11 February 2021 3260
Reasuransi Jiwa

Pandemic Fatigue

Pernahkah anda mendengar tentang pandemic fatigue?

Pandemic fatigue atau kelelahan akan adanya pandemi merupakan kondisi di mana seseorang merasa ‘lelah’ karena terus-menerus berada di dalam kondisi pandemi, serta ‘lelah’ akan ketidakpastian tentang kapan berakhirnya pandemi tersebut. Pandemic fatigue juga dapat diartikan sebagai perasaan demotivasi dan kejenuhan masyarakat untuk dapat konsisten melakukan tindakan pencegahan –dalam hal ini protokol kesehatan- yang dapat memutus mata rantai penularan penyakit.

World Health Organization (WHO) pada makalahnya yang bertajuk Pandemic Fatigue – Reinvigorating The Public to Prevent COVID-19 memang menyatakan bahwa pandemic fatigue adalah hal yang ‘wajar’ terjadi pada masyarakat, terlebih, dengan mengingat bahwa pandemi ini telah berlangsung selama lebih dari satu tahun namanya. Hal ini ‘wajar’ untuk dipahami mengingat selama ini masyarakat harus terus menahan dan membatasi dirinya dari kehidupan ‘old normal’-nya, sembari menerapkan protokol kesehatan yang tentunya tidak nyaman jika dilakukan secara terus menerus.

Walaupun demikian, seharusnya masih segar di ingatan kita, saat COVID-19 baru memasuki Indonesia. Adanya dua kasus saja membuat kita luar biasa takut. Penambahan puluhan kasus harian saja sudah membuat masyarakat Indonesia menyerbu apotek dan supermarket untuk memborong persediaan masker, hand sanitizer, disinfektan, alcohol swab, serta sembako dan persediaan makanan instan. Masih segar di ingatan juga saat harga barang-barang tersebut melambung sangaaaat tinggi, hanya karena ‘kekhawatiran berlebih’ sebagian masyarakat yang berujung pada menipisnya ketersediaan barang-barang tersebut.

Pada awal pandemi masyarakat juga sangat membatasi dirinya untuk berpergian ke luar rumah, dan mematuhi kebijakan pemerintah yang memang mengatur hal itu. Jangankan berlibur, ingin pergi ke supermarket saja masyarakat sibuk mengenakan ‘perlengkapan perang’ seperti masker berlapis, faceshield, bahkan tak jarang ada yang menggunakan APD (alat pelindung diri) seperti yang digunakan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Pun saat berada di luar rumah, masyarakat sibuk untuk ‘menghamburkan’ disinfektan sebelum menyentuh barang tertentu.
Apa kabar, pandemi hari ini?

Ironisnya, tingkat kekhawatiran dan kewaspadaan masyarakat berbanding terbalik dengan jumlah penambahan kasus COVID-19 di Indonesia. Saat ini, di mana setiap harinya terdapat penambahan belasan ribu kasus baru, masyarakat justru semakin abai akan protokol kesehatan. Mulai banyak lagi masyarakat yang kembali berpergian dan berlibur, mengadakan acara kumpul-kumpul, atau mengadakan acara massal seperti resepsi pernikahan dengan tamu ratusan. Mereka seperti sudah ‘menerima’ bahwa COVID-19 memang ada di antara mereka. Berita bahwa orang-orang terdekat (inner circle) mereka terinfeksi COVID-19 pun bukan lagi menjadi berita yang mengkhawatirkan.

‘Terbiasa’ dengan COVID-19 dan penurunan tingkat kekhawatiran masyarakat sebenarnya bukanlah hal yang buruk, jikaaaa, itu terjadi pada saat pandemi COVID-19 di Indonesia sudah terkendali. Sementara ini? Semakin tinggi angka kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia, semakin sering kita mendengar kabar orang-orang terdekat kita terinfeksi COVID-19, dan semakin dekatnya Indonesia ke kondisi kolaps/krisis kesehatan, justru kita semakin abai pada protokol kesehatan, yang mana justru menjadi alasan mengapa pandemi COVID-19 ini tidak kunjung membaik dan terkendali.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Pada hakikatnya, pandemi hanya dapat diatasi melalui kerja sama yang baik dan berkesinambungan antara masyarakat, pemerintah, serta otoritas kesehatan yang berwenang. Mengingat bahwa kondisi pandemic fatigue ini dapat mengancam upaya penanggulangan pandemi, kita harus mengingat lagi apa prioritas dan tujuan kita bersama untuk saat ini.

