21 December 2020
4552
4552
Reasuransi Jiwa
Sejak pandemi COVID-19 ini datang, pemerintah, organisasi kesehatan, dan para ilmuwan dari seluruh belahan dunia setiap harinya selalu berusaha merumuskan penanganan yang tepat bagi pandemi ini. Berbagai ide dan metode telah dilontarkan, diuji coba, dan dievaluasi kembali untuk menilai efikasinya, mulai dari penerapan protokol kesehatan, lockdown, hingga percobaan herd immunity. Namun, pada kenyataannya, belum ada metode penanganan yang benar-benar mampu menghentikan laju pertumbuhan kasus COVID-19 ini secara permanen.
Pada hakikatnya untuk dapat menghentikan laju suatu pandemi, sebagian besar masyarakat di daerah yang terdampak pandemi tersebut harus memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut. Secara teori, kekebalan seseorang terhadap suatu virus atau bakteri hanya dapat terbentuk jika orang tersebut memiliki antibodi atas virus atau bakteri tersebut, yang mana, antibodi tersebut terbentuk karena orang tersebut pernah terinfeksi virus atau bakteri tersebut sebelumnya, atau telah menerima vaksinasi dari virus atau bakteri tersebut. Melalui riwayat infeksi atau pemberian vaksinasi, sistem imun kita akan ‘mengingat’ virus atau bakteri tersebut sehingga sudah ‘mempersiapkan persenjataan’ untuk memerangi infeksi akibat virus atau bakteri tersebut di kemudian hari.
Berdasarkan teori tersebut, untuk benar-benar menghentikan laju pandemi COVID-19, sebagian besar masyarakat di seluruh dunia harus memiliki kekebalan terhadap SARS-CoV-2, yang mana, dapat tercipta dengan telah terinfeksinya sebagian besar masyarakan di seluruh dunia atau dengan pemberian vaksinasi. Mengingat COVID-19 merupakan penyakit dengan tingkat mortalita dan morbidita yang tinggi, maka ‘mengharapkan’ kekebalan tercipta melalui proses infeksi yang masif merupakan pilihan yang harus kita hindari. Hal itu membuat vaksinasi menjadi pilihan yang paling ideal untuk menangani pandemi ini.
Vaksinasi dinilai dan diharapkan dapat memberikan harapan dari akhir pandemi COVID-19. Hal tersebut karena vaksinasi diyakini merupakan satu-satunya pilihan yang ideal dan minim risiko dalam usaha menciptakan kekebalan masyarakat terhadap SARS-CoV-2. Namun ternyata, melalui beberapa studi yang dilakukan pada tahun 2020 ini, ditemukan fakta bahwa ternyata kekebalan terhadap SARS-CoV-2 dapat terjadi pada individu yang belum pernah terekspos atau terinfeksi SARS-CoV-2, dan tentunya belum pernah menerima vaksinasi COVID-19 –karena belum ada juga sih, ya, hehe-. Melalui artikel ini, kita akan mencoba sedikit mengulas intisari dari studi-studi tersebut, untuk menemukan benang merah yang dapat kita jadikan landasan dari hipotesis keberadaan dari kekebalan pada individu-individu tersebut.
Studi pertama merupakan studi yang bertajuk Targets of T-cell Responses to SARS-CoV-2 Coronavirus in Humans with COVID-19 Disease and Unexposed Individuals yang dipublikasikan oleh Alba Grifoni et al pada Mei 2020. Studi tersebut menunjukkan adanya sel imun (sel T) yang bereaksi terhadap SARS-CoV-2 pada sebagian orang yang belum pernah terekspos infeksi SARS-CoV-2. Studi tersebut dilandasi oleh pentingnya pemahaman akan adanya adaptive immunity terhadap SARS-CoV-2 dalam proses pengembangan vaksin, menginterpretasikan pathogenesis dari COVID-19, dan kalibrasi dari tindakan pengendalian pandemi.
