12 February 2019 8567

Waspada Demam Berdarah Dengue (DBD)!

Seperti tahun-tahun sebelumnya, seiring dengan datangnya musim hujan datanglah berbagai wabah penyakit, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD). Dari data Dinas Kesehatan Jakarta, per tanggal 31 Januari 2019 kemarin, telah tercatat insidensi kasus DBD sebanyak 813 kasus di DKI Jakarta. Sementara, dari data Kementrian Kesehatan, per tanggal 29 Januari 2019 kemarin, telah tercatat insidensi kasus DBD sebanyak 13.683 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 133 orang di seluruh Indonesia.

Mengapa insidensi DBD begitu tinggi di Indonesia? Mengapa dari tahun ke tahun seolah tetap banyak saja kasus DBD di Indonesia? Apa belum ada upaya untuk mencegah terjadinya penyakit DBD??? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita coba menganalisa DBD beserta agen penyebabnya dengan lebih dalam.

 

Aedes aegypti dan Aedes albopictus

Sebagaimana telah kita ketahui, ada spesies nyamuk bernama Aedes aegypti yang disebut-sebut sebagai ‘penyebab’ dari penyakit DBD. Lebih spesifiknya, hanya nyamuk Aedes aegypti betina lah yang dapat mentransmisikan virus dengue. Nyamuk ini relatif mudah dikenali karena memiliki pola garis-garis berwarna hitam-putih di seluruh badan dan kakinya. Nyamuk ini menularkan virus dengue penyebab DBD melalui gigitan pada kulit manusia. Sebenarnya, tujuan utama dari nyamuk Aedes aegypti betina ini menggigit manusia bukanlah untuk menularkan virus dengue, melainkan, karena nyamuk betina ini membutuhkan darah untuk dapat memproduksi telur. Sekali bertelur, Aedes aegypti betina dapat menghasilkan 100 – 200 butir telur, tergantung dari seberapa banyak darah yang dihisapnya.

Sumber foto: https://www.guesehat.com/mengapa-nyamuk-aedes-aegypti-bisa-menularkan-dbd

Aedes aegypti senang tinggal di daerah yang panas dan lembab, mungkin ini merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa insidensi DBD di Indonesia sangat tinggi. Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi. Air hujan yang membentuk genangan merupakan tempat favorit dari Aedes aegypti untuk menaruh telur. Jadi, tidak heran kan kalau insidensi DBD sangat tinggi di Indonesia?

Sumber foto: http://jkn.jamsosindonesia.com/blog/detail/1506/dbd-bebani-ekonomi-negara---indonesia-jadi-tempat-nyaman-perkembangbiakan-nyamuk--aedes-#.XF0vd1wza00

 

Telur-telur dari Aedes aegypti akan menetas dalam waktu dua hari hingga seminggu. Dari telur menetaslah larva nyamuk. Larva akan tumbuh menjadi pulpa hingga kemudian menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk betina dewasa inilah yang akan jadi ‘perantara’ dari virus dengue.

Oh iya, tahukah kamu kalau nyamuk yang menyebarkan virus dengue bukan hanya Aedes aegypti? Ada juga nyamuk yang bernama Aedes albopictus. Nyamuk yang juga dikenal dengan sebutan ‘Asian Tiger Mosquito’ ini juga dapat mentransmisikan virus dengue. Pola berkembang biak dan tumbuh kembangnya juga serupa dengan nyamuk Aedes aegypti.

Sumber foto: https://www.theatlantic.com/health/archive/2016/05/the-other-zika-mosquito-aedes-albopictus-asian-tiger/480828/

 

Aedes aegypti paling aktif ‘berburu darah’ pada waktu dua jam setelah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari terbenam. Nyamuk ini senang berada di area yang terang, oleh karena itu sering ada anggapan kalau nyamuk DBD hanya menggigit di pagi dan siang hari. Hal ini benar, namun tidak berarti kalau nyamuk DBD hanya dapat menggigit di pagi dan siang hari. Selama tempat itu berpenerangan baik, nyamuk DBD juga dapat menggigit walau di malam hari.

Habitat dari nyamuk DBD adalah tempat-tempat yang tergenang air. Mereka tumbuh dewasa dari bentuk telur menjadi nyamuk dewasa di area tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat membasmi nyamuk DBD, kita harus membasmi sarangnya! Kita harus menutup atau menyingkirkan tempat-tempat yang berpotensi tergenang air agar nyamuk DBD tidak dapat bertelur di dalamnya. Buang juga barang-barang yang sudah tidak terpakai agar tidak dijadikan sarang nyamuk.

