Chloroquine alias klorokuin memang bukan obat yang baru dibuat atau dikenal di dunia. Selama lebih dari 70 tahun, klorokuin telah digunakan di berbagai belahan dunia untuk mengobati malaria, rheumatoid arthritis, dan penyakit lupus. Akhir-akhir ini nama klorokuin sering disebut-sebut sebagai salah satu regimen obat yang dapat digunakan untuk mengobati COVID-19. Bahkan, pemerintah Indonesia tidak tanggung-tanggung disebut telah memesan pil klorokuin sebanyak tiga juta butir yang ditujukan untuk pengobatan COVID-19 di Indonesia. Namun ternyata, World Health Organization (WHO) dikabarkan telah mendesak Indonesia untuk menangguhkan penggunaan klorokuin beserta turunannya -seperti hidroklorokuin- sebagai pengobatan COVID-19 dengan alasan keselamatan.
Sumber foto: health.grid.id
Bagaimana sebenarnya status keamanan klorokuin dalam penggunaannya sebagai pengobatan COVID-19?
Uji pre-klinik/laboratorium yang dilakukan memang membuktikan bahwa klorokuin memiliki efektivitas yang cukup tinggi untuk mencegah replikasi virus SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19). Dengan pemberian dosis standar saja, klorokuin telah memiliki kemampuan penetrasi yang baik ke jaringan tubuh, termasuk ke dalam jaringan paru-paru. Mekanisme ‘antivirus’ klorokuin tersebut diprediksi terjadi karena klorokuin mampu mengganggu perlekatan antara virus dan sel target tubuh. Mekanisme tersebut dapat terjadi karena kemampuan zat aktif dari klorokuin yang dapat meningkatkan kadar basa dari endosom, sehingga dapat mengganggu fusi antara SARS-CoV-2 dan sel target, sehingga proses infeksi dapat dicegah. Selain itu, klorokuin juga ternyata dapat menghambat masuknya SARS-CoV-2 dengan menghambat proses glikosilasi ACE2 (angiotensin converting enzyme). Dengan terhambatnya glikosilasi ini, maka ikatan antara virus dan reseptor sel target akan terganggu.
Tidak hanya klorokuin, turunan dari klorokuin (hidroksiklorokuin) juga disebut-sebut memiliki efektivitas yang serupa dalam ‘pengobatan’ COVID-19. Sebuah penelitian yang dilakukan di China menunjukkan bahwa hidroksiklorokuin ternyata memiliki efektivitas yang cukup baik dalam menghambat proses penetrasi virus ke dalam sel dan juga dalam memperlambat replikasi virus yang sudah terlanjut masuk ke dalam sel inang.
Itu adalah hasil uji pre-klinik klorokuin dalam pengobatan COVID-19. Bagaimana dengan efektivitas klorokuin dan hidroksiklorokuin saat digunakan terhadap pasien yang ‘riil’?
Sumber foto: biospectrumasia.com
Hingga saat ini, baru ada dua publikasi ilmiah terkait riset klorokuin pada kasus COVID-19. Riset pertama dilakukan pada 36 sampel di Prancis. Phillippe Gautret dan koleganya disebut telah melakukan uji klinis terhadap klorokuin dan hidroksiklorokuin secara open-label (tanpa randomisasi) pada 26 pasien terkonfirmasi COVID-19 dan 10 sampel kontrol. Kelompok pasien terkonfirmasi mengkonsumsi 200 mg hidroksiklorokuin sulfat sebanyak tiga kali sehari selama sepuluh hari. Enam di antaranya juga diberikan azithromycin (salah satu jenis antibiotik) dengan dosis 500 mg/hari selama lima hari, dan selanjutnya dosis 250 mg/hari selama empat hari. Hasil dari uji singkat tersebut menunjukkan adanya dampak positif pada pasien yang mengkonsumsi hidroksiklorokuin, baik secara tunggal maupun yang dikombinasikan dengan azithromycin. Pasien-pasien tersebut kemudian menunjukkan hasil negatif COVID-19 pada hari keenam pengobatan.
