06 May 2024 331
Reasuransi Jiwa

Mengenal ‘Disease X’, The Future Next Pandemic?

Beberapa waktu ke belakang, dunia kesehatan kembali dihebohkan oleh adanya prediksi potensi pandemi baru yang disebabkan oleh ‘Disease X’. Penyakit tersebut konon diinformasikan jauh lebih mematikan ketimbang varian paling berbahaya dari SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab dari COVID-19. Prediksi tersebut tentu membangkitkan kembali kekhawatiran masyarakat dunia akan potensi terjadinya kembali pandemi seperti Pandemi COVID-19 lalu, yang menyebabkan fatalitas pada sejumlah besar penduduk di seluruh dunia.
 
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ‘Disease X’?

‘Disease X’ pada dasarnya merupakan penamaan yang diberikan oleh World Health Organization (WHO) pada bulan Februari 2018 untuk merujuk suatu ‘unknown pathogen’ yang diperkirakan memiliki potensi untuk menyebabkan ‘future pandemic’.

Penamaan tersebut berawal dari agenda persiapan pandemi yang diselenggarakan pada bulan Mei 2015 –yang mana dilaksanakan jauh sebelum terjadinya Pandemi COVID-19-, di mana pada saat itu, WHO menyusun R&D Blueprint for Action to Prevent Epidemics yang bertujuan melahirkan ide terkait program penanganan apabila di kemudian hari terjadi wabah yang berpotensi menjadi ‘public health emergency’.

Fokus dari penyusunan blueprint tersebut adalah menangani emerging infectious diseases (EIDs) yang diperkirakan berpotensi paling berbahaya untuk keselamatan dan kesehatan masyarakat dunia. Penyusunan blueprint tersebut menghasilkan sekitar 10 penyakit yang kemudian dikenal sebagai ‘blueprint priority diseases’. Sejak pertama kali disusun pada tahun 2015, ‘blueprint priority diseases’ tersebut terus direview dan diperbaharui di setiap tahunnya. Beberapa penyakit yang pernah menyandang predikat sebagai ‘blueprint priority diseases’ di antaranya adalah Ebola, Zika, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV), Crimean-Congo Hemorrhagic Fever (CCHF), Marburg Virus, dan Nipah Virus.

Pada bulan Februari 2018, tepatnya setelah pertemuan di Geneva, WHO memutuskan untuk menambahkan ‘Disease X’ pada ‘blueprint priority diseases’. Mengutip pernyataan dari John-Arne Rottingen selaku R&D Blueprint Special Advisory Group, ‘Disease X’ merujuk kepada penyakit serius yang disebabkan oleh ‘unknown pathogen’ yang mungkin saat ini belum menyebabkan penyakit pada manusia. Penambahan tersebut merupakan pengingat akan potensi terjadinya ‘future pandemic’, sekaligus pengingat agar WHO dan seluruh otoritas kesehatan dunia dapat selalu memiliki awareness dan langkah mitigasi untuk menangani ‘future pandemic’ tersebut.

Sejak disebutkan di ‘blueprint priority diseases’ pada tahun 2018, sebenarnya telah muncul satu penyakit yang dapat dianggap sebagai ‘Disease X’. Yes, betul sekali teman-teman! COVID-19 pada dasarnya adalah ‘Disease X’ yang pertama. Sebelum kemunculan COVID-19 pada akhir tahun 2019, WHO sebenarnya sudah memprediksi dan mengantisipasi adanya penyakit yang berpotensi menyebabkan wabah, dan penyakit itu adalah COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu virus yang berasal dari keluarga besar Coronavirus.
 
Apakah ‘unknown pathogen’ yang diperkirakan dapat menjadi penyebab dari ‘Disease X’?

Saat ini, memang ‘Disease X’ masih bersifat ‘hypothetical’ alias sebatas prediksi teoritis yang dilontarkan oleh ahli kesehatan dan WHO. Oleh karena itu, untuk saat ini, belum ada yang mengetahui patogen apa yang berpotensi untuk menjadi penyebab dari ‘Disease X’ di kemudian hari. Selain dari jenis patogennya, tidak ada yang dapat memprediksi juga kapan kira-kira ‘Disease X’ akan muncul dan menyebabkan pandemi. Patogen penyebab ‘Disease X’ dapat saja merupakan virus yang belum pernah ada sebelumnya, mutasi atau varian dari virus yang sebelumnya sudah pernah menginfeksi manusia, atau virus yang saat ini baru menginfeksi hewan aja.

Banyak ahli meyakini bahwa ‘Disease X’ akan disebabkan oleh patogen yang merupakan zoonosis dan berjenis RNA Virus. Untuk saat ini, terdapat beberapa ‘kandidat’ yang diperkirakan WHO dapat menyebabkan ‘Disease X’, di antaranya adalah Orthomyxovirus, Coronavirus, zoonotic viruses, synthetic viruses/bioweapons, bakteri, serta jamur.
 
Apakah ‘Disease X’ pasti akan menyebabkan fatalitas berat seperti Pandemi COVID-19?