Selain itu, untuk mencegah nyamuk DBD memasuki rumah kita, tutuplah celah rumah –seperti pintu, jendela, dan lubang-lubang lainnya- dengan kasa nyamuk. Kita juga dapat menggunakan insektisida dan larvasida untuk membunuh nyamuk beserta jentik-jentiknya. Bersihkan rumah dari pakaian yang menggantung karena itu juga merupakan tempat favorit nyamuk untuk dijadikan sarang. Kita juga dapat menanam tanaman yang tidak disenangi nyamuk seperti lavender, serai, dan kecombrang.

 

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Jika kita terkena virus dengue yang bermanifestasi menjadi penyakit demam berdarah dengue (DBD), maka kita akan mengalami beberapa fase penyakit DBD. Fase penyakit yang pertama adalah fase demam, di mana penderita akan mengalami demam tinggi –suhu dapat mencapai 40?C- yang berlangsung selama dua sampai tujuh hari. Bersamaan dengan demam tinggi, penderita juga dapat mengalami nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, mual, muntah, nyeri tenggorokan, dan timbul kemerahan pada kulit.

Sumber foto: http://www.histopathology-india.net/Dengue.htm

 

Fase berikutnya adalah fase kritis di mana suhu tubuh dapat nyaris menyentuh normal. Biasanya penderita ‘terlena’ dengan perbaikan kondisi yang semu ini sehingga penderita lengah dan tidak mencari pengobatan. Padahal, pada fase ini penderita berpotensi mengalami kebocoran pembuluh darah. Jika tidak menerima pengobatan yang adekuat, kebocoran pembuluh darah ini dapat menyebabkan perdarahan terus menerus –seperti mimisan dan gusi berdarah-, muntah terus menerus, nyeri perut yang berat, serta pembesaran liver. Ini adalah fase penting di mana upaya untuk mencegah komplikasi DBD dilakukan.

Lalu, bagaimana kita dapat mengobati penyakit DBD?

Karena DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, maka sebenarnya penyakit ini tidak membutuhkan pengobatan yang spesifik. Hal yang dapat dilakukan oleh penderita adalah beristirahat dengan cukup, mengkonsumsi banyak cairan, mengkonsumsi obat penurun demam dan obat Pereda nyeri. Lain halnya jika komplikasi seperti dengue shock syndrome sudah terjadi di mana penderita pastinya memerlukan pengobatan yang intensif di rumah sakit.

Sumber foto: https://en.wikipedia.org/wiki/Dengue_fever

 

Setelah penderita dapat melalui fase kritis, masuklah kita ke fase penyembuhan. Pada fase ini kondisi klinis dan laboratorium –seperti trombosit dan hematocrit- penderita berangsur-angsur membaik. Yang perlu diingat adalah pada fase ini, imunitas penderita belum pulih sepenuhnya. Sehingga penderita masih harus menjaga tubuhnya dengan sebaik-baiknya dengan beristirahat yang cukup, makan makanan bergizi, mengkonsumsi banyak cairan, dan tentunya tidak lupa menjaga lingkungan sekitar dari keberadaan nyamuk DBD beserta telur-telurnya.

 

Virus Dengue vs Bakteri Wolbachia

Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dan peringkat pertama di Asia Tenggara sebagai negara dengan insidensi DBD terbanyak. Padahal, penyakit DBD ini sudah datang di Indonesia sejak tahun 1960-an. Apakah selama ini tidak ada upaya untuk dapat memberantas penyakit DBD beserta nyamuk-nyamuknya sekalian?

Untuk memberantas nyamuk DBD beserta seluruh generasinya memang tidak mudah. Lihat saja, betapa banyak jumlah nyamuk di dunia ini. Belum lagi jumlah telur, jentik, larva, serta pulpanya. Apalagi, sekali bertelur, si nyamuk betina ini dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 – 200 butir. Itu baru satu nyamuk betina. Bagaimana dengan jutaan nyamuk betina lainnya?

Karena ‘membumihanguskan’ seluruh generasi nyamuk DBD sepertinya sulit, kita harus memikirkan cara lain untuk dapat ‘menjinakkan’ si nyamuk DBD. Adi Utarini, seorang dokter yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat di UGM telah mengembangkan dan memimpin program pemberantasan demam berdarah sejak tahun 2011. Program yang dinamai Eliminate Dengue Project Yogyakarta ini menggunakan teknik baru yang sebelumnya telah digunakan di Australia dan Brazil dengan memanfaatkan bakteri Wolbachia untuk dapat ‘menjinakkan’ nyamuk DBD. Bakteri yang secara alami terdapat di lalat buah, capung, dan kupu-kupu ini dimanfaatkan sebagai ‘kuda troya’ bagi virus dengue.

