Mutasi genetik pada dasarnya merupakan kejadian yang sangat umum terjadi pada virus, terutama pada virus penyebab penyakit yang angka penularannya sedang meningkat. Mutasi genetik sendiri merupakan salah satu mekanisme ‘bertahan hidup’ dari sebuah virus, di mana virus harus selalu beradaptasi saat bertransmisi dari satu inang ke inang yang lain agar dia dapat mempertahankan hidup dan eksistensinya. Dengan kata lain, semakin tinggi angka penularan suatu penyakit, semakin tinggi juga kemungkinan terjadinya mutasi pada virus penyebab penyakit tersebut.
Mutasi genetik juga terjadi pada SARS-CoV-2 yang merupakan virus penyebab COVID-19. Per-tanggal 24 Maret 2021, cov-lineages.org mencatat bahwa SARS-CoV-2 telah memiliki 859 varian mutasi. Sebagian besar varian mutasi pada SARS-CoV-2 tidak mengubah struktur dan kemampuan virus tersebut secara signifikan. Walaupun demikian, pada dasarnya mutasi dari suatu virus dapat membuat virus tersebut menjadi lebih kuat ataupun lebih lemah. Yang dikhawatirkan dari kejadian mutasi adalah apabila varian mutasi yang baru tersebut menjadi lebih kuat, seperti memiliki kecepatan penularan yang lebih tinggi atau memiliki potensi peningkatan keparahan penyakit lebih tinggi dari varian sebelumnya. Selain itu, kita juga perlu mengkhawatirkan adanya potensi varian mutasi baru dari suatu virus untuk bisa ‘melarikan’ diri dari deteksi alat pemeriksaan atau memiliki kemampuan escape antibody, yang dapat membuatnya ‘kebal’ terhadap vaksin.
Oleh para ahli, varian-varian mutasi yang dinilai memiliki potensi untuk menjadi lebih kuat dan mengkhawatirkan diklasifikasikan ke dalam Variant of Concern (VOC), yang mana berarti merupakan varian yang patut mendapat perhatian lebih dalam upaya pengendalian laju pandemi COVID-19. Beberapa VOC di antaranya adalah varian B.1.1.7 dari Inggris, varian B.1.351 dari Afrika Selatan, dan yang terbaru adalah varian P1 dari Brazil.
Varian mutasi P1 alias 20J/501Y.V3 ini pertama kali ditemukan di Brazil pada tanggal 4 Desember 2020. Tidak butuh waktu lama, varian mutasi P1 ini dalam waktu yang singkat sudah teridentifikasi di Asia, seperti Jepang dan Filipina. Varian mutasi P1 itu ditemukan dari proses investigasi dan sekuensing genom atas temuan kasus konfirmasi COVID-19 dari beberapa pendatang dari Brazil. Di Brazil sendiri, varian P1 ini diyakini oleh para ahli memiliki kontribusi yang besar dalam peningkatan angka kasus dan kematian harian akibat COVID-19 pada beberapa minggu terakhir ini.
Berbagai studi telah dilakukan terkait dengan varian P1 ini. Beberapa studi di antaranya menyatakan bahwa varian P1 ini merupakan penyebab utama dari lonjakan gelombang kedua COVID-19 di Brazil. Pasalnya, varian P1 ini dikatakan memiliki kemampuan transmisi yang jauh lebih tinggi dari varian sebelumnya.
Transmissibility dari suatu virus umumnya diukur dengan nilai R0, yang menggambarkan laju transmisi dasar. Nilai R0=1 berarti bahwa dengan varian virus tersebut, satu orang yang terinfeksi berpotensi untuk menulari satu orang lainnya. Sementara pada R0=3, satu orang yang terinfeksi berpotensi untuk menulari tiga orang lainnya. Para ahli kemudian mengkonversi R0 ini dalam satuan ‘kali’ atau persen agar lebih mudah dimengerti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuno R. Faria, et al dalam Genomics and Epidemiology of a Novel SARS-CoV-2 Lineage in Manaus, Brazil, varian P1 dinyatakan memiliki kemampuan transmisi 1.4 – 2.2 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan varian SARS-CoV-2 lainnya.
Hal lain yang dikhawatirkan adalah, dari 17 mutasi yang dimiliki oleh varian mutasi P1, tiga di antaranya (K417T, E484K, dan N501Y) berada di protein spike dan telah menjadi perhatian sebelumnya. Dikutip dari pernyataan Jacqui Wise dalam COVID-19: The E484K Mutation and The Risks It Poses, mutasi E484K pernah ditemukan pada varian mutasi sebelumnya, dan disebut merupakan salah satu mutasi kunci yang bisa membuat SARS-CoV-2 memiliki kemampuan escape antibody, yang mana membuat varian mutasi SARS-CoV-2 tersebut dapat lolos dari antibodi yang telah terbentuk sebelumnya.
Antibodi dapat terbentuk melalui dua mekanisme, yaitu melalui proses infeksi alami dan melalui proses vaksinasi. Jika seseorang mengalami infeksi alami, tubuhnya akan ‘mengingat’ wujud dari virus yang menginfeksinya dan membentuk antibodi sebagai senjata sebagai persiapan jika virus tersebut datang kembali di kemudian hari. Pada proses vaksinasi, vaksin yang diberikan ke dalam tubuh mengandung bagian dari virus yang telah dimatikan/inaktif, yang mana bertujuan untuk memicu tubuh untuk dapat ‘mengenali’ jika di kemudian hari virus yang ‘asli’ datang untuk menginfeksi tubuh.
