Reasuransi Jiwa
Amunisi Pandemi Anak Bangsa
Program Vaksinasi Covid telah berlangsung di Indonesia sejak awal tahun 2021 ini. Masyarakat bisa mendapatkan Vaksin Covid secara cuma-cuma melalui Program Vaksinasi Pemerintah dan Program Vaksinasi Gotong Royong. Walaupun menggunakan merk Vaksin Covid yang berbeda-beda, kedua Program Vaksinasi tersebut sama-sama masih menggunakan Vaksin Covid yang diimpor dari luar negeri, baik itu dalam bentuk siap pakai maupun dalam bentuk bahan baku. Meskipun saat ini dapat dikatakan kita masih menggunakan ‘vaksin impor’, tahu kah kalian kalau sebenarnya proses pengembangan beberapa Vaksin Covid buatan anak bangsa telah dimulai sejak beberapa saat yang lalu?
Vaksin Merah Putih
Sumber foto: www.freepik.com
Vaksin Merah-Putih ini sebenarnya tidak hanya mengacu kepada satu jenis vaksin saja, melainkan mengacu kepada sekelompok kandidat vaksin yang tengah dikembangkan oleh konsorsium riset di bawah naungan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN). Dalam konsorsium tersebut, terdapat tujuh lembaga yang tengah melakukan proses pengembangan Vaksin Merah-Putih. Dari tujuh lembaga tersebut, lima di antaranya bernaung di bawah perguruan tinggi negeri (PTN), yaitu, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga, sementara dua lembaga lainnya adalah Lembaga Biologi Molekular
Eijkman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Vaksin Merah Putih ini dikembangkan dengan
platform sub-unit protein rekombinan. Dalam lingkup laboratorium, bibit vaksin ini dikembangkan dalam skala kecil, sebelum nantinya akan dibiakkan oleh PT Bio Farma selaku pihak industri. Saat ini, Vaksin Merah Putih memang masih dalam tahap uji pre-klinis dan proses peralihan dari laboratorium ke industri. Nantinya, diharapkan proses pengembangan yang dilakukan di laboratorium dapat ditranslasikan dalam kondisi industri, sehingga, produksi massal (
upscaling) dapat dilakukan.
Tahapan uji klinis dari Vaksin Merah Putih ini diharapkan dapat dimulai pada akhir tahun 2021. Apabila semua berjalan sesuai rencana, Vaksin Merah Putih ini ditargetkan untuk mulai diproduksi pada April 2022, tentunya setelah mendapatkan izin penggunaan darurat alias
emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Vaksin Nusantara
Sumber foto: www.freepik.com
Selain Vaksin Merah-Putih, ada juga Vaksin Nusantara yang juga tengah dikembangkan di Indonesia. Vaksin Nusantara ini merupakan
rebranding dari Vaksin Joglosemar, yang merupakan kandidat vaksin COVID-19 berbasis sel dendritik yang tengah dikembangkan oleh sekumpulan ilmuwan di Universitas Diponegoro, yang bekerja sama dengan PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma), AIVITA
Biomedical Inc. yang berasal dari California, Amerika Serikat, dan turut didukung oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes).
Teknologi sel dendritik sendiri bukanlah hal baru dalam dunia medis, karena sebelumnya teknologi ini telah diadaptasi dalam terapi beberapa penyakit, seperti penyakit kanker dan penyakit
autoimmune. Walaupun demikian, dalam lingkup vaksin, Vaksin Nusantara ini merupakan kandidat vaksin pertama yang mengadaptasi teknologi sel dendritik.
Sel dendritik autolog sendiri merupakan komponen yang berasal dari sel darah putih (leukosit) yang diambil dari darah calon penerimanya. Kemudian, sel dendritik autolog ini akan dipaparkan dengan antigen protein S dari SARS-CoV-2. Setelah itu, sel dendritik yang telah ‘berkenalan’ dengan antigen virus akan diinjeksikan kembali kepada penerimanya, yang mana bertujuan untuk memicu terbentuknya dan aktivasi sistem imun pada penerimanya. Selain itu, vaksin sel dendritik juga disebut dapat mengaktivasi sel T, sehingga kekebalan yang terbentuk diharapkan dapat bertahan lama.
