06 October 2021 2150
Reasuransi Jiwa

Pengajuan Asuransi Jiwa dan Kesehatan Bagi Penyintas Covid

Terkendalinya kasus Covid di Indonesia selama beberapa waktu terakhir ini merupakan hal yang baik dan sangat patut disyukuri oleh seluruh kalangan masyarakat. Hal tersebut lantaran selain telah berlalunya masa ‘krisis kesehatan’, terkendalinya kasus Covid di Indonesia dapat dianggap sebagai pertanda awal dari pulihnya kondisi perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya industri asuransi dan reasuransi jiwa.
 

yaso1
Sumber foto: www.freepik.com

 
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2021 ini memang pada dasarnya masih terkontraksi. Walaupun demikian, berbagai indikator telah menunjukkan adanya trend kenaikan yang positif. Industri Asuransi Jiwa Indonesia selaku salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional juga turut mencatatkan adanya pertumbuhan positif pada sebagian besar bidang kinerjanya. Jika sebelumnya Industri Asuransi Jiwa Indonesia mencatat nilai minus hampir sebesar IDR 500 miliar pada kuartal pertama tahun 2020, di kuartal pertama tahun 2021 ini, puluhan Perusahaan Asuransi Jiwa yang tergabung dalam Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) telah mencatat pendapatan positif sebesar IDR 62.66 T.

Dikutip dari Siaran Pers Kinerja Industri Asuransi Jiwa Kuartal I/2021, peningkatan kinerja industri asuransi jiwa dan sektor ekonomi secara umum disebabkan oleh mulai meningkatnya aktivitas dari masyarakat dan dunia bisnis. Salah satu pertanda mulai pulihnya industri asuransi dan reasuransi jiwa Indonesia dapat kita lihat melalui mulai banyaknya masyarakat yang berminat untuk memiliki polis asuransi jiwa dan kesehatan. Meskipun momentum pulihnya industri ini tidak boleh kita lewatkan, kita tentunya harus mempertimbangkan masih adanya potensi bahaya Covid dalam setiap pengajuan asuransi yang datang ke meja kita, terutama pengajuan dari calon tertanggung yang merupakan penyintas Covid.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, saat seorang penyintas Covid dinyatakan sembuh oleh dokter, dirinya masih berpotensi mengalami gangguan kesehatan yang merupakan ‘gejala sisa’ dari Covid yang pernah dideritanya. Fenomena ini dikenal sebagai Long Covid, yang juga akrab dikenal sebagai Long Haul Covid atau Post-Acute-SARS-CoV-2 (PASC). Fenomena ini merujuk kepada adanya gejala atau gangguan kesehatan yang terkait dengan COVID-19, yang muncul atau menetap selama beberapa minggu hingga bulan setelah seorang penyintas dinyatakan sembuh dari COVID-19.

 

yaso2
Sumber foto: www.freepik.com

 
Memang tidak semua penyintas pasti mengalami fenomena Long Covid. Berdasarkan studi-studi yang ada, para ahli meyakini bahwa semakin berat gejala yang penyintas alami pada saat terinfeksi COVID-19, semakin tinggi pula kemungkinan penyintas tersebut untuk mengalami Long Covid. Oleh karena itu, keputusan akseptasi atas pengajuan polis asuransi seorang penyintas Covid sangat bergantung pada gejala yang dialaminya saat menderita Covid serta beberapa indikator lainnya.

Apabila merujuk pada gejala yang dialaminya, penderita Covid dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok Orang Tanpa Gejala (OTG) atau Orang Dengan Gejala (ODG), yang nantinya terbagi kembali ke dalam kelompok ODG ringan, ODG sedang, serta ODG berat/kritis.

Berdasarkan hasil diskusi dan kesepakatan perusahaan reasuransi lokal dan global, penyintas Covid yang dulunya merupakan OTG dapat mengajukan pertanggungan asuransi setidaknya satu bulan setelah dia dinyatakan sembuh oleh dokter. Pernyataan sembuh itu sendiri dapat merujuk kepada pemeriksaan PCR yang menunjukkan hasil negatif, ataupun surat pernyataan dari dokter yang menyatakan bahwa penyintas telah melakukan isolasi mandiri (isoman) selama setidaknya 10 hari dan tidak memiliki gejala apapun yang dapat mengarah ke Covid.