Jika suatu varian mutasi memiliki kemampuan untuk escape antibody, kita harus mengkhawatirkan kemungkinan bahwa antibodi yang terbentuk dari vaksinasi yang diberikan tidak efektif untuk memerangi infeksi dari virus dengan varian mutasi tersebut. Beberapa penelitian memang telah menunjukkan bahwa varian P1 memang memiliki kemampuan escape antibody dari beberapa vaksin, salah satunya adalah Vaksin Sinovac. Namun, studi ini baru dilakukan pada delapan orang partisipan, yang mana berarti masih perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah partisipan lebih banyak, untuk dapat memvalidasi hasil penelitian ini. Sementara itu, antibodi yang dibentuk oleh Vaksin AstraZeneca dinyatakan masih efektif untuk dapat melawan varian P1, walaupun hingga saat ini belum ada hasil penelitian resmi yang dipublikasi oleh pihak AstraZeneca.
Selain itu, varian mutasi dengan kemampuan escape antibody juga dikhawatirkan dapat memicu terjadinya reinfeksi pada penyintas infeksi. Tubuh seorang penyintas secara alami akan membentuk antibodi atas virus yang sebelumnya telah menginfeksinya. Sehingga, jika di kemudian hari dia terpapar kembali oleh virus tersebut, tubuhnya akan mengingat dan dapat memberikan perlawanan dengan lebih cepat untuk dapat mencegah si penyintas itu untuk terinfeksi kembali.
Jika suatu varian mutasi memiliki kemampuan escape antibody, hal yang dikhawatirkan adalah antibodi yang dimiliki oleh penyintas tidak efektif untuk menangani varian mutasi tersebut. Mengutip penelitian dari William de Souza, et al dalam Levels of SARS-CoV-2 Lineage P1 Neutralization by Antibodies Elicited after Natural Infection and Vaccination, kemampuan plasma darah dari penyintas COVID-19 dengan varian non-P1 untuk dapat menetralisir SARS-CoV-2 dengan varian P1 dikatakan menurun hingga sebesar enam kali lebih rendah jika dibandingkan dengan kemampuan plasma si penyintas untuk bisa menetralisir varian non-P1.
Hasil dari penelitian tersebut menggarisbawahi bahwa antibodi yang dimiliki oleh penyintas COVID-19 dengan varian SARS-CoV-2 non-P1 tidak mampu untuk mencegah si penyintas terinfeksi COVID-19 kembali (reinfeksi), jika dia terpapar SARS-CoV-2 varian P1. Hal tersebut dibuktikan dengan meningkatknya angka kejadian reinfeksi COVID-19 di Brazil pada akhir tahun 2020 lalu, di mana dari sekitar 100 orang penyintas, 61 orang penyintas positif mengalami reinfeksi dengan varian P1 sebagai penyebabnya.
Yang mengkhawatirkan adalah, ledakan gelombang kedua di Brazil ini telah menyebabkan lumpuhnya pelayanan kesehatan di Brazil, termasuk yang paling mengkhawatirkan adalah penuhnya fasilitas ruang perawatan intensif (Intensive Care Unit – ICU) di Brazil. Berdasarkan data dari pemerintah Brazil, angka okupansi fasilitas ICU yang berada di seluruh negeri telah mencapai 80%.
Selain dari kemunculan varian P1 ini, lonjakan kasus gelombang kedua di Brazil ini juga disinyalir diakibatkan oleh melonggarnya protokol kesehatan selama periode liburan Natal dan tahun baru kemarin. Berbagai pesta, karnaval, dan acara hiburan lainnya digelar di seluruh pelosok negeri. Sikap dari Presiden Jair Bolsonaro yang kerap menentang protokol kesehatan dan cenderung meremehkan bahaya dari COVID-19 juga dinilai sangat mempengaruhi kepatuhan masyarakat Brazil akan protokol kesehatan. Padahal, hingga saat ini angka penularan COVID-19 di Brazil masih sangat tinggi dan rekor kematian harian berkali-kali terpecahkan dalam beberapa hari terakhir.
Hingga saat ini, varian P1 memang masih belum teridentifikasi di Indonesia. Meskipun demikian, para ahli telah sangat menghimbau pemerintah untuk mengawasi dengan ketat pemberlakuan protokol kesehatan di Indonesia, termasuk di antaranya melakukan pengawasan terhadap jalur keluar-masuk Indonesia. Beberapa ahli mikrobiologi dan epidemiologi di Indonesia juga telah membisikkan bahwa ada kemungkinan varian P1 dapat ‘kebal’ terhadap sistem antibodi yang dibentuk oleh Vaksin Sinovac. Sehingga, penerima Vaksin Sinovac masih dimungkinkan menderita gejala yang berat apabila dia terpapar dan terinfeksi varian P1. Walaupun demikian, berdasarkan studi yang dilakukan di University of Oxford, Vaksin AstraZeneca terbukti masih mampu membentuk antibodi yang sanggup untuk melawan varian P1, walaupun Vaksin AstraZeneca kurang memiliki kemanjuran yang signifikan terhadap varian dari Afrika Selatan.
Dengan melihat fakta-fakta di atas, seharusnya semakin jelas bagi kita bahwa vaksin ‘saja’ belum mampu untuk sepenuhnya melindungi kita dari ancaman bahaya COVID-19. Sampai saat ini, protokol kesehatan masih menjadi senjata utama kita untuk melindungi diri dari paparan varian manapun dari SARS-CoV-2.
Jadi, jangan dilupakan 5M-nya hanya karena sudah divaksin, ya?