22 January 2021 4894
Reasuransi Jiwa

Fakta-Fakta Terkait Kejadian Kematian Penerima Vaksin Pfizer

Pada akhir Desember 2020 lalu, negara-negara di berbagai belahan dunia telah memulai program vaksinasi COVID-19 massal di negaranya masing-masing. Sayangnya, kegembiraan hadirnya vaksin COVID-19 yang telah lama dinanti ini diiringi oleh adanya berita duka, di mana pemberian Vaksin Pfizer di Norwegia dan Florida disebut-sebut telah menimbulkan korban jiwa.

Bagaimanakah fakta sebenarnya tentang pemberitaan ini?

1

Sumber foto: www.freepik.com
 
Hingga tanggal 20 Januari kemarin, Norwegia telah mengkonfirmasi adanya 33 kasus kematian pada lansia yang menghuni panti jompo dan fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang, beberapa hari setelah mereka diberikan Vaksin Pfizer. Norwegian Medicines Agency (NOMA) dan National Institute of Public Health sendiri telah melakukan investigasi mendalam pada 13 kasus di antaranya, dan menyimpulkan bahwa kemungkinan besar, kejadian kematian tersebut adalah sebuah ‘coincidence’ yang terjadi setelah pemberian vaksin.

Pernyataan tersebut didasari oleh data kesehatan di Norwegia yang menunjukkan bahwa setiap minggunya terjadi kematian pada kurang lebih 400 lansia penghuni panti jompo dan fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang di Norwegia. Pasalnya, hampir semua penghuni fasilitas tersebut adalah orang berusia sangat lanjut dan memiliki penyakit berat atau dalam stadium sangat lanjut. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan oleh Sigurd Hortemo selaku Chief of Physician NOMA dan dr. Steinar Madsen selaku Direktur Medis Badan Obat Norwegia, efek samping ringan dari Vaksin Pfizer seperti demam dan mual muntah pun dapat memberikan efek yang fatal bagi para ‘korban’ tersebut.

Vaksin Pfizer yang dikembangkan oleh Pfizer dan BioNTech sendiri sebelumnya telah menjamin keamanan Vaksin Pfizer melalui uji klinis yang telah mereka lakukan sebelumnya pada lebih dari 40,000 relawan vaksin. Bahkan, regulator kesehatan di berbagai belahan dunia telah mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) yang menjamin keamanan penggunaan Vaksin Pfizer, khususnya pada pandemi ini. Uji klinis Vaksin Pfizer juga telah dilakukan pada kelompok usia lanjut (di atas 65 tahun), yang mana menjadi dasar pertimbangan pemberian Vaksin Pfizer pada lansia di Norwegia.
 

2

Sumber foto: www.freepik.com
 
Norwegia sendiri memang telah memberikan pernyataan bahwa mereka memprioritaskan pemberian Vaksin Pfizer bagi tenaga kesehatan –selaku garda depan- dan lansia, khususnya yang tinggal di di panti jompo atau fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang, dengan mempertimbangkan kerentanan mereka untuk terinfeksi COVID-19. Permasalahannya adalah, walaupun uji klinis Vaksin Pfizer juga telah dilakukan pada kelompok lansia, hanya sedikit dari relawan vaksin tersebut yang berusia di atas 80 tahun, sementara pemberian Vaksin Pfizer di Norwegia banyak diberikan kepada lansia berusia 85 ke atas, dengan mengasumsikan bahwa potensi efek samping pemberian Vaksin Pfizer pada lansia berusia 85 ke atas kurang lebih sama dengan yang dapat terjadi pada usia 65 tahun ke atas.

Untuk selanjutnya, Institut Kesehatan Masyarakat Norwegia menyatakan bahwa dengan mempertimbangkan kerentanan para lansia tersebut untuk terinfeksi COVID-19, mereka tetap akan memberikan prioritas vaksinasi terhadap mereka. Walaupun demikian, tentunya keputusan pemberian vaksin akan dilakukan dengan lebih cermat serta dilakukan setelah melakukan diskusi mendalam dengan para lansia dan keluarganya terkait ‘risk and benefit’ dari pemberian vaksin itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan adanya potensi kegagalan pembentukan antibodi pada kelompok lansia, sementara pemberian vaksin sendiri dapat menimbulkan fatalitas bagi mereka.

