Pandemi Covid yang telah berlangsung selama hampir tiga tahun ke belakang selayaknya tidak membuat kita melupakan keberadaan dan potensi ancaman dari penyakit-penyakit lainnya. Otoritas kesehatan di seluruh dunia pun meminta masyarakat untuk turut mewaspadai potensi lahirnya pandemi baru dari beberapa emerging diseases yang kini telah mulai merebak di berbagai belahan dunia. Salah satu dari emerging diseases yang dinilai berpotensi menjadi ‘the next pandemic’ adalah Crimean-Congo Hemorrhagic Fever.
Apakah yang dimaksud dengan Crimean-Congo Hemorrhagic Fever, dan bagaimana penyakit tersebut dapat berpotensi menjadi ‘the next pandemic’?
Sebelum dapat menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya apabila kita dapat mengenal lebih dalam terkait emerging disease dan infeksi virus secara umum terlebih dahulu. Emerging disease mengacu pada penyakit yang ditimbulkan oleh pathogen yang memasuki suatu wilayah geografis baru, di mana, penyakit ini berpotensi memperluas jangkauan inang pembawanya melalui proses transmisi, yang dapat terjadi melalui transmisi antara hewan liar, transmisi dari hewan liar ke hewan peliharaan, transmisi antara hewan peliharaan, ataupun transmisi dari hewan liar atau hewan peliharaan ke manusia.
Emerging diseases memang tidak semuanya merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, meskipun demikian, harus diakui bahwa infeksi virus merupakan ancaman serius dan utama dalam ranah public health, lantaran begitu tingginya kecepatan transmisi yang dimiliki oleh pathogen penyebab infeksi virus. Tingginya kecepatan transmisi tersebut dapat menyebabkan peningkatan jumlah kasus infeksi dalam waktu singkat, di mana, hal tersebut dapat menyebabkan overload fasilitas kesehatan dan kolapsnya sistem kesehatan di suatu daerah. Pada akhirnya, overload fasilitas kesehatan dan kolapsnya sistem kesehatan lah yang menyebabkan tingginya angka fatalitas pada suatu penyakit atau wabah.
Kehadiran Pandemi Covid telah menyebabkan peningkatan minat para ahli di dunia kesehatan akan studi tentang asal muasal virus, mekanisme virulensi, potensi sumber infeksi, dan potensi transmisi infeksi. Studi-studi tersebut penting peranannya bagi penyusunan strategi pencegahan dan penanggulangan pandemi dan potensi pandemi, serta untuk mengoptimalisasi pemahaman dunia kesehatan atas faktor-faktor yang membentuk dinamika pencegahan dan penanggulangan pandemi tersebut, termasuk metode untuk mengendalikan dinamika yang ada. Paradoksnya, kehadiran Pandemi Covid secara tidak langsung ‘menguntungkan’ dunia dalam konteks pencegahan dan pemantauan agen infeksius lainnya, yang berpotensi menjadi ‘the next pandemic’. Salah satu dari emerging diseases yang diprediksikan berpotensi menjadi ‘the next pandemic’ adalah Crimean-Congo Hemorrhagic Fever yang akan kita bahas pada artikel ini.
Crimean-Congo Hemorrhagic Fever (CCHF) merupakan suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi tick-borne virus (Nairovirus), yang berasal dari family Bunyaviridae. Meskipun mungkin penyakit CCHF terasa asing bagi sebagian besar dari kita, sebenarnya penyakit tersebut bukanlah suatu temuan yang ‘baru’. CCHF pertama kali teridentifikasi pada saat Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1944 di Crimea. Pada saat itu, penyakit tersebut dikenal sebagai Crimean Hemorrhagic Fever. Pada tahun 1969, ditemukan fakta bahwa pathogen yang menyebabkan terjadinya Crimean Hemorrhagic Fever adalah sama dengan pathogen yang menyebabkan penyakit demam berdarah yang teridentifikasi pada tahun 1956 di Congo. Sejak saat itu, Crimean Hemorrhagic Fever beralih julukan menjadi Crimean-Congo Hemorrhagic Fever. Pada sekitar tahun-tahun tersebut, peningkatan jumlah kasus CCHF terjadi dengan sangat signifikan, di mana, selama kurun waktu Perang Dunia II, CCHF teridentifikasi pada setidaknya 200 tentara militer Soviet di Crimean Peninsula.