Riset kedua dilakukan di China, di mana, Jianjun Gao dan koleganya dari Departemen Farmakologi Qingdao University memberikan terapi klorokuin pada 100 pasien terkonfirmasi COVID-19. Hasil dari riset singkat tersebut juga menunjukkan bahwa pasien yang menerima pengobatan klorokuin mengalami perbaikan klinis lebih cepat, memiliki viral load yang lebih sedikit, tidak mengalami perburukkan pada peradangan paru-parunya, dan menunjukkan hasil negative COVID-19 yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima pengobatan klorokuin.
Yang perlu diingat adalah, kedua riset tersebut disebut memang membuktikan adanya dampak positif pada pasien COVID-19 yang menerima pengobatan klorokuin. Namun, hal tersebut tak lantas membuat label ‘obat eksperimental’ lepas dari klorokuin dalam kapasitasnya sebagai ‘obat COVID-19’, karena bagaimanapun, kedua riset tersebut masih dilakukan pada sampel terbatas dan rentang waktu yang singkat.
Selain itu, walaupun memiliki manfaat bagi kesehatan, selayaknya obat-obatan lainnya, klorokuin dan hidroklorokuin juga memiliki efek samping yang harus diwaspadai. Klorokuin diketahui memiliki indeks terapi yang sempit, yang artinya, konsentrasi klorokuin untuk menghasilkan efek terapi yang bermanfaat relatif dekat dengan konsentrasi klorokuin untuk menghasilkan efek samping/dampak buruk. Beberapa efek samping dari klorokuin antara lain adalah gangguan irama jantung, gangguan pada otot, dan kerusakan retina mata.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Brazil turut mengkonfirmasi efek samping dari pengobatan klorokuin. Penelitian tersebut dilakukan pada 440 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, menerima klorokuin dalam dosis tinggi yaitu sebanyak 600 mg yang diberikan sebanyak dua kali sehari, selama sepuluh hari. Kelompok kedua, menerima klorokuin dalam dosis lebih rendah yaitu sebanyak 450 mg yang diberikan selama lima hari. Pada hari pertama, obat diberikan sebanyak dua kali sehari dan pada empat hari berikutnya hanya diberikan sebanyak satu kali sehari. Beberapa hari setelah pemberian obat dimulai, para peneliti telah menemukan adanya gangguan ritmen jantung yang cukup berbahaya (ventricular tachycardia) pada pasien-pasien yang mendapatkan klorokuin dosis tinggi. Dua pasien di antaranya bahkan akhirnya meninggal dunia.
Hingga saat ini, obat yang spesifik untuk mengobati COVID-19 memang belum ditemukan. Hingga saat ini pula, klorokuin disetujui oleh Food and Drug Administrator (FDA) hanya dalam kapasitasnya untuk pengobatan malaria, rheumatoid arthritis, dan penyakit lupus. Hingga saat ini, memang belum ada persetujuan dari asosiasi kesehatan manapun untuk mengukuhkan klorokuin sebagai pengobatan COVID-19. Namun demikian, klorokuin masih dimasukkan ke dalam Protokol Tatalaksana COVID-19 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan. Walaupun demikian, pada protokol tersebut juga disebutkan agar pasien COVID-19 yang menerima pengobatan klorokuin agar dilakukan pemeriksaan EKG padanya setidaknya sekali setiap tiga hari. Oleh karena itu, hingga saatnya nanti obat yang spesifik diperuntukkan bagi pengobatan COVID-19 ditemukan, tenaga kesehatan diharapkan bijak dalam menentukan regimen obat yang akan diberikan bagi pasien COVID-19, baik dari jenisnya, maupun dari dosisnya. Selain itu, dalam setiap pemberian pengobatan, tenaga kesehatan juga diharapkan tidak lengah dalam memantau dan mengantisipasi kemungkinan efek samping yang dapat terjadi.
********