Kembali meninjau pernyataan WHO pada makalahnya yang bertajuk Pandemic Fatigue – Reinvigorating The Public to Prevent COVID-19, berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pandemic fatigue, yang mana, diharapkan dapat mempercepat penanggulangan pandemi:
 
Understand people
 
Understand people atau memahami masyarakat merupakan langkah yang pertama kali harus diambil oleh pemerintah. Masyarakat yang menghadapi pandemi ini bukanlah masyarakat homogen, melainkan, masyarakat heterogen yang berasal dari semua kalangan, berbagai suku, ras, agama, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan tentunya kepentingan. Penanganan pandemi ini haruslah difokuskan pada apa yang menjadi tujuan bersama –yaitu, berakhirnya pandemi-, namun penerapan serta pendekatannya dapat dibedakan pada setiap kelompok dengan penuh rasa empati.

Sebagai contoh, pandemic fatigue pada pelajar ditrigger oleh adanya kejenuhan dan susahnya memahami pembelajaran via online. Untuk itu, upaya untuk menanggulangi pandemic fatigue pada kelompok pelajar dapat dilakukan dengan pembuatan materi ajar yang lebih kreatif dan interaktif, atau mungkin dapat dilakukan sesi tatap muka dengan jumlah peserta terbatas, durasi terbatas, dan dilakukan di ruang terbuka.

Sementara, pandemic fatigue pada karyawan ditrigger oleh adanya kejenuhan melakukan work from home, atau tidak bisanya melakukan pekerjaan tertentu secara online. Hal ini dapat dicoba ditanggulangi dengan pemanfaatan teknologi, sehingga memudahkan karyawan untuk berinteraksi dan berkoordinasi dengan koleganya, sehingga hambatan pekerjaan dapat diatasi dan target pekerjaan dapat tercapai.
 
Engage people, as part of solution
 
Pernah mendengar bahwa semakin banyak kepala semakin baik? Hal ini mungkin juga berlaku dalam hal upaya penanggulangan pandemi. Masih ingat pada awal pandemi pemerintah Indonesia cenderung ‘abai’ pada pendapat pakar kesehatan dan cenderung ‘mengutamakan’ ekonomi. Iya, memang, kita akan kesusahan kalau roda ekonomi tidak berjalan dan memang, pemerintah tidak akan bisa menanggung biaya kehidupan seluruh rakyatnya. Tapi, bagaimana jika sistem kesehatan kita kolaps? Bagaimana jika banyak tenaga kesehatan yang berguguran dan fasilitas kesehatan mencapai kapasitas maksimumnya?

Untungnya, saat ini pemerintah sudah lebih terbuka dan ‘legowo’ untuk mendengar pendapat dari ahli-ahli di berbagai kalangan. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa tidak mungkin ada satu solusi yang dapat diterapkan oleh semua pihak. Hal ini juga seharusnya diterapkan di semua institusi dan organisasi, yaitu pentingnya melibatkan berbagai pihak untuk mencari solusi terbaik.
 
Allow people to live their lives, but reduce the risk

Pada akhirnya, kita tidak bisa melakukan pembatasan total pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Masih ada roda ekonomi yang harus berputar, dan masih ada aktivitas serta hal-hal yang tidak bisa dilakukan atau diselesaikan secara online. Pemerintah dalam hal ini dapat menggandeng otoritas kesehatan serta public figure untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai aktivitas apa saja yang masih diperbolehkan untuk dilakukan (low risk, misalnya, berbelanja ke supermarket dengan protokol kesehatan yang ketat atau berolah raga di tempat terbuka seorang diri) dan aktivitas apa saja yang sangat disarankan untuk tidak dilakukan (high risk, misalnya, mendatangi acara massal seperti resepsi pernikahan atau konser musik).
 
Acknowledge and address the hardship people experience

Pada akhirnya, untuk mengatasi adanya pandemic fatigue, kita harus kembali ke tujuan utama kita bersama –yaitu, berakhirnya pandemi- dengan tetap menghargai upaya yang telah orang lain lakukan untuk melaluinya. Misalnya, saat ini tempat-tempat makan sudah mulai dibuka kembali untuk umum. Sebagian dari kita mungkin merasa ‘gerah’, mengingat tempat-tempat tersebut berpotensi membuka peluang terjadinya klaster baru. Namun, kita tentunya harus mengingat bahwa mereka harus beroperasional untuk tetap ‘hidup’. Oleh karena itu, jalan tengah dan langkah terbaik yang dapat diambil pada kasus ini adalah memperbolehkan mereka untuk tetap beroperasional, dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat, atau hanya membuka pelayanan take away.

Kita semua kehilangan sesuatu dalam pandemi ini, mungkin keluarga kita, teman kita, atau kebebasan kita untuk bersosialisasi. Namun, yakinlah, hanya dengan konsisten melakukan protokol kesehatan secara bersama-sama, pandemi ini dapat segera usai.

Stay strong and healthy, semuanya!
 
 
***
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id