- dapat terkendali, tidak ada salahnya membiarkan masyarakat dunia dapat kembali beraktivitas agar roda perekonomian dan kehidupan terus berjalan.
Stay safe and healthy, semuanya!
***