Melalui prinsip-prinsip tersebut, kita perlu memiliki pemahaman mendalam akan sel T selaku sel imun yang akan bereaksi terhadap SARS-CoV-2, serta potensi adanya cross-reactive immunity antara strain Coronavirus pada derajat tertentu. Pada studi ini, peneliti melakukan penelitian terhadap sel T CD4+ dan CD8+ dari penderita COVID-19 dan kelompok kontrol yang terdiri dari individu-individu yang belum pernah terekspos SARS-CoV-2. Studi ini menemukan fakta bahwa respon sel T CD4+ terdeteksi pada 40 – 60% individu yang belum pernah terekspos SARS-CoV-2. Hal tersebut mengindikasikan adanya potensi cross-reactive immunity antara SARS-CoV-2 dengan virus lainnya. Walaupun demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait apakah virus yang menyebabkan cross-reactive immunity ini, apakah kekebalan ini relevan dan signifikan secara klinis, serta apakah cross-reactive immunity ini akan memiliki manfaat khusus dalam menginduksi imunitas terhadap SARS-CoV-2.
Temuan terkait cross-reactive immunity ini sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru, mengingat, pada pandemi H1N1 di tahun 2009 lalu, respon sel T pada individu yang belum pernah terekspos H1N1 juga pernah ditemukan. Cross-reactive immunity ini dinilai setidaknya mampu membuat individu tersebut berpeluang menderita infeksi yang lebih ringan jika dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki respon sel T tersebut. Mengingat luas dan beratnya pandemi COVID-19 ini, sepertinya imunitas yang berbasisnya cross-protective Coronavirus layak untuk dipertimbangkan dalam proses pengembangan vaksin dan penanganan pandemi.
Sebuah studi yang bertajuk Phenotype and Kinetics of SARS-CoV-2 Specific T-cells in COVID-19 Patients with Acute Respiratory Distress Syndrome yang dipublikasikan oleh Daniela Weiskopf et al pada Juni 2020 juga mendukung hasil dari studi yang dilakukan oleh Alba Grifoni et al. Studi tersebut dilakukan pada pasien COVID-19 yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit dan kelompok kontrol sehat yang terdiri dari individu-individu yang belum pernah terekspos SARS-CoV-2. Pada studi tersebut ditemukan adanya sel CD4+ spesifik SARS-CoV-2 pada 10 dari 10 pasien perawatan intensif, adanya sel CD8+ spesifik SARS-CoV-2 pada 8 dari 10 pasien perawatan intensif, dan sel T reaktif SARS-CoV-2 pada 2 dari 10 kontrol sehat. Temuan tersebut mendukung bukti adanya cross-reactive immunity yang mungkin ditimbulkan dari paparan flu jenis lain –termasuk common cold- pada kontrol sehat.
Sebuah studi lain yang bertajuk SARS-CoV-2 Reactive T-cells in Healthy Donors and Patients with COVID-19 yang dipublikasikan oleh Julian Braun et al pada Juli 2020 juga turut mendukung hipotesis dari dua studi sebelumnya. Studi ini menemukan bahwa 24 orang –atau sekitar 35%- dari 68 kontrol sehat yang belum terpapar SARS-CoV-2 memiliki S-reactive CD4+ T-cells. Dengan mengingat bahwa pandemi COVID-19 baru muncul pada Desember 2019, peneliti menduga bahwa sel imun yang ada merupakan hasil cross-reaction dari infeksi yang pernah dialami oleh kontrol sehat sebelumnya. Terutama, mengingat bahwa pada 24 kontrol sehat tersebut, sel imun juga ditemukan bereaksi terhadap Coronavirus 229E dan OC43 yang merupakan penyebab dari common cold.
Peranan dari Human Coronavirus (hCoVs) yang merupakan agen penyebab dari 20% kasus common cold memang diduga kuat sebagai penyebab dari cross-reactive immunity ini. Yang mana, hal ini juga turut menguatkan potensi adanya cross-reaction antara strain Coronavirus.