Selain di Norwegia, kasus kematian serupa juga terjadi di Florida, Amerika Serikat. Dr. Gregory Michael, seorang dokter obgyn berusia 56 tahun disebut meninggal karena perdarahan otak, 16 hari setelah menerima Vaksin Pfizer. Pihak keluarga dr. Michael menyebutkan bahwa dr. Michael tidak memiliki riwayat penyakit apapun –termasuk riwayat alergi pada vaksin atau obat- yang dapat memicu terjadinya reaksi alergi berat pada vaksin ataupun perdarahan otak. Selain itu, dr Michael juga disebut berada dalam kondisi prima saat menerima vaksinasi, tidak pernah terinfeksi COVID-19 sebelumnya, serta selalu menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam kehidupan sehari-hari.
 

3

Sumber foto: www.freepik.com
 
Tim dokter yang merawat dr. Michael menyatakan bahwa dr. Michael mengalami kondisi yang disebut dengan acute immune thrombocytopenia, yang mana merupakan kondisi di mana terjadi gangguan pembekuan darah karena adanya respon imun tertentu. Trombosit dr. Michael sendiri berada pada angka 0, jauh di bawah angka normalnya yaitu 150,000. Hal tersebut disinyalir menjadi penyebab terjadinya kegagalan pembekuan darah dan perdarahan hebat pada tubuh dr. Michael.

Selama kurang lebih dua minggu, tim dokter juga telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan angka trombosit dr Michael, termasuk mendatangkan pakar-pakar dari seluruh negara bagian dan berencana untuk melakukan splenectomy (operasi pengangkatan limpa), yang diharapkan dapat membantu mengatasi gangguan pembekuan darahnya. Namun sayang, dua hari sebelum rencana operasi tersebut direalisasikan, dr Michael mengalami stroke hemorrhagic (perdarahan) dan akhirnya meninggal dunia.

Berbeda dengan kasus kematian para lansia di Norwegia, dr. Jerry L. Spivak, selaku pakar kelainan darah dari Johns Hopkins University menyebutkan bahwa besar kemungkinan kondisi yang terjadi pada dr. Michael ini memang terkait dan dicetuskan oleh pemberian vaksin. Acute immune thrombocytopenia ini sendiri terjadi ketika sistem imun menyerang sel keping darah (platelet) atau sel di dalam sumsum tulang belakang yang bertugas membuat platelet. Kondisi ini dapat juga terjadi pada penderita COVID-19 ataupun pasien yang mengkonsumsi quinine atau antibiotik tertentu.

Acute immune thrombocytopenia ini sendiri merupakan suatu kondisi yang bersifat ‘idiosyncratic’, yang berarti dapat terjadi pada individu manapun, tanpa individu tersebut harus memiliki riwayat atau kondisi medis tertentu. Melihat kasus dr. Michael ini, dr. Spivak mengatakan bahwa acute immune thrombocytopenia ini terbukti dapat terjadi pada penerima vaksin, walaupun kemungkinannya sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, tidak seharusnya potensi efek samping yang langka tersebut dapat menghentikan program vaksinasi ini, karena sejatinya vaksinasi COVID-19 merupakan upaya untuk mengendalikan laju pandemi di dunia.

4

Sumber foto: www.freepik.com
 
Sepaham dengan dr. Spivak, dr. Paul Offit, seorang pakar vaksinasi dan penyakit menular di Children’s Hospital of Philadelphia juga menyatakan bahwa memang ada beberapa vaksin yang dapat mencetuskan munculnya gangguan pembekuan darah, salah satunya adalah vaksin campak. Namun, pada umumnya gangguan pembekuan darah ini bersifat ringan dan sementara. Selain itu, gangguan ini sendiri relatif jarang terjadi dan dapat terjadi pada 1 dari 25,000 orang yang diberikan vaksin campak.

