Reasuransi Jiwa
Delirium pada Penderita COVID-19
Delirium akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena dikatakan merupakan salah satu gejala dari COVID-19. Nah, mungkin tidak semuanya
familiar dengan istilah delirium, dan mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa sih yang dimaksud dengan delirium dan bagaimana delirium dapat terkait dengan COVID-19? Yuk, kita bahas itu semua satu per satu!
Sumber foto:
www.freepik.com
Delirium adalah gangguan mental yang bersifat serius dan dicirikan oleh adanya empat gangguan, yaitu adanya gangguan kesadaran –dapat sampai menyebabkan koma-, gangguan kognitif, gangguan emosi dan kecemasan, serta gangguan tidur. Delirium sendiri pada prinsipnya diakibatkan oleh asupan oksigen yang tidak optimal kepada otak, sehingga otak mengalami berbagai gangguan fungsi. Gangguan asupan oksigen itu sendiri dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah:
- Konsumsi obat-obatan tertentu, seperti anti-histamin, asthma controller, kortikosteroid, dan anti-konvulsan
- Penyakit kronis atau gagal fungsi organ
- Malnutrisi atau dehidrasi
- Demam tinggi, khususnya pada anak
- Kecanduan atau gejala putus alkohol
- Intoksikasi karbon monoksida atau sianida
- Gangguan tidur atau gangguan mood
Pada saat mengalami delirium, penderita akan mengalami penurunan kesadaran yang membuatnya kesulitan untuk fokus pada lingkungan sekitarnya. Penderita juga akan terlihat seperti melamun atau tidak bereaksi dengan kejadian di sekitarnya. Penderita juga akan terlihat gelisah,
paranoid, mengalami perubahan
mood secara mendadak, serta dapat tiba-tiba bersikap agresif atau malahan menjadi pendiam dan menarik diri. Perubahan suasana hati dan perilaku ini dapat memburuk pada malam hari, di mana penderita merasa suasana sekitarnya menjadi asing atau gelap. Selain itu, penderita juga dapat mengalami gangguan kognitif yang ditandai dengan adanya gangguan daya ingat, disorientasi, serta memiliki kesulitan untuk merangkai kata-kata, membaca, dan menulis.
Sumber foto:
www.freepik.com
Tidak semua penderita delirium akan memiliki gejala yang sama. Oleh karena itu, berdasarkan gejala yang dialami sang penderita, delirium dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu:
- Delirium hiperaktif, di mana penderita akan terlihat gelisah, mengalami perubahan mood secara mendadak, dan bahkan dapat mulai berhalusinasi
- Delirium hipoaktif, di mana penderita akan terlihat pendiam, kurang aktif, lesu, mengantuk, disorientasi, apatis, dan menarik diri dari aktivitas harian serta lingkungannya
- Delirium campuran, di mana penderita dapat menunjukkan perubahan gejala dari delirium hiperaktif ke delirium hipoaktif, atau sebaliknya, dalam periode tertentu
Untuk menegakkan diagnosis delirium, dokter akan melakukan
anamnesis alias menggali riwayat dari pasien, termasuk riwayat penyakit, konsumsi obat, konsumsi zat tertentu, pekerjaan, hingga riwayat keluarga. Karena kondisi pasien yang mungkin tidak dapat memberikan riwayat yang akurat, dokter juga biasanya akan menggali informasi dari orang terdekat pasien, seperti keluarga atau rekan kerja.
Setelah melakukan
anamnesis, dokter akan melakukan berbagai pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan psikologis dan kejiwaan, pemeriksaan laboratorium (misalnya, pemeriksaan fungsi liver, fungsi ginjal, toksikologi, dan hormon), serta pemeriksaan pencitraan seperti rontgen, CT
scan, atau MRI. Dari pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, diharapkan diagnosis delirium dapat dikonfirmasi atau disingkirkan, serta, penyebab dari kondisi delirium itu sendiri dapat diidentifikasi.
Nah, lalu, apa kaitannya antara delirium dengan COVID-19?