Studi terbaru yang bertajuk Preexisting and De Novo Humoral Immunity to SARS-CoV-2 in Humans yang dipublikasikan oleh Kevin W. Ng et al di November 2020 juga semakin memperkuat kesimpulan dari ketiga studi sebelumnya. Ng et al menemukan bahwa 40 orang –atau sekitar 12%- dari 320 orang yang belum pernah terinfeksi COVID-19 telah memiliki antibodi yang bereaksi terhadap bagian spike dari SARS-CoV-2. Antibodi tersebut juga bereaksi kuat terhadap Coronavirus 229E, OC43, HKU1, dan NL63 yang merupakan penyebab dari common cold. Namun, belum diketahui bagaimana tingkat serta daya tahan dari imunitas tersebut, seperti apakah imunitas tersebut benar-benar akan melindungi orang tersebut dari eksposur SARS-CoV-2, atau apakah imunitas tersebut akan bertahan seberapa lama.
Melihat hasil dari keempat studi ini, kita dapat semakin meyakini adanya potensi cross-reactive immunity antara SARS-CoV-2 dengan Coronavirus strain lainnya atau virus-virus lainnya. Meskipun demikian, masih diperlukan penelitian lebih jauh dan lebih lama terkait potensi imunitas ini, seperti misalnya, apakah imunitas ini akan bertahan lama, apakah imunitas ini dapat terbentuk pada semua usia, apakah imunitas ini akan benar-benar menciptakan kekebalan terhadap potensi infeksi dari SARS-CoV-2 atau hanya mengurangi potensi tingkat keparahan penyakit saja, atau apakah imunitas ini justru akan menyebabkan kerentanan tertentu pada individu terkait seperti pada mekanisme antibody dependent enchancement (ADE). Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengerti dengan betul dampak positif dan negative dari potensi imunitas yang ada.
Potensi Terjadinya Cross-Reactive-Immunity Terhadap Individu Yang Belum Terekspos Sars-Cov-2
Sejak pandemi COVID-19 ini datang, pemerintah, organisasi kesehatan, dan para ilmuwan dari seluruh belahan dunia setiap harinya selalu berusaha merumuskan penanganan yang tepat bagi pandemi ini. Berbagai ide dan metode telah dilontarkan, diuji coba, dan dievaluasi kembali untuk menilai efikasinya, mulai dari penerapan protokol kesehatan, lockdown, hingga percobaan herd immunity. Namun, pada kenyataannya, belum ada metode penanganan yang benar-benar mampu menghentikan laju pertumbuhan kasus COVID-19 ini secara permanen.
Pada hakikatnya untuk dapat menghentikan laju suatu pandemi, sebagian besar masyarakat di daerah yang terdampak pandemi tersebut harus memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut. Secara teori, kekebalan seseorang terhadap suatu virus atau bakteri hanya dapat terbentuk jika orang tersebut memiliki antibodi atas virus atau bakteri tersebut, yang mana, antibodi tersebut terbentuk karena orang tersebut pernah terinfeksi virus atau bakteri tersebut sebelumnya, atau telah menerima vaksinasi dari virus atau bakteri tersebut. Melalui riwayat infeksi atau pemberian vaksinasi, sistem imun kita akan ‘mengingat’ virus atau bakteri tersebut sehingga sudah ‘mempersiapkan persenjataan’ untuk memerangi infeksi akibat virus atau bakteri tersebut di kemudian hari.
Berdasarkan teori tersebut, untuk benar-benar menghentikan laju pandemi COVID-19, sebagian besar masyarakat di seluruh dunia harus memiliki kekebalan terhadap SARS-CoV-2, yang mana, dapat tercipta dengan telah terinfeksinya sebagian besar masyarakan di seluruh dunia atau dengan pemberian vaksinasi. Mengingat COVID-19 merupakan penyakit dengan tingkat mortalita dan morbidita yang tinggi, maka ‘mengharapkan’ kekebalan tercipta melalui proses infeksi yang masif merupakan pilihan yang harus kita hindari. Hal itu membuat vaksinasi menjadi pilihan yang paling ideal untuk menangani pandemi ini.