Banyak ahli meyakini bahwa ‘Disease X’ berpotensi menimbulkan fatalitas dengan keparahan yang lebih berat ketimbang COVID-19. Bahkan, sebagian pakar kesehatan menyebutkan bahwa ‘Disease X’ dapat menyebabkan fatalitas yang serupa dengan Flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918, yang menyebabkan fatalitas pada 5% penduduk dunia pada saat itu. Perkiraan tersebut didasari oleh semakin meningkatnya interaksi global dari seluruh penduduk dunia, sehingga kemunculan penyakit infeksi yang berpotensi menjadi wabah dapat dikatakan menjadi tidak terelakkan.

Serupa dengan Flu Spanyol 1918, ‘Disease X’ diperkirakan akan menimbulkan risiko yang lebih besar pada kelompok usia muda. Dilansir dari studi yang bertajuk ‘Pandemic Versus Epidemic Influenza Mortality: A Pattern of Changing Age Distribution’, fatalitas penyakit yang serupa dengan Flu Spanyol 1918 akan dirasakan lebih besar oleh kelompok dewasa muda karena dua hal. Yang pertama adalah kemungkinan telah terbentuknya ‘imunitas’ atas Flu Spanyol 1918 pada kelompok lansia (usia 65 tahun ke atas); dan yang kedua adalah potensi ‘cytokine storm’ yang menyebabkan imunitas pasien usia muda bertindak ‘agresif’ dan justru menyerang tubuh pasien itu sendiri. Meskipun demikian, teori tersebut tidak lantas membuat kelompok lansia menjadi ‘aman’, lantaran pada dasarnya kelompok lansia sendiri cenderung rentan untuk mengalami fatalitas akibat terpapar infeksi, terutama apabila lansia tersebut memiliki penyakit komorbid.
 
Apa tindakan WHO untuk mengantisipasi terjadinya ‘Disease X’?

Jauh sebelum terjadinya Pandemi COVID-19, WHO pernah mendapatkan kritik atas sikap ‘underreacting’ mereka terhadap wabah Ebola di tahun 2014. Padahal, sebagai sebuah organisasi yang memiliki pendanaan dan kekuatan politik yang terbatas, WHO sangat memiliki keterbatasan untuk dapat mendeklarasikan dan menggerakan dunia dalam hal penanganan penyakit menular.

Para pakar kesehatan juga berpendapat bahwa meskipun Pandemi COVID-19 telah secara nyata memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan dunia, segera setelah Pandemi COVID-19 tersebut terkendali, Pemerintah terutama Politikus akan cenderung menggunakan alasan ‘pemulihan kondisi ekonomi’ sebagai alasan untuk mengesampingkan urgensi pendanaan epidemic/pandemic preparation yang sebenarnya dapat menjadi bumerang di kemudian hari.

Meskipun demikian, pada pertemuan tahunan World Economic Forum, WHO telah menyampaikan concern sekaligus peringatan kepada para pemimpin dunia terkait potensi dan risiko terjadinya ‘future pandemic’. Hal tersebut tentunya disampaikan oleh WHO bukan dalam rangka mencetuskan suatu kepanikan tak berdasar ataupun fear mongering, melainkan lebih kepada keharusan masyarakat dunia untuk mengantisipasi potensi krisis kesehatan berskala global di kemudian hari.

WHO sendiri telah memasukkan ‘Disease X’ ke dalam WHO’s Updated Blueprint List of Priority Diseases for Research and Development in Emergency Contexts dengan maksud membangun awareness masyarakat dunia dalam hal kesiapan penelitian dan pengembangan lintas sektoral terkait potensi ‘Disease X’.
 
Bagaimana kesiapan Indonesia dalam mengantisipasi potensi kehadiran ‘Disease X’?

Bapak Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia (RI) menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan RI saat ini telah membangun sistem surveillance baru yang lebih matang untuk mendeteksi secara dini potensi kehadiran penyakit-penyakit baru. Sistem surveillance baru tersebut merupakan hibah yang diberikan oleh World Bank, yang juga di antaranya dimanfaatkan untuk membangun laboratorium kesehatan masyarakat, mulai dari level kecamatan, kabupaten, kota, hingga provinsi. Yang perlu dijadikan perhatian adalah sistem surveillance tersebut juga harus menjangkau daerah terluar, terpencil, dan terbatas di Indonesia, yang selama ini cenderung masih kekurangan dalam hal akses kesehatan. Dikhawatirkan, kondisi tersebut dapat menghambat deteksi dan penanganan apabila muncul patogen baru di daerah tersebut.

COVID-19 bukan pandemi pertama di dunia, dan most likely tidak akan menjadi pandemi terakhir di dunia. Oleh karena itu, tanpa mengabaikan urgensi dari sektor lainnya, pencegahan ‘future pandemics’ selayaknya dapat diprioritaskan serta diseriusi sebagai bentuk kesiapan kita untuk membentuk ketahanan kesehatan melalui kepemilikan awareness serta langkah konkrit antisipasi apabila ke depannya dunia kembali mengalami pandemi.

Stay safe and healthy, semuanya!
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id