Sumber foto:
www.freepik.com
Dilansir dari publikasi yang dikeluarkan oleh
Cleveland Clinic, sekitar 20 – 30% dari pasien yang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19 mengalami delirium. Adanya delirium pada pasien COVID-19 ini pun sebenarnya bukan isu yang baru, namun, kemungkinan baru dapat dipastikan karena pasien COVID-19 umumnya menerima berbagai pengobatan yang dapat memberikan efek samping ‘menenangkan’.
Mekanisme timbulnya delirium pada kasus COVID-19 diperkirakan dapat terjadi melalui tiga mekanisme. Mekanisme yang pertama adalah masuknya SARS-CoV-2 ke jaringan otak dan selaput otak (
meninges) melalui reseptor ACE-2, yang mana, akan menyebabkan
neuron-neuron di otak terinfeksi. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya peradangan otak (
encephalitis) dan selaput otak (
meningitis), yang mana akan menyebabkan gangguan fungsi otak yang menyebabkan delirium.
Mekanisme yang kedua adalah infeksi SARS-CoV-2 pada paru-paru akan mengakibatkan gangguan fungsi paru, yang mana menyebabkan terjadinya gangguan asupan oksigen ke berbagai organ tubuh, termasuk di antaranya otak. Gangguan asupan oksigen pada otak inilah yang dapat mencetuskan terjadinya delirium.
Mekanisme yang ketiga adalah infeksi SARS-CoV-2 yang meluas dapat menyebabkan pengentalan darah, yang mengakibatkan sirkulasi oksigen pada bagian tubuh lain –termasuk otak- menjadi terganggu. Sama seperti pada mekanisme sebelumnya, hal inilah yang dapat mencetuskan terjadinya delirium.
Tidak semua penderita COVID-19 akan mengalami delirium. Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena delirium, di antaranya adalah berusia lanjut (lebih dari 65 tahun), memiliki riwayat delirium sebelumnya, memiliki riwayat penyakit pada otak (misalnya
stroke), dan memiliki gangguan penglihatan atau pendengaran.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh studi yang dilakukan oleh
Massachusetts General Hospital yang menyebutkan bahwa 817 pasien COVID-19 yang berusia lebih dari 65 tahun mengalami delirium. Studi serupa yang dilakukan oleh
King’s College London juga mendukung studi dari
MassGen, di mana, studi tersebut menyebutkan bahwa mayoritas pasien COVID-19 yang berusia lanjut di
St. Thomas Hospital London menunjukkan adanya gejala delirium. Studi itu juga menyoroti delirium sebagai gejala awal atau bahkan gejala tunggal dari COVID-19 yang ada pada lansia. Karena, delirium justru muncul lebih awal dari gejala lainnya, atau bahkan para pasien lansia tersebut hanya mengalami delirium tanpa disertai gejala lain seperti demam, sesak nafas, batuk, atau nyeri tenggorokan.
Pengobatan delirium pada prinsipnya dilakukan dengan menangani kondisi yang menyebabkan delirium itu sendiri. Misalnya, penderita mengalami delirium karena adanya konsumsi obat tertentu, maka, salah satu pengobatan yang dilakukan adalah menghentikan konsumsi obat tersebut. Oleh karena itu, jika delirium tersebut disebabkan oleh infeksi COVID-19, maka, kita harus melakukan pengobatan atas kondisi COVID-19 pada penderita, untuk dapat menghilangkan atau meringankan delirium yang dialami oleh penderita.
Selain dengan melakukan pengobatan pada sumber penyebabnya, dokter juga dapat memberikan obat yang dapat meredakan gejala. Misalnya, pada penderita delirium yang mengalami depresi, dokter akan meresepkan obat
anti-depressant untuk penderita tersebut.
Hal yang harus diperhatikan adalah kondisi delirium dapat menyebabkan terjadinya komplikasi jika tidak tertangani dengan cepat dan adekuat. Penderita delirium dapat mengalami gangguan kesadaran dalam jangka waktu lama, yang dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan permanen pada otaknya, yang nantinya berpotensi dapat menyebabkan disfungsi juga pada organ serta bagian tubuh lain pada penderita. Oleh karena itu, penting bagi tenaga kesehatan untuk dapat mendeteksi delirium dengan sedini mungkin, sehingga pengobatan dapat dilakukan dengan cepat dan adekuat.
***