Vaksinasi dinilai dan diharapkan dapat memberikan harapan dari akhir pandemi COVID-19. Hal tersebut karena vaksinasi diyakini merupakan satu-satunya pilihan yang ideal dan minim risiko dalam usaha menciptakan kekebalan masyarakat terhadap SARS-CoV-2. Namun ternyata, melalui beberapa studi yang dilakukan pada tahun 2020 ini, ditemukan fakta bahwa ternyata kekebalan terhadap SARS-CoV-2 dapat terjadi pada individu yang belum pernah terekspos atau terinfeksi SARS-CoV-2, dan tentunya belum pernah menerima vaksinasi COVID-19 –karena belum ada juga sih, ya, hehe-. Melalui artikel ini, kita akan mencoba sedikit mengulas intisari dari studi-studi tersebut, untuk menemukan benang merah yang dapat kita jadikan landasan dari hipotesis keberadaan dari kekebalan pada individu-individu tersebut.
Studi pertama merupakan studi yang bertajuk Targets of T-cell Responses to SARS-CoV-2 Coronavirus in Humans with COVID-19 Disease and Unexposed Individuals yang dipublikasikan oleh Alba Grifoni et al pada Mei 2020. Studi tersebut menunjukkan adanya sel imun (sel T) yang bereaksi terhadap SARS-CoV-2 pada sebagian orang yang belum pernah terekspos infeksi SARS-CoV-2. Studi tersebut dilandasi oleh pentingnya pemahaman akan adanya adaptive immunity terhadap SARS-CoV-2 dalam proses pengembangan vaksin, menginterpretasikan pathogenesis dari COVID-19, dan kalibrasi dari tindakan pengendalian pandemi.
Melalui prinsip-prinsip tersebut, kita perlu memiliki pemahaman mendalam akan sel T selaku sel imun yang akan bereaksi terhadap SARS-CoV-2, serta potensi adanya cross-reactive immunity antara strain Coronavirus pada derajat tertentu. Pada studi ini, peneliti melakukan penelitian terhadap sel T CD4+ dan CD8+ dari penderita COVID-19 dan kelompok kontrol yang terdiri dari individu-individu yang belum pernah terekspos SARS-CoV-2. Studi ini menemukan fakta bahwa respon sel T CD4+ terdeteksi pada 40 – 60% individu yang belum pernah terekspos SARS-CoV-2. Hal tersebut mengindikasikan adanya potensi cross-reactive immunity antara SARS-CoV-2 dengan virus lainnya. Walaupun demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait apakah virus yang menyebabkan cross-reactive immunity ini, apakah kekebalan ini relevan dan signifikan secara klinis, serta apakah cross-reactive immunity ini akan memiliki manfaat khusus dalam menginduksi imunitas terhadap SARS-CoV-2.
Temuan terkait cross-reactive immunity ini sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru, mengingat, pada pandemi H1N1 di tahun 2009 lalu, respon sel T pada individu yang belum pernah terekspos H1N1 juga pernah ditemukan. Cross-reactive immunity ini dinilai setidaknya mampu membuat individu tersebut berpeluang menderita infeksi yang lebih ringan jika dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki respon sel T tersebut. Mengingat luas dan beratnya pandemi COVID-19 ini, sepertinya imunitas yang berbasisnya cross-protective Coronavirus layak untuk dipertimbangkan dalam proses pengembangan vaksin dan penanganan pandemi.