Meskipun masih banyak di antara kita yang tidak ‘familiar’ dengan CCHF, penyakit tersebut sebenarnya merupakan penyakit viral hemorrhagic fever yang menempati posisi kedua dalam kategori penderita terbanyak di dunia, tentunya setelah DHF, yaa. Infeksi CCHF selama ini banyak ditemukan, dan bahkan telah menjadi endemi di beberapa negara di Asia, Afrika, Eastern Europe, Southern Europe, Middle East, dan India. Sebagai contoh kasus, berdasarkan informasi yang dilansir dari Africa Centers for Disease Control and Prevention (CDC), selama tahun 2003 – 2018 telah tercatat kasus CCHF sebanyak 62 kasus, di mana, Mauritania mencatat kasus terbanyak dengan 35 kasus pada tahun 2003, dan Uganda mencatat jumlah kasus terendah dengan enam kasus. Africa CDC juga menyampaikan bahwa kasus-kasus CCHF yang tercatat di Afrika mencatat angka fatalitas sebesar 40%.
Untuk update terkini, pada bulan Juni 2022 lalu, World Health Organization (WHO) telah mencatat adanya 212 kasus CCHF yang terdeteksi selama periode 1 Januari – 22 Mei 2022. Dari 212 kasus tersebut, 97 kasus merupakan kasus yang telah terkonfirmasi, dan 115 kasus lainnya merupakan kasus yang masih masuk ke kategori terduga kuat. Dari kasus-kasus tersebut, WHO mencatat adanya 27 kematian, di mana 13 kematian berasal dari kasus terkonfirmasi dan 14 kematian berasal dari kasus terduga kuat. Hal yang patut dijadikan concern adalah, meskipun tingkat insidensi dari CCHF jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat insidensi dari Covid yang telah mencapai lebih dari 645 juta kasus, kasus CCHF memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat fatalitas pada kasus Covid secara umum. Berdasarkan data yang ada, tingkat fatalitas dari CCHF diperkirakan telah mencapai 9 – 50%.
Berbeda dari Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) alias Demam Berdarah Dengue (DBD) yang telah kita kenal sebelumnya, CCHF tidak ditransmisikan oleh nyamuk Aedes Aegepty ataupun nyamuk-nyamuk lainnya. CCHF ditransmisikan melalui dua metode, yaitu melalui gigitan kutu dan melalui kontak langsung dengan penderita.
Metode transmisi pertama dari CCHF adalah melalui gigitan kutu Hyalomma yang terinfeksi, di mana, kutu Hyalomma tersebut merupakan reservoir sekaligus vector dari virus CCHF. Metode transmisi kedua dari CCHF adalah melalui kontak langsung dengan cairan tubuh atau jaringan dari manusia yang sebelumnya telah terinfeksi CCHF. Selain melalui dua metode tersebut, terdapat beberapa data yang menunjukkan adanya transmisi melalui peralatan medis –seperti jarum suntik- yang terkontaminasi dengan cairan tubuh atau jaringan penderita yang terinfeksi CCHF.
Dikarenakan CCHF merupakan penyakit zoonosis, kelompok yang berkontak dengan hewan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi CCHF. Beberapa kelompok yang telah terbukti berisiko tinggi untuk terinfeksi CCHF adalah penggembala hewan, pekerja di peternakan, pekerja di pemotongan hewan, dan pedagang daging hewan ternak. Selain itu, masyarakat yang berada di area endemi CCHF, atau traveler yang berpergian ke area endemi CCHF juga berisiko untuk terinfeksi CCHF.
Penegakkan diagnosis CCHF dapat dilakukan melalui beberapa langkah. Yang pertama adalah melakukan penggalian riwayat (anamnesis) dari suspek penderita, seperti gejala yang dialami, riwayat kontak dengan hewan, dan riwayat berpergian ke daerah endemi. Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk melihat ada tidaknya tanda fisik yang dapat mengarah ke diagnosis CCHF, misalnya petechiae pada kulit. Selanjutnya, konfirmasi dugaan diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium seperti antigen-capture enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), real-time polymerase chain reaction (RT-PCR), viral isolation attempts, deteksi antibodi ELISA berupa IgG dan IgM, dan deteksi immunohistochemically staining pada formalin-fixed tissues.
Berdasarkan data klinis yang ada, perjalanan penyakit CCHF dikategorikan menjadi beberapa fase, yaitu masa inkubasi, fase pre-hemorrhagic, fase hemorrhagic, dan fase convalescent. Masa inkubasi CCHF berlangsung selama 2 – 14 hari, di mana lama masa inkubasi tersebut dapat bergantung pada metode transmisi dan viral load. Apabila transmisi terjadi melalui gigitan kutu Hyalomma, maka masa inkubasi yang terjadi umumnya berkisar antara 2 – 7 hari. Sementara, apabila transmisi terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh dari penderita –misalnya, menerima transfusi darah dari penderita-, maka masa inkubasi akan berkisar antara 10 – 14 hari.