Bakteri Wolbachia ini dapat berkompetisi dengan virus dengue di tubuh nyamuk DBD. Jika bakteri menang, maka virus akan menjadi jinak sehingga transmisi virus dapat diminimalisir bahkan ditiadakan. Selanjutnya, nyamuk DBD yang telah terkena bakteri Wolbachia akan diternakan. Nyamuk Aedes yang belum berbakteri, jika kawin dengan nyamuk yang sudah berbakteri, akan menghasilkan telur-telur yang akan menghasilkan nyamuk berbakteri. Dengan metode tersebut, diharapkan populasi dari nyamuk berbakteri akan menggeser dan mengalahkan populasi nyamuk yang belum berbakteri sehingga wabah DBD dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh virus dengue –seperti chikungunya dan zika- diharapkan dapat menurun.

Sumber foto: https://blogs.unimelb.edu.au/pearg/2018/04/13/wolbachia-bacteria-in-action-how-were-using-naturally-occurring-bacteria-to-stop-mosquitoes-from-spreading-disease/

 

Vaksin DBD

Setiap tahunnya, terjadi 390 juta insidensi DBD di seluruh dunia. Melihat kenyataan tersebut, semakin mendesaklah kebutuhan akan hadirnya vaksin DBD. Akhirnya, setelah dilakukan penelitian dan proses pembuatan selama kurang lebih dua puluh tahun, vaksin DBD telah berhasil dibuat dan disetujui penggunaannya oleh WHO.

Dengvaxia® merupakan nama dari vaksin DBD pertama di dunia. Dengvaxia® yang penelitiannya diinisiasi oleh Sanofi Pasteur ini telah menjalani 25 uji klinis di 15 negara di seluruh dunia. Pada penelitian yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine di tahun 2015 disebutkan bahwa vaksin Dengvaxia® efektif mencegah terjadinya infeksi virus dengue pada anak usia sekitar 9 tahun dengan tingkat keberhasilan hingga 66%. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan efektifitas Dengvaxia® dalam mencegah perburukan manifestasi DBD dan menekan tingkat rawat inap akibat DBD.

Sumber foto: http://edgedavao.net/the-big-news/2017/12/10/hospitals-probed-private-clinics-told-submit-lists-dengvaxia-kids/

 

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan izin edar untuk Dengvaxia® sejak September 2016. Vaksin Dengvaxia® ini boleh diberikan pada anak-anak berusia 9 tahun ke atas. Sementara, untuk anak usia kurang dari 9 tahun, pemberian Dengvaxia® dikhawatirkan malah dapat menimbulkan dampak infeksi dengue yang lebih besar dibanding tanpa pemberian Dengvaxia®.

Pemberian vaksin Dengvaxia® akan optimal jika diberikan saat anak berusia 9 hingga 16 tahun. Vaksin ini diberikan sebanyak tiga kali pemberian, dengan jarak enam bulan antara pemberian vaksinnya. Anak yang sudah pernah menderita infeksi dengue juga dapat diberikan vaksin ini karena virus dengue memiliki banyak varian dan kita tidak tahu virus varian manakah yang menyerang si anak sebelumnya.

Saat ini, vaksin Dengvaxia® memang belum masuk ke program imunisasi pemerintah, sehingga peminat vaksin Dengvaxia® masih harus merogoh kocek pribadi untuk mendapatkan vaksin ini. Harga vaksin Dengvaxia® dibanderol kurang lebih satu juta rupiah untuk sekali pemberian. Tidak murah, ya? Walaupun harganya memang tidak murah, WHO tetap merekomendasikan pemberian vaksin Dengvaxia® ini, terutama pada daerah endemik DBD seperti Kulon Progo dan Papua. WHO juga menargetkan penurunan insidensi DBD di dunia sebesar 25% dan penurunan angka mortalitas akibat DBD hingga 50% pada tahun 2020 dengan diberikannya vaksin ini.

Untuk mencapai target tersebut memang tidak mudah, ya. Terutama dengan begitu tingginya insidensi DBD di Indonesia dan kurang terjangkaunya vaksin DBD dari segi harga. Oleh karena itu, mari kita bersama galakkan program promotif dan preventif DBD. Ingat, bersihkan rumah dan lingkungan sekitar kita. Basmi genangan air dan tumpukkan pakaian. Jangen lupa juga bagikan segala informasi penting terkait DBD kepada seluruh kenalan kita agar mereka juga dapat terhindar dari DBD, ya! J

 

 

********

 

 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id