Sebuah studi yang bertajuk Phenotype and Kinetics of SARS-CoV-2 Specific T-cells in COVID-19 Patients with Acute Respiratory Distress Syndrome yang dipublikasikan oleh Daniela Weiskopf et al pada Juni 2020 juga mendukung hasil dari studi yang dilakukan oleh Alba Grifoni et al. Studi tersebut dilakukan pada pasien COVID-19 yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit dan kelompok kontrol sehat yang terdiri dari individu-individu yang belum pernah terekspos SARS-CoV-2. Pada studi tersebut ditemukan adanya sel CD4+ spesifik SARS-CoV-2 pada 10 dari 10 pasien perawatan intensif, adanya sel CD8+ spesifik SARS-CoV-2 pada 8 dari 10 pasien perawatan intensif, dan sel T reaktif SARS-CoV-2 pada 2 dari 10 kontrol sehat. Temuan tersebut mendukung bukti adanya cross-reactive immunity yang mungkin ditimbulkan dari paparan flu jenis lain –termasuk common cold- pada kontrol sehat.
Sebuah studi lain yang bertajuk SARS-CoV-2 Reactive T-cells in Healthy Donors and Patients with COVID-19 yang dipublikasikan oleh Julian Braun et al pada Juli 2020 juga turut mendukung hipotesis dari dua studi sebelumnya. Studi ini menemukan bahwa 24 orang –atau sekitar 35%- dari 68 kontrol sehat yang belum terpapar SARS-CoV-2 memiliki S-reactive CD4+ T-cells. Dengan mengingat bahwa pandemi COVID-19 baru muncul pada Desember 2019, peneliti menduga bahwa sel imun yang ada merupakan hasil cross-reaction dari infeksi yang pernah dialami oleh kontrol sehat sebelumnya. Terutama, mengingat bahwa pada 24 kontrol sehat tersebut, sel imun juga ditemukan bereaksi terhadap Coronavirus 229E dan OC43 yang merupakan penyebab dari common cold.
Peranan dari Human Coronavirus (hCoVs) yang merupakan agen penyebab dari 20% kasus common cold memang diduga kuat sebagai penyebab dari cross-reactive immunity ini. Yang mana, hal ini juga turut menguatkan potensi adanya cross-reaction antara strain Coronavirus.
Studi terbaru yang bertajuk Preexisting and De Novo Humoral Immunity to SARS-CoV-2 in Humans yang dipublikasikan oleh Kevin W. Ng et al di November 2020 juga semakin memperkuat kesimpulan dari ketiga studi sebelumnya. Ng et al menemukan bahwa 40 orang –atau sekitar 12%- dari 320 orang yang belum pernah terinfeksi COVID-19 telah memiliki antibodi yang bereaksi terhadap bagian spike dari SARS-CoV-2. Antibodi tersebut juga bereaksi kuat terhadap Coronavirus 229E, OC43, HKU1, dan NL63 yang merupakan penyebab dari common cold. Namun, belum diketahui bagaimana tingkat serta daya tahan dari imunitas tersebut, seperti apakah imunitas tersebut benar-benar akan melindungi orang tersebut dari eksposur SARS-CoV-2, atau apakah imunitas tersebut akan bertahan seberapa lama.
Melihat hasil dari keempat studi ini, kita dapat semakin meyakini adanya potensi cross-reactive immunity antara SARS-CoV-2 dengan Coronavirus strain lainnya atau virus-virus lainnya. Meskipun demikian, masih diperlukan penelitian lebih jauh dan lebih lama terkait potensi imunitas ini, seperti misalnya, apakah imunitas ini akan bertahan lama, apakah imunitas ini dapat terbentuk pada semua usia, apakah imunitas ini akan benar-benar menciptakan kekebalan terhadap potensi infeksi dari SARS-CoV-2 atau hanya mengurangi potensi tingkat keparahan penyakit saja, atau apakah imunitas ini justru akan menyebabkan kerentanan tertentu pada individu terkait seperti pada mekanisme antibody dependent enchancement (ADE). Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengerti dengan betul dampak positif dan negative dari potensi imunitas yang ada.
