Reasuransi Jiwa
Polemik Vaksin Astrazeneca
Program vaksinasi COVID-19 di Indonesia telah memasuki bulan ketiga di Maret 2021 ini. Tidak hanya Vaksin Sinovac, Vaksin AstraZeneca dikabarkan juga telah mendarat di Indonesia pada awal Maret ini. Namun sayangnya, kedatangan Vaksin AstraZeneca disusul oleh beberapa berita kurang mengenakkan tentang vaksin tersebut.
Sebelum kita membahas polemik tentang Vaksin AstraZeneca, ada baiknya kita kembali mengulas sedikit tentang pengembangan vaksin tersebut.
AstraZeneca merupakan suatu
holding company yang bergerak di bidang riset, pengembangan, dan manufaktur dari produk-produk farmasi. Perusahaan ini didirikan pada 17 Juni 1992 dan saat ini bertempat di Cambridge, UK. Dalam proses pengembangan vaksin COVID-19, AstraZeneca menjalin kerja sama dengan University of Oxford, di mana, AstraZeneca akan bertanggung jawab dalam bidang pengembangan, manufaktur global, serta pendistribusian dari vaksin yang mereka kembangkan.
Vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh AstraZeneca merupakan vaksin dengan vektor adenovirus dari simpanse (ChAdOx1) yang telah disisipi oleh gen yang merupakan bagian dari protein
spike SARS-CoV-2. Adenovirus yang telah disisipi oleh gen protein ini akan memasuki sel manusia, dan kemudian akan memproduksi protein
spike yang dapat memicu terbentuknya kekebalan (berupa antibodi dan sel memori) terhadap SARS-CoV-2.
Vaksin dengan vektor adenovirus ini mungkin terdengar ‘kurang
familiar’ bagi sebagian besar orang. Nyatanya, vaksin dengan vektor adenovirus telah dikembangkan sejak lama, dan metodenya telah diadaptasi sebelumnya dalam pengembangan vaksin Ebola, malaria, dan studi pengembangan vaksin HIV. Sama seperti Vaksin Sinovac, Vaksin AstraZeneca juga direkomendasikan untuk diberikan dalam dua dosis, dengan masing-masing pemberian sebesar 0.5 ml, namun dengan rentang waktu pemberian sekitar 9 – 12 minggu antara pemberian dosis pertama dan dosis kedua.
Vaksin yang memiliki kode AZD1222 ini telah lulus uji keamanan dari empat uji klinis yang dilakukan di Inggris, Brazil, dan Afrika Selatan pada sekitar 23,745 relawan. Berdasarkan publikasi yang ada, Vaksin AstraZeneca disebut memiliki efikasi sekitar 76%, dan efikasi tersebut disebutkan meningkat pada sekitar 81.3% jika interval antara pemberian dosis pertama dan dosis kedua lebih dari 12 minggu. Efektivitas tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan efikasi Vaksin Sinovac di Indonesia (65.3%). Selain itu, Vaksin AstraZeneca disebut juga memiliki beberapa keunggulan, seperti efektif membentuk kekebalan pada kelompok lansia, aman untuk diberikan pada penderita komorbid seperti penderita obesitas, penyakit kardiovaskular, penyakit pernafasan, dan diabetes, serta bisa disimpan di kulkas dengan suhu biasa.
Sebuah vaksin hendaknya tidak hanya efektif dalam memicu pembentukan kekebalan, namun yang paling penting adalah vaksin tersebut harus aman untuk diberikan kepada semua kelompok masyarakat, karena memang tujuan pemberian vaksin adalah untuk membentuk kekebalan masyarakat (
herd immunity), yang mana hanya bisa dicapai jika vaksin tersebut dapat diberikan kepada sebagian besar masyarakat di suatu daerah. Vaksin AstraZeneca sendiri telah lulus uji keamanan, dan sama seperti Vaksin Sinovac, disebut tidak menimbulkan efek samping yang berat pada uji klinis yang telah dilakukan. Berdasarkan laporan dari hasil uji klinis yang dilakukan, Vaksin AstraZeneca ‘hanya’ menimbulkan efek samping yang bersifat ringan-sedang seperti nyeri, kemerahan, dan bengkak pada lokasi suntik, rasa kelelahan setelah penyuntikan, nyeri otot dan sendi ringan, serta nyeri kepala ringan pada satu hari hingga satu minggu setelah penyuntikan.
Vaksin AstraZeneca telah tiba sebanyak 1,113,600 dosis di Indonesia pada 8 Maret 2021 lalu. Vaksin-vaksin ini rencananya akan dialokasikan sebagai bagian dari vaksin gratis melalui skema multilateral Covax yang diadakan oleh WHO. Covax sendiri merupakan sebuah inisiatif global yang diadakan demi memberikan akses yang setara bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan vaksin COVID-19.
Sayangnya, inisiatif yang sangat baik itu harus ditunda lantaran pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda sementara pendistribusian Vaksin AstraZeneca di Indonesia. Keputusan tersebut diambil sebagai tindakan preventif berdasarkan diskusi dan rekomendasi dari BPOM yang mana juga akan melakukan kajian dan tinjauan kembali kepada Vaksin AstraZeneca. Pertimbangan dari pemerintah dan BPOM tersebut terkait dengan adanya pemberitaan penangguhan pemberian Vaksin AstraZeneca dari beberapa negara di Eropa, menyusul adanya pemberitaan munculnya komplikasi yang cukup serius pada beberapa orang yang menerima Vaksin AstraZeneca.