Kasus di Norwegia dan Florida ini tak ayal membuat negara-negara lain turut bereaksi, termasuk di antaranya Australia yang memang berencana untuk memvaksinasi warga negaranya dengan Vaksin Pfizer. Greg Hunt selaku Menteri Kesehatan Australia telah memerintahkan Therapeutic Goods Administration (TGA) untuk bekerja sama dengan pihak-pihak yang diperlukan –termasuk di antaranya Regulator Kesehatan Eropa- dalam mencari informasi mendetail tentang Vaksin Pfizer, khususnya tentang potensi efek sampingnya.

Senada dengan Australia, pakar-pakar kesehatan di China juga telah menunjukkan kekhawatiran mereka akan pemberian vaksin berbasis mRNA seperti Vaksin Pfizer, khususnya apabila penerima vaksin tersebut berusia lanjut atau memiliki komorbid tertentu. Dilansir dari Global Times, Yang Zhanqiu, seorang ahli virologi dari University of Wuhan menyampaikan bahwa jika memang terbukti bahwa pemberian Vaksin Pfizer dapat memicu munculnya efek samping yang dapat mengakibatkan kematian, ada baiknya jika Pfizer melakukan analisa ulang terkait dengan keamanan vaksin tersebut, karena keamanan vaksin tersebut di dunia nyata tidak sebaik pada uji klinisnya.
Selain itu, banyak pakar vaksin lainnya juga turut menilai bahwa pengembangan vaksin mRNA ini dilakukan secara terlalu tergesa-gesa. Padahal, selama ini vaksin mRNA belum pernah digunakan dalam skala besar untuk upaya pencegahan penyakit menular. Pun, keamanannya juga belum dapat dikonfirmasi untuk digunakan pada skala besar di dunia.

Investigasi yang dilakukan oleh Pfizer/BioNTech sendiri hingga saat ini belum dapat menyimpulkan adanya asosiasi kausal antara kasus-kasus kematian di atas dengan pemberian vaksin itu sendiri. Namun demikian, hingga saat ini mereka masih melakukan investigasi secara aktif, yang mana bekerja sama dengan pemerintah dan asosiasi/instansi kesehatan yang berwenang di masing-masing daerah. Sembari melakukan hal tersebut, Pfizer juga melakukan pemantauan secara ketat pada seluruh negara yang telah dan akan direncanakan melakukan program vaksinasi COVID-19 dengan menggunakan produk mereka.

Di Indonesia sendiri, program vaksinasi yang menggunakan Vaksin Sinovac masih belum mengikutsertakan lansia dan beberapa kelompok rentan lainnya pada periode program vaksinasi gelombang pertama, karena masih menunggu hasil uji klinis yang dilakukan oleh negara-negara lain terkait dengan keamanan dan kemanjuran Vaksin Sinovac pada kelompok-kelompok rentan, yang mana diperkirakan baru selesai pada April 2021 mendatang.

Pemberian vaksin sendiri pada dasarnya bertujuan untuk merangsang sistem imun agar dapat membentuk antibodi yang spesifik atas suatu penyakit. Pada setiap pengembangan vaksin, tentunya akan ada potensi munculnya efek samping yang langka, yang baru dapat terlihat saat vaksin tersebut diberikan secara nyata pada jutaan orang. Oleh karena itu, dengan melihat adanya laporan kasus kematian yang menyertai pemberian Vaksin Pfizer, masyarakat dunia khususnya pemerintah dan instansi berwenang diharapkan dapat bijak dalam memberikan pernyataan dan mampu memisahkan antara ‘coincidence’ dengan efek samping nyata yang benar-benar dipicu oleh pemberian vaksin tersebut. Jangan sampai, kasus-kasus ini justru menjadi pemicu dari keraguan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam program vaksinasi COVID-19, yang dikhawatirkan dapat memperlambat upaya untuk mengendalikan laju pandemi ini.
 
 
***
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id