Penulis
dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ
Email: laras@indonesiare.co.id
Artikel
- InsurTech: A Growing Synergy Between Insurance, Technology, and Healthcare
13 Sep 2024
1744 kali - Sepak Terjang Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS)09 Jul 20241664 kali
- Pengaruh Penggunaan Proton Pump Inhibitor terhadap Gangguan Kandung Empedu27 Jun 20242099 kali
- Mengenal ‘Disease X’, The Future Next Pandemic?06 May 20242387 kali
- Vertigo dan Meniere’s Disease02 Apr 20242141 kali
- Potensi dan Langkah Mitigasi Bahaya Rokok Elektrik07 Feb 20242080 kali
- Kebangkitan Infeksi Polio di Indonesia23 Jan 20242111 kali
- Mengenal COVID-19 Varian JN.122 Dec 20234565 kali
- Lonjakan Kasus COVID-19 di Akhir Tahun 202320 Dec 20234515 kali
- Potret Wabah ‘Pneumonia Misterius’ di Indonesia dan Dunia07 Dec 20234872 kali
- Infeksi HPV, Kanker Cervix, dan Metode Pencegahannya04 Dec 20234903 kali
- Perspektif Kepemilikan Asuransi Penyakit Kritis bagi Kelompok Usia Muda21 Nov 20234784 kali
- Kemunculan Kasus Mpox Kedua: Apakah Berpotensi Menjadi Epidemi Baru di Indonesia?30 Oct 20234266 kali
- Underweight dan Bahaya Kesehatan di Baliknya10 Oct 20234116 kali
- Penggunaan Air Purifier: Apakah Merupakan Solusi Efektif untuk Mengatasi Gangguan Pernapasan akibat Kualitas Udara Buruk?03 Oct 20233949 kali
- Fenomena Peningkatan Insidensi HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga12 Jun 202310352 kali
- Marburg Virus Disease24 May 20236842 kali
- Sudden Sensorineural Hearing Loss26 Apr 20239415 kali
- Tuberculosis pada Anak10 Apr 202310159 kali
- Flu Burung Clade 2.3.4.4b28 Mar 202311631 kali
- Penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam Operasional Industri Perasuransian Nasional20 Feb 202316526 kali
- Memahami Fenomena Bonus Demografi dan Pengaruhnya pada Industri Asuransi Jiwa26 Jan 202320813 kali
- Vaksin Inavac12 Jan 202316508 kali
- Stroke Batang Otak06 Jan 202319911 kali
- Ada Apa dengan China?28 Dec 202212373 kali
- Gonorrhea Superbug21 Dec 202212229 kali
- Crimean-Congo Hemorrhagic Fever14 Dec 20227302 kali
- Vaksin IndoVac29 Nov 20226074 kali
- Cedera Sambaran Petir24 Nov 20225473 kali
- Emboli Paru dan Tragedi Perayaan Halloween di Itaewon11 Nov 20225253 kali
- Covid Subvarian XBB dan XBC03 Nov 20224544 kali
- Fenomena Resistensi Antibiotik dan Infeksi Superbug26 Oct 20225397 kali
- Telaah Fenomena Gagal Ginjal Akut pada Anak18 Oct 20226049 kali
- Penggunaan Kendaraan Listrik dari Perspektif Kesehatan dan Lingkungan04 Oct 20229768 kali
- Zero Covid Policy22 Sep 20225577 kali
- Fenomena Antibody Dependent Enhancement (ADE) pada Sistem Imun31 Aug 20226482 kali
- Mengenal Batuk Berdarah22 Aug 20229650 kali
- Mengenal Virus Langya dan Potensi Emerging Disease12 Aug 20223133 kali
- Long Covid dalam Perspektif Asuransi Jiwa dan Kesehatan05 Aug 20223437 kali
- Covid Centaurus26 Jul 20223438 kali
- Menyikapi Penghapusan Ketentuan Waiting Period pada SEOJK PAYDI11 Jul 20225251 kali
- Telaah Ganja Medis sebagai Alternatif Pengobatan07 Jul 20