Sumber foto: www.freepik.com
Jajang Edi Prayitno selaku anggota dari Tim Uji Klinis Vaksin Nusantara bahkan mengklaim bahwa kekebalan yang terbentuk pada penerima Vaksin Nusantara mampu untuk bertahan seumur hidup. Jajang juga menyampaikan bahwa kekebalan yang terbentuk oleh Vaksin Nusantara mampu untuk menangani semua varian mutasi dari SARS-CoV-2, baik yang saat ini telah ada, atau yang nanti akan ada. Selain itu, Jajang juga mengklaim bahwa Vaksin Nusantara aman untuk diberikan kepada semua kelompok usia dan orang-orang yang menderita berbagai penyakit komorbid.
Uji klinis fase I dari Vaksin Nusantara sendiri dimulai pada 23 Desember 2020 hingga 11 Januari 2021, yang ditandai dengan penyuntikan pertama ke relawan di RSUP Dr Kariadi Semarang. Uji klinis fase I tersebut dinyatakan berhasil dengan baik oleh dr. Terawan, di mana, kandidat Vaksin Nusantara tersebut terbukti aman untuk diberikan kepada 28 orang relawan dan menunjukkan pembentukan imunitas yang baik.
Uji klinis fase II juga telah dilakukan sebagai tindak lanjut dari uji klinis fase I. Walaupun mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak dan tidak mendapatkan izin dari BPOM, uji klinis fase II tersebut tetap dilakukan. Meskipun demikian, BPOM menegaskan bahwa proses pengambilan sampel darah itu bukan merupakan bagian dari uji klinis fase II, lantaran hingga saat ini BPOM belum mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) dan tim peneliti dari Vaksin Nusantara selama ini kerap mengabaikan hasil evaluasi yang disampaikan oleh BPOM. Padahal, hasil evaluasi tersebut merupakan kajian dan inspeksi BPOM atas hasil uji klinis fase I, yang menjadi pertimbangan BPOM dalam penerbitan PPUK uji klinis fase II.
BPOM menyatakan, mereka tidak dapat memberikan persetujuan kepada Vaksin Nusantara untuk melanjutkan uji klinisnya, lantaran kandidat vaksin tersebut masih belum mampu memenuhi sejumlah persyaratan untuk uji klinis vaksin, seperti uji klinis yang baik (
good clinical practical),
proof of concept,
good laboratory practice, dan proses pembuatan obat/vaksin yang baik (
good manufacturing practice).
Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh BPOM, proses pengembangan Vaksin Nusantara dilakukan secara manual dan terbuka, sehingga, belum dapat dipastikan bahwa komponen yang diambil dan disuntikkan kepada relawan steril. Padahal, dengan mempertimbangkan bahwa vaksin tersebut akan dimasukkan ke dalam tubuh manusia, terlebih lagi dengan mempertimbangkan bahwa kandidat vaksin tersebut menggunakan komponen darah, proses pengembangan vaksin tersebut seharusnya tidak dilakukan dengan metode
open system. Sebagaimana yang telah kita ketahui, sebuah komponen harus memiliki klasifikasi
pharmaceutical grade untuk dapat dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nah sayangnya, menurut BPOM, kualitas mutu dari Vaksin Nusantara masih belum dapat dikategorikan sebagai
pharmaceutical grade.
Sumber foto: www.freepik.com
BPOM juga mengungkapkan bahwa antigen yang digunakan dalam proses pengembangan vaksin masih belum dapat terjamin sterilitasnya, lantaran antigen tersebut dibuat hanya untuk tujuan riset di laboratorium. Pernyataan dari BPOM ini bahkan diamini sendiri oleh
Lake Pharma-USA, selaku produsen dari antigen tersebut.
Selain dari sterilitasnya, BPOM juga menilai bahwa metode
dendritic yang diadaptasi pada proses pengembangan Vaksin Nusantara juga masih belum dapat dijelaskan dengan pasti mekanisme imunitasnya. Sebab, pada pengamatan yang dilakukan atas literasi yang ada, didapatkan fakta bahwa pengobatan kanker dan pencegahan infeksi yang disebabkan oleh virus memiliki reseptor yang berbeda.
Ditinjau dari segi metodologi dan pengukuran, BPOM juga menemukan bahwa beberapa alat ukur yang digunakan pada proses pengembangan Vaksin Nusantara masih belum terkalibrasi, sehingga menyebabkan pengujian belum tervalidasi dengan baik dan pernyataan bahwa hasil uji tersebut akurat masih dapat diragukan.
