26 January 2023 17601
Reasuransi Jiwa

Memahami Fenomena Bonus Demografi dan Pengaruhnya pada Industri Asuransi Jiwa

Sudah beberapa waktu lamanya istilah ‘bonus demografi’ menjadi topik pembicaraan dan diskusi yang hangat di masyarakat. Indonesia sendiri saat ini diperkirakan telah mulai memasuki era bonus demografi, dan akan mencapai puncak dari era tersebut pada sekitar tahun 2030 – 2045 mendatang. Meskipun saat ini secara data Indonesia telah mulai memasuki era bonus demografi, ternyata belum semuanya memahami apakah yang dimaksud dengan fenomena bonus demografi, serta dampak positif dan negatif dari fenomena tersebut.

Yuk, kita bahas bersama fenomena bonus demografi ini secara lebih lengkap dan mendetail!

Era bonus demografi mengacu pada kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) lebih besar ketimbang jumlah penduduk usia belum produktif (? 14 tahun) dan usia tidak produktif (> 65 tahun). Puncak dari era bonus demografi diperkirakan akan terjadi pada tahun 2045, atau tepatnya 100 tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan data historis yang ada dari beberapa negara lainnya, puncak dari era bonus demografi hanya terjadi satu kali dalam sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu, sudah selayaknya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari era bonus demografi ini dengan sebaik mungkin, untuk mengoptimalkan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan penduduk, sebagai bagian dari ultimate goal untuk memajukan bangsa secara umum.

Salah satu bangsa yang berhasil memanfaatkan momentum dari era bonus demografi adalah Jepang. Pada sekitar tahun 1950, Jepang mengalami era bonus demografi. Pemerintah Jepang pada saat itu telah memahami pentingnya era bonus demografi tersebut, sehingga Pemerintah Jepang telah mempersiapkan beberapa strategi untuk menghadapi era bonus demografi, di antaranya adalah perbaikan sektor pendidikan, perbaikan sektor kesehatan, perbaikan sektor ketenagakerjaan, dan penurunan angka pemuda yang non-produktif. Keberhasilan dari strategi-strategi Jepang tersebut telah membentuk fondasi kemajuan yang kokoh, dan membawa Jepang untuk menjadi negara maju hingga saat ini.

Selain Jepang, Korea Selatan juga pernah mengalami era bonus demografi sebelumnya. Pada sekitar tahun 1950an, Korea Selatan masih masuk ke dalam kategori salah satu negara termiskin di Asia. Meskipun demikian, melalui kelihaian dalam memanfaatkan era bonus demografi, Korea Selatan dapat bangkit dari keterpurukannya. Bahkan, saat ini Korea Selatan justru menjadi salah satu negara termaju di dunia dalam berbagai industri dan aspek kehidupan.

China disebutkan turut mengalami era bonus demografi pada sekitar tahun 1990an, dan China berhasil memanfaatkan momentum tersebut untuk menjadi negara maju. Keberhasilan China tersebut disinyalir lantaran keberhasilan mereka dalam pelaksanaan strategi yang meliputi aspek pemberdayaan sumber daya manusia, investasi besar di bidang pendidikan masyarakat, serta pembangunan dan pengembangan industri rumahan.
 
Bagaimana kondisi demografi terkini di Indonesia?

Berdasarkan data yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia per-Juni 2022 telah mencapai 275.36 juta jiwa, di mana, 190.83 juta jiwa (69.3%) di antaranya masuk ke dalam kategori usia produktif dan 84.53 juta jiwa (30.7%) di antaranya masuk ke dalam kategori usia belum produktif dan tidak produktif. Dengan komposisi tersebut, maka rasio ketergantungan/beban tanggungan (dependency ratio) dari Indonesia adalah sebesar 44.3%, yang berarti bahwa, setiap 100 penduduk usia produktif ‘menanggung’ sebanyak 44 – 45 jiwa penduduk usia belum produktif atau tidak produktif. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia saat ini tengah mulai memasuki era bonus demografi, meskipun memang belum mencapai puncaknya.

Berdasarkan data serta informasi yang dilansir oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia diperkirakan akan mencapai puncak dari era bonus demografi pada tahun 2045. Dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015 – 2045, Kementerian PPN dan BPS memprediksi bahwa jumlah penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 318.96 juta jiwa pada tahun 2045, dengan jumlah penduduk usia produktifnya mencapai sekitar 207.99 juta jiwa dan jumlah penduduk usia belum produktif dan tidak produktifnya mencapai 110.97 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut, dependency ratio dari penduduk Indonesia pada tahun 2045 diperkirakan akan mencapai 53.35%, yang berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif akan ‘menanggung’ sebanyak 53 – 54 jiwa penduduk usia belum produktif atau tidak produktif.

Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menyikapi fenomena bonus demografi ini?

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, fenomena bonus demografi dinilai sebagai suatu keadaan yang secara teori seharusnya memberikan keuntungan bagi suatu negara. Hal tersebut tak lain dan tak bukan lantaran jumlah penduduk dari suatu negara tersebut didominasi oleh penduduk yang masih berada dalam rentang usia produktif. Era bonus demografi diharapkan dapat membantu perkembangan ekonomi suatu negara, di mana, diharapkan ada semakin banyak individu yang mendapatkan kesempatan untuk bekerja, dan semakin banyak pula sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan negara.

Dengan menilik keberhasilan dari Jepang, Korea Selatan, dan China, era bonus demografi sudah selayaknya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, sebagai suatu kesempatan strategis untuk melakukan berbagai percepatan pembangunan. Apalagi, pada tahun 2030 terdapat agenda besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), dan sejalan dengan itu, Pemerintah pun telah mencanangkan Visi Indonesia Emas Tahun 2045, dengan harapan terciptanya generasi produktif yang berkualitas.

Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa fenomena bonus demografi tidak secara otomatis memberikan dampak yang positif bagi suatu negara, karena, bak pedang bermata dua, fenomena bonus demografi juga dapat memberikan dampak negatif pada negara tersebut. Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk mempersiapkan diri dengan baik, dan membekali masyarakatnya agar potensi dampak negatif dari fenomena bonus demografi dapat ditekan seminimal mungkin. Tantangan yang menyertai era bonus demografi adalah bagaimana kualitas dari penduduk usia produktif dapat ditingkatkan, sehingga, mereka dapat memberikan added value bagi pembangunan nasional. Dalam hal kualitas penduduk, pengukuran biasanya dilakukan dengan mengacu pada pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang meliputi aspek pendapatan/ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Dalam hal pendapatan/ekonomi, harus dipahami bahwa peningkatan jumlah penduduk usia produktif harus diimbangi oleh peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaan. Di sinilah Pemerintah dan negara harus berperan, yaitu, sedapat mungkin melakukan intervensi dalam penciptaan lapangan kerja, termasuk di dalamnya menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, dalam upaya penciptaan lapangan kerja tersebut. Selain itu, Pemerintah juga dapat mengupayakan penciptaan lapangan kerja melalui skema investasi, baik investasi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Hal yang penting untuk diingat adalah peningkatan jumlah dari penduduk usia produktif tidak serta merta meningkatkan kualitas dari penduduk usia produktif tersebut. Meskipun diupayakan semaksimal mungkin, tentu ketersediaan lapangan kerja yang mampu disediakan oleh Pemerintah dan pihak pemberi kerja lainnya belum tentu akan mengimbangi jumlah penduduk usia produktif yang membutuhkan pekerjaan. Hal ini menimbulkan semakin ketatnya persaingan yang ada di antara penduduk usia produktif yang membutuhkan pekerjaan. Pemerintah dan pihak pemberi kerja lainnya pun dalam hal ini akan cenderung bersikap semakin selektif dalam memilih sumber daya manusia yang akan mereka pekerjakan. Oleh karena itu, penting bagi penduduk usia produktif untuk terus melakukan upgrade kemampuan, baik melalui jalur pendidikan formal, maupun pelatihan lainnya, agar dapat meningkatkan daya saing mereka di kemudian hari.

Dalam hal pendidikan, harus dipahami bahwa pendidikan merupakan komponen penggerak utama dalam upaya transformasi pola pikir suatu bangsa, untuk menuju ke arah yang lebih baik dan terarah. Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan kualitas dari penduduk usia produktif dan penduduk usia belum produktif, diperlukan strategi-strategi untuk dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Hal ini diharapkan dapat dicapai melalui kemudahan akses pendidikan yang didukung oleh sarana dan pra-sarana pendidikan yang mumpuni, serta tentunya tenaga pendidik yang berkualitas.

Salah satu strategi dalam upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan adalah dengan mengoptimalkan pengembangan aspek hard-skill dan soft-skill. Sayangnya, pengembangan individu pada pendidikan formal umumnya hanya berfokus pada aspek hard-skill. Padahal, seorang individu perlu untuk menguasai aspek soft-skill dengan baik, agar dapat berkomunikasi, bersosialisasi, dan menjalin relasi dengan sesamanya. Tak lupa pula, pengayaan kualitas sumber daya manusia juga dapat dilakukan dengan memperkaya pengalaman berorganisasi pada seorang individu, lantaran, pengalaman tersebut dapat memperluas wawasan, relasi, serta dapat meningkatkan kemampuan adaptasi pada seorang individu. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat membuat individu lebih adaptif dan mampu menghadapi tantangan yang ada dengan lebih efektif.