Berdasarkan pemberitaan yang ada, ditemukan 37 kasus pembekuan darah yang dilaporkan terjadi pada penerima Vaksin AstraZeneca di beberapa negara di Eropa. 15 kasus di antaranya adalah kasus trombosis vena dalam (
deep vein thrombosis – DVT) dan 22 kasus lainnya adalah kasus emboli paru, di mana terjadi fatalitas pada satu kasus.
Terkait dengan dugaan efek samping tersebut, beberapa negara di Eropa –seperti Denmark, Norwegia, Islandia, Belanda, Italia, Austria, dan Bulgaria- telah memutuskan untuk menangguhkan sementara penggunaan Vaksin AstraZeneca di negara mereka, sembari menunggu laporan dari hasil investigasi yang tengah dilakukan oleh AstraZeneca, WHO (
World Health Organization), dan EMA (
European Medicines Agency).
WHO sendiri telah memberikan tanggapan bahwa mereka tidak melihat adanya bukti yang kuat bahwa Vaksin AstraZeneca lah yang menyebabkan pembekuan darah tersebut. Pernyataan dari WHO tersebut senada dengan pernyataan dari EMA yang turut mengatakan bahwa mereka juga belum menemukan bukti adanya hubungan antara kasus trombosis yang dilaporkan dengan pemberian Vaksin AstraZeneca. Pernyataan dari WHO dan EMA tersebut didukung oleh adanya bukti berupa hasil uji klinis Vaksin AstraZeneca yang memang telah menunjukkan bukti keamanan, serta sebelumnya belum pernah dilaporkan adanya efek samping serupa setelah pemberian Vaksin AstraZeneca sebanyak 11 juta dosis di Inggris, 20 juta dosis di India, dan 5 juta dosis di Uni Eropa.
Pihak dari AstraZeneca sendiri telah menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan vaksin yang mereka produksi, lantaran vaksin mereka telah melalui proses uji klinis yang ketat dan selama ini belum mengidentifikasi kejadian pembekuan darah sebagai salah satu efek samping. Namun demikian, tentunya penangguhan ataupun kelanjutan pemberian Vaksin AstraZeneca tetaplah merupakan hak prerogatif dari regulator di setiap negara. AstraZeneca pun sampai saat ini menyatakan bahwa mereka akan tetap kooperatif untuk bekerja sama dalam menindaklanjuti kejadian ini dengan pihak-pihak berwenang.
Di Indonesia sendiri, pemerintah bersama dengan BPOM saat ini memutuskan untuk menangguhkan pemberian Vaksin AstraZeneca kepada masyarakat, sembari melihat keadaan dan perkembangan dari kasus Vaksin AstraZeneca di ranah global dan menunggu pemberian fatwa halal Vaksin AstraZeneca dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah dan BPOM juga mengatakan bahwa Vaksin AstraZeneca yang diterima oleh Indonesia merupakan
batch yang berbeda dari
batch Vaksin AstraZeneca yang diduga ‘bermasalah’ (
batch ABV 5300). Vaksin AstraZeneca yang diterima oleh Indonesia sendiri merupakan vaksin yang diproduksi oleh SK Biosciences dari Korea Selatan.
Di luar polemik dugaan komplikasi, Vaksin AstraZeneca di Indonesia juga dikhawatirkan mengalami kendala lain, di mana ternyata baru diketahui bahwa sebanyak 1.1 juta dosis Vaksin AstraZeneca yang tiba di Indonesia ternyata diperkirakan akan kadaluarsa pada Mei 2021.
Kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa masa kadaluarsa vaksin COVID-19 umumnya bervariasi antara enam bulan hingga satu tahun. Namun, Vaksin AstraZeneca ternyata memiliki masa penggunaan yang lebih pendek dari vaksin lainnya. Kondisi tersebut dikhawatirkan cukup berdampak pada program vaksinasi COVID-19 di Indonesia, mengingat masa kadaluarsa Vaksin AstraZeneca yang cukup dekat, sementara rentang pemberian antara dosis pertama dan dosis kedua Vaksin AstraZeneca cukup panjang, yaitu 9 – 12 minggu.
Walaupun demikian, Kementerian Kesehatan cukup optimis bahwa Vaksin AstraZeneca akan dapat terutilisisasi seluruhnya sebelum masa penggunaannya berakhir. Pemikiran tersebut lantaran saat ini, laju penyuntikan vaksin COVID-19 di Indonesia telah mencapai 250,000 – 350,000 dosis perharinya. Sehingga, diperkirakan hanya membutuhkan waktu sekitar enam hari saja untuk bisa ‘menghabiskan’ 1.1 juta dosis vaksin.
Senada dengan Kementerian Kesehatan, BPOM juga turut mengungkapkan rasa optimis mereka, lantaran saat ini masih cukup banyak negara-negara di Eropa –seperti Inggris, Swedia, Australia, dan Kanada- yang tetap melanjutkan program vaksinasi di negara mereka dengan Vaksin AstraZeneca. Pun, negara-negara yang tengah menunda pemberian Vaksin AstraZeneca di negaranya ‘hanya’ mengeluarkan kebijakan penangguhan sementara sebagai bentuk tindakan preventif, dan bukan melakukan pencabutan izin penggunaan darurat (
Emergency Use Authorization – EUA) bagi Vaksin AstraZeneca. Mari kita bersama mendoakan agar polemik Vaksin AstraZeneca bisa segera menemui titik terang, ya. Sehingga proses vaksinasi COVID-19 di Indonesia bisa semakin cepat mencapai targetnya.