BPOM juga mendapati adanya beberapa data terkait keamanan pada uji klinis fase I dari Vaksin Nusantara yang dihilangkan tanpa alasan yang jelas. Selain itu, pada laporan hasil uji juga terdapat inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber,
worksheet, dan
case report form terhadap kejadian tidak diinginkan yang dialami oleh relawan uji klinis. Berdasarkan data yang ada, 20 dari 28 orang relawan uji klinis fase I dinyatakan mengalami kejadian tak diinginkan, seperti nyeri pada lokasi penyuntikan, nyeri kepala, nyeri sendi, kemerahan, gatal, munculnya ptechiae, lemas, demam, mual, batuk, dan pilek. Dari 20 orang relawan tersebut, tiga orang di antaranya mengalami peningkatan kadar kolesterol, dua orang di antaranya mengalami peningkatan kadar
blood urea nitrogen (BUN), dan satu orang mengalami hipernatremi. Kejadian tak diinginkan yang dialami oleh enam orang tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam kejadian tak diinginkan
grade 3. Fakta yang sangat menarik lainnya adalah 20 orang relawan yang mengalami kejadian tak diinginkan itu adalah kelompok yang menerima
adjuvant 500 mcg.
Terkait dengan klaim pembentukan antibodi, BPOM juga menemukan data bahwa beberapa relawan uji klinis fase I telah memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2 sebelumnya, sehingga klaim bahwa Vaksin Nusantara berhasil mencetuskan kekebalan terhadap SARS-CoV-2 menjadi diragukan. Bahkan, BPOM mengungkapkan bahwa delapan orang relawan yang sebelumnya tercatat telah memiliki antibodi, justru mengalami penurunan titer antibodi pada empat minggu setelah proses penyuntikan. Hanya tiga orang relawan dari kelompok penerima
adjuvant 500 mcg yang mengalami peningkatan
titer antibodi, itupun, mereka juga termasuk kepada kelompok relawan yang mengalami kejadian tak diinginkan.
Selain dari proses pembuatan, keamanan, serta kemanjurannya, BPOM juga menyoroti peranan dari AIVITA
Biomedical selaku peneliti asing yang dinilai justru lebih mendominasi jalannya riset. Sejauh ini, transfer teknologi dinilai hanya dilakukan dengan memberikan kesempatan pada beberapa staf RSUP Dr Kadiadi Semarang untuk melihat beberapa tahapan dari proses pengembangan vaksin dendritik. BPOM juga menyatakan bahwa kepemilikan paten dan metode pembuatan dalam uji klinis juga dimiliki oleh AIVITA
Biomedical.
Senada dengan pernyataan BPOM, Prof Wiku Adisasmito selaku Juru Bicara Satgas COVID-19 juga menyatakan bahwa Vaksin Nusantara ini lebih merupakan vaksin yang dikembangkan oleh Amerika Serikat namun diujicobakan di Indonesia, yang mana, pernyataan dari Prof Wiku tersebut mengacu kepada proses pembuatan antigen,
medium pembuatan sel, dan komponen pembuatan vaksinnya yang sepenuhnya dilakukan di Amerika Serikat.
Vaksin BUMN
Selain dua vaksin di atas, ada lagi Vaksin Covid yang dikembangkan oleh BUMN. Vaksin BUMN ini diinisiasi oleh BUMN melalui PT Bio Farma dan bekerja sama dengan
Baylor College of Medicine di Amerika Serikat. Saat ini, Vaksin BUMN masih dalam proses menunggu hasil kajian dari Balitbangkes Kemenkes dan belum memiliki target kapan hasil penjajakan dan kajian tersebut akan selesai. Meskipun demikian, Erick Thohir selaku Menteri BUMN menyampaikan bahwa Vaksin BUMN ini telah masuk ke daftar kandidat Vaksin Covid yang akan dirilis oleh
World Health Organization (WHO). Erick Thohir juga menyampaikan harapan bahwa Vaksin BUMN ini dapat turut berperan serta dalam pemenuhan kebutuhan Vaksin Covid di Indonesia, mengingat adanya kemungkinan bahwa masyarakat yang telah mendapatkan Vaksin Covid pun nantinya akan kembali membutuhkan vaksin
booster.
Sumber foto: www.freepik.com
Nah, ternyata selama ini proses pengembangan Vaksin Covid buatan anak bangsa sudah mulai dilakukan ya. Meskipun demikian, hendaknya kita tidak menunda untuk mendapatkan Vaksin Covid, hanya karena kita bersikap
‘picky’ dalam memilih vaksin. Ingatlah bahwa Vaksin Covid yang terbaik adalah vaksin tercepat yang bisa kita dapatkan, terutama, dalam situasi di mana lonjakan kasus Covid masih terjadi di berbagai belahan dunia. Karena, dengan divaksin, kita telah melakukan ikhtiar untuk melindungi diri kita dan orang-orang tercinta kita.
Stay safe and healthy.
*******