Setelah melalui masa inkubasi, penderita CCHF masuk ke dalam fase pre-hemorrhagic yang ditandai dengan munculnya demam, meriang, nyeri kepala, nyeri perut, dan myalgia. Kondisi-kondisi tersebut dapat berlangsung selama maksimum satu minggu. Setelah itu, pada kasus yang berat, penderita CCHF akan memasuki fase hemorrhagic yang ditandai oleh munculnya gejala perdarahan seperti epistaksis (mimisan), munculnya petechiae pada kulit, ecchymosis (perdarahan di bawah kulit akibat pecahnya pembuluh darah), pulmonary hemorrhage, gastro-intestinal hemorrhage, hematuria (urine berdarah), atau melena (feses berdarah). Pada kasus yang lebih berat lagi, penderita CCHF juga dapat mengalami gangguan fungsi hingga gagal fungsi organ.
Setelah melalui fase inkubasi dan fase klinis (pre-hemorrhagic dan hemorrhagic), penderita yang telah mendapatkan penanganan dengan tepat akan masuk ke fase convalescent alias fase penyembuhan. Meskipun sampai saat ini belum terdapat cukup data mengenai komplikasi jangka panjang dari CCHF, penderita CCHF disebut dapat melalui fase convalescent yang cukup panjang, terutama pada penderita yang mengalami fase hemorrhagic.
Dikarenakan CCHF merupakan penyakit infeksi virus, pengobatan pada penderita CCHF sebagian besar bersifat supportive treatment, seperti pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi, istirahat yang cukup, serta pemberian obat-obatan sesuai gejala yang dialami oleh penderita. Beberapa data menyebutkan bahwa pemberian Ribavirin disebut cukup efektif dalam kasus CCHF, namun, masih diperlukan studi lanjutan lagi untuk dapat mengkonfirmasi data-data tersebut.
Mencegah tentu akan lebih baik ketimbang mengobati. Oleh karena itu, untuk penyakit infeksi seperti CCHF, penting bagi kita untuk dapat memiliki pemahaman yang baik terkait epidemiologi dari CCHF, karena, metode pengendalian dan pencegahan terbaik dari suatu penyakit infeksi adalah pengendalian laju transmisi di tingkat masyarakat. Tantangan utama dari upaya pencegahan CCHF adalah CCHF merupakan penyakit kutu menular yang ditularkan melalui virus, dan pengendalian kutu relatif sulit untuk dilakukan. Edukasi terhadap masyarakat harus dilakukan terkait dengan proteksi diri terhadap potensi transmisi dari hewan ke manusia, seperti mengenakan sarung tangan dan pakaian berlengan panjang dengan warna terang yang dilapisi dengan acaricides dan tick/insect repellents yang mengandung DEET (N, N-diethyl-m-toluamide). Masyarakat juga dihimbau untuk menghindari susu yang tidak dipasteurisasi, dihimbau untuk memasak makanan pada suhu yang sesuai, dan dihimbau untuk mendisinfeksi bahan yang digunakan di dapur dan toko daging.
Belum tersedianya data yang adekuat dari sistem surveilans rutin juga menambah tantangan dari pencegahan CCHF. Hal ini dapat terjadi karena ketidakmampuan dokter dan tenaga medis untuk mengidentifikasi tanda dan gejala dari CCHF dalam menegakkan diagnosis yang akurat, serta adanya overlapping antara gejala dari CCHF dengan penyakit lainnya. Kendala tersebut dapat diperparah oleh adanya keterbatasan sumber daya untuk melakukan diagnosis laboratorium. Oleh karena itu, tenaga kesehatan direkomendasikan untuk mendapat pelatihan untuk dapat mengidentifikasi gejala CCHF dan dapat menegakkan diagnosis CCHF, termasuk apabila dalam kondisi keterbatasan alat bantu diagnosis. Fasilitas kesehatan juga direkomendasikan untuk melengkapi diri dengan alat pelindung diri (APD) yang mumpuni, serta peralatan diagnosis yang dapat menunjang penegakkan diagnosis CCHF, terutama fasilitas kesehatan yang berada di daerah endemi CCHF.
Pandemi Covid yang masih terus berlangsung memang menjadi fokus dari isu public health secara global. Meskipun demikian, perhatian dan upaya kita terhadap penyakit lainnya tidak serta-merta harus berkurang. Kombinasi dari tingkat infeksi yang tinggi dari Covid dan tingkat fatalitas yang tinggi dari CCHF serta penyakit-penyakit lainnya harus disikapi dengan bijak dan antisipatif oleh tenaga kesehatan, Pemerintah, pihak berwenang lainnya, dan seluruh masyarakat.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa Pandemi Covid telah menyadarkan kita bahwa kita harus selalu siap menghadapi kenyataan bahwa virus zoonosis apapun –terutama yang memiliki kemampuan transmisi antar manusia- dapat sangat berbahaya dan memiliki potensi untuk berkontribusi pada terjadinya pandemi.
Stay safe and healthy, semuanya!
***
Sumber artikel:
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmicb.2021.811157/full
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2211419X22000052
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8894572/
https://www.who.int/health-topics/crimean-congo-haemorrhagic-fever#tab=tab_1
https://www.cdc.gov/vhf/crimean-congo/diagnosis/index.html