Serupa dengan OTG, penyintas Covid yang dulunya merupakan ODG ringan dan hanya melakukan isoman juga diperkenankan untuk mengajukan mengajukan pertanggungan asuransi setidaknya satu bulan setelah dia dinyatakan sembuh oleh dokter. Pernyataan dokter tersebut juga sangat disarankan meliputi pernyataan bahwa penyintas tersebut tidak menderita gejala yang terkait dengan Covid kembali.
 

yaso3
Sumber foto: www.freepik.com

Berbeda dengan penyintas yang merupakan OTG dan ODG ringan yang hanya melakukan isoman, penyintas yang pernah menjalani perawatan di rumah sakit akan mendapatkan rekomendasi postpone lebih lama daripada penyintas yang hanya menjalani isoman. Apabila penyintas tersebut pernah menjalani perawatan di ruang rawat inap biasa di rumah sakit, maka dirinya baru diperkenankan mengajukan pertanggungan asuransi paling cepat tiga bulan setelah dirinya dinyatakan sembuh dan mendapatkan hasil PCR negatif. Sehingga, apabila penyintas tersebut mengajukan pertanggungan asuransi sebelum tiga bulan, pengajuan asuransi tersebut akan direkomendasikan untuk ditunda (postpone).

Untuk penyintas yang pernah mendapatkan perawatan di ruang intensif rumah sakit, masa postpone yang direkomendasikan akan lebih lama jika dibandingkan dengan penyintas yang hanya dirawat inap di rungan biasa. Hal tersebut direkomendasikan dengan mempertimbangkan bahwa penyintas tersebut pernah memiliki gejala yang cukup berat atau bahkan kritis, sehingga penyintas tersebut lebih berpotensi mengalami Long Covid atau gangguan fungsi organ di kemudian harinya.

Untuk penyintas yang pernah mendapatkan perawatan di ruang intensif tanpa penggunaan ventilator, masa postpone yang direkomendasikan adalah setidaknya enam bulan. Sementara, untuk penyintas yang pernah mendapatkan perawatan di ruang intensif dengan penggunaan ventilator, masa postpone yang direkomendasikan adalah setidaknya satu tahun.

Selain dari gejala yang dialami oleh penyintas pada saat dirinya menderita Covid, kita juga harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat menjadi pemberat bagi seorang penyintas Covid. Sebagai contoh, adanya penyakit komorbid pada seorang penyintas dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan asuransi untuk tidak menerima pengajuan asuransi dari penyintas tersebut. Terutama apabila penyakit komorbid itu bersifat berat, kronis, dan belum dapat terkontrol dengan baik. Misalnya, apabila seorang penyintas Covid juga menderita penyakit diabetes mellitus yang belum terkontrol dengan pengobatan yang selama ini dikonsumsinya, tentunya hal tersebut dapat menjadi ‘faktor pemberat’ dari pengajuan asuransinya.

Selain dari penyakit komorbid, kita juga harus mempertimbangkan pengajuan asuransi penyintas Covid dari manfaat asuransi yang akan diambilnya. Misalnya, untuk penyintas Covid yang merupakan ODG berat, dirinya masih bisa mengajukan polis asuransi untuk manfaat life only, namun, pertimbangan akan lebih berat dan banyak apabila penyintas tersebut mengajukan pertanggungan hospital benefit.

Hal yang tak kalah penting dari periode postpone adalah pengajuan asuransi dari seorang penyintas Covid harus dilengkapi dengan dokumen medis pendukung tambahan. Jenis dari dokumen medis pendukung tersebut tentunya akan dilakukan dengan mempertimbangkan gejala yang pernah dialaminya, jenis perawatan yang pernah diterimanya, ada tidaknya kondisi komorbid, serta manfaat asuransi yang akan diambilnya. Namun, secara umum dokumen medis pendukung tambahan yang dibutuhkan adalah Attending Physician Statement (APS), kuesioner Covid yang dilengkapi oleh calon tertanggung, hasil pemeriksaan rontgen dada, hasil pemeriksaan darah, serta hasil pemeriksaan PCR terbaru yang telah menunjukkan hasil negatif.

Nah, demikian kira-kira rules di Indonesia Re untuk pengajuan asuransi bagi penyintas Covid. Kalau rules yang berlaku di perusahaan kalian bagaimana, nih, teman-teman?
Stay safe and healthy, ya!
 
 
***
 
 
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id