Dalam hal kesehatan, harus dipahami bahwa seyogyanya manusia harus berada dalam kondisi sehat untuk dapat menjadi insan yang produktif. Oleh karena itu, penyediaan serta pengembangan fasilitas dan sistem kesehatan yang mumpuni selayaknya dipandang sebagai suatu investasi bagi Pemerintah dan negara. Perwujudan fasilitas dan sistem kesehatan yang mumpuni dapat diupayakan melalui perbaikan tingkat kesehatan masyarakat, melalui program jaminan kesehatan nasional, pemerataan jumlah dan kualitas dari fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di seluruh daerah, serta mempermudah akses masyarakat atas fasilitas kesehatan yang berkualitas.

Nah, dari uraian di atas, selayaknya kita telah lebih memahami bahwa fenomena bonus demografi juga dapat memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat. Apabila negara dan masyarakat tidak melakukan persiapan yang matang dalam upaya pemanfaatan era bonus demografi ini, dikhawatirkan era bonus demografi justru akan membuat negara menjadi gagal berkembang dan terpuruk.

Salah satu dampak negatif dari fenomena bonus demografi adalah potensi membludaknya angka pengangguran. Hal tersebut dapat terjadi lantaran proporsi penduduk usia produktif diestimasikan dapat mencapai 60 – 70% dari keseluruhan penduduk di negara tersebut. Dengan mempertimbangkan masih terbatasnya ketersediaan lapangan kerja serta demand dari pemberi kerja yang semakin selektif, besar kemungkinan akan cukup banyak penduduk usia produktif yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Jumlah pengangguran yang meningkat akan menjadi awal yang buruk bagi negara yang tidak mampu memanfaatkan bonus demografi. Sebab, hal tersebut dapat turut berdampak ke berbagai aspek kehidupan, khususnya dari aspek kemampuan penduduk untuk menafkahi diri dan memenuhi kebutuhannya.

Bagaimana dengan dampak hadirnya fenomena bonus demografi pada Industri Asuransi Jiwa?

Industri Asuransi Jiwa Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan positif pada berbagai aspek di sepanjang tahun 2021 dan 2022. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkapkan rasa optimis bahwa pertumbuhan yang diraih oleh Industri Asuransi Jiwa dapat menunjang pertumbuhan dari industri asuransi secara keseluruhan. Adapun terkait dengan telah mulai masuknya Indonesia ke dalam era bonus demografi, AAJI berpendapat bahwa era tersebut akan sangat membuka peluang untuk semakin bertumbuhnya industri asurasi ke depannya. Meskipun demikian, untuk menjaga konsistensi dan momentum positif dalam industri asuransi jiwa, seluruh pihak terkait perlu untuk memperkaya literasi dan meningkatkan tata kelola untuk menjaga kepercayaan masyarakat akan Industri Asuransi Indonesia, serta untuk tetap memelihara dan meningkatkan awareness masyarakat terhadap kebutuhan mereka akan kepemilikan asuransi jiwa.

Sebagai salah satu upaya memanfaatkan momentum yang ada, Industri Asuransi Jiwa perlu menyesuaikan modal market penetration baru, agar dapat sejalan dengan ekspektasi dan kebutuhan masyarakat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengembangan produk asuransi yang bersifat segmented, untuk dapat memenuhi kebutuhan dari setiap kelompok masyarakat yang tentunya tidak dapat digeneralisir. Untuk dapat memenuhi ekspektasi dan kebutuhan masyarakat, Perusahaan Asuransi Jiwa harus jeli untuk melihat market trend yang tentunya dapat berubah dengan cepat dari waktu ke waktu.

Selain dari aspek pengembangan produk, industri asuransi jiwa juga perlu memacu kembali implementasi teknologi digital dalam proses pemasaran dan operasional dari perusahaan asuransi jiwa. Adapun implementasi teknologi digital tidak hanya bermanfaat dalam mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada customer, melainkan, implementasi tersebut juga dapat meningkatkan kualitas dari customer experience, serta mempererat engagement antara perusahaan asuransi dengan customernya. Hal ini patut menjadi perhatian, agar pertanggungan asuransi jiwa dapat menarik minat penduduk muda/usia produktif, yang nantinya akan mendominasi peta demografi penduduk Indonesia.

Bonus demografi, pada akhirnya merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan bagi suatu negara. Pemanfaatan fenomena bonus demografi sebagai katalisator dari perkembangan dan kemajuan negara tentu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan sinergi yang harmonis antara Pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat, serta komitmen yang kuat dan konsisten untuk senantiasa menjalankan strategi-strategi yang telah dicanangkan. Semua hal tersebut perlu dilakukan agar Visi Indonesia Emas Tahun 2045 dapat benar-benar terwujud.

Stay safe and healthy, semuanya!
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id