06 March 2017 8008

Transplantasi Liver

Liver merupakan organ tubuh terbesar kedua setelah kulit. Liver kita berfungsi untuk menyaring darah dari saluran pencernaan yang masuk melalui vena portal. Liver yang sehat akan memastikan darah tersebut bebas dari benda asing yang berpotensi menimbulkan infeksi pada tubuh. Selain itu, liver juga bertugas untuk memproduksi cairan empedu yang berfungsi membantu pencernaan dan penyerapan lemak.

Pada penderita penyakit liver kronis tahap akhir atau gagal liver, liver sudah tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik sehingga tubuh penderita berpotensi terkenan infeksi sistemik. Oleh karena itu, penderita akan memerlukan transplantasi liver untuk dapat mengembalikan fungsi liver. Transplantasi liver merupakan prosedur pembedahan untuk mengangkat liver yang tidak lagi dapat berfungsi dan menggantinya dengan liver sehat dari donor hidup maupun cadaver. Transplantasi liver dilakukan pada penderita penyakit liver kronis tahap akhir atau gagal liver.

Donor hidup dilakukan dengan mengambil sebagian liver dari pemberi donor yang masih hidup kepada resipien. Sebelum diberikan liver baru, liver resipien akan diangkat dari tubuhnya. Liver manusia dapat beregenerasi dan kembali ke ukuran normalnya setelah diambil sebagian untuk didonorkan, sehingga risiko prosedur transplantasi pada donor tidaklah terlalu besar. Inilah alasannya mengapa donor hidup sering dilakukan. Sementara itu, liver yang telah ditransplantasikan kepada resipien juga akan tumbuh dan perlahan-lahan berfungsi secara normal pada tubuh resipien dalam beberapa minggu hingga bulan. Sebagian besar resipien donor hidup mendapatkan transplantasi dari keluarga atau kerabat dekat resipien, atau dapat juga orang lain dengan kecocokan yang baik dengan resipien. Umumnya, donor liver harus memenuhi kriteria berikut:

  • Berusia 18 – 55 tahun
  • Berada dalam kondisi sehat tanpa penyakit fisik atau mental yang signifikan
  • Tidak merokok setidaknya 6 minggu sebelum prosedur transplantasi
  • Bersedia mengikuti dan mematuhi seluruh protocol transplantasi

Donor cadaver dilakukan dari liver orang yang sudah meninggal. Umumnya, calon resipien donor liver cadaver akan menunggu untuk waktu yang cukup lama sebelum dapat menerima transplantasi. Kemungkinan infeksi dan komplikasi dari donor cadaver juga relative lebih tinggi dari donor hidup.

Sebelum melakukan prosedur transplantasi, calon donor dan resipien liver harus melakukan berbagai pemeriksaan kesehatan dan psikologis di pusat transplantasi. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan biasanya terdiri dari pemeriksaan fisik, laboratorium, pencitraan (biasanya USG abdomen), dan konseling nutrisi. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk memastikan kecocokan antara donor dan resipien serta mendeteksi kemungkinan risiko dari prosedur yang akan dilakukan. Selain itu, pemeriksaan juga dilakukan untuk mengetahui apakan donor dan resipien cukup sehat untuk dapat bertahan melalui prosedur transplantasi, yang mana merupakan operasi besar dalam waktu yang cukup lama (sekitar 12 jam).

Untuk menentukan prognosis dari kondisi liver resipien, dokter umumnya akan menggunakan metode pengukuran Model for End-Stage Liver Disease (MELD) atau Pediatric End-Stage Liver Disease (PELD) bagi anak berusia kurang dari 12 tahun. Komponen penilaian MELD terdiri dari kadar bilirubin, INR (International Normalized Ratio), creatinine, sodium, dan frekuensi dialysis yang dilakukannya. Score MELD berada pada range 6 – 40. Penentuan score ini bertujuan untuk menentukan probabilitas mortalitas calon resipien dalam 90 hari jika tidak mendapatkan transplantasi. Semakin tinggi score MELD resipien, semakin tinggi probabilitas mortalitasnya. Resipien dengan score MELD yang tinggi umumnya akan masuk ke daftar tunggu prioritas.

Transplantasi liver merupakan prosedur pembedahan besar dengan kemungkinan komplikasi yang signifikan. Beberapa risiko yang dapat terjadi dari prosedur transplantasi liver adalah sebagai berikut:

  1. Gangguan pada ductus biliaris, termasuk kebocoran ductus dan penyempitan ductus biliaris
  2. Perdarahan
  3. Pembekuan darah
  4. Gagalnya prosedur transplantasi
  5. Infeksi
  6. Reaksi penolakan donor
  7. Kejang
  8. Gangguan mental
  9. Rekurensi dari penyakit liver pada resipien

Seperti pada prosedur transplantasi organ lainnya, resipien harus mengkonsumsi obat anti-rejection setelah melakukan transplantasi. Obat tersebut akan dikonsumsi dalam jangka waktu panjang, bahkan dapat seumur hidup untuk mencegah reaksi penolakan. Sayangnya, tentunya konsumsi obat tersebut dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti:

  1. Penipisan jaringan tulang
  2. Diabetes
  3. Diare
  4. Nyeri kepala
  5. Peningkatan tekanan darah
  6. Peningkatan kadar kolesterol
  7. Terjadinya infeksi akibat penurunan system imun

Prognosis resipien transplantasi bergantung pada kondisi masing-masing resipien. Secara umum, 5-years-survival-rate dari resipien transplantasi liver adalah sekitar 70 – 86%. Resipien yang menerima donor hidup memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan resipien dengan donor cadaver. Selain itu, terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi prognosis resipien, di antaranya konsumsi alkohol, terapi immunosuppressive yang dikonsumsi, comorbid penyakit cardiovascular, keganasan, dan penyakit ginjal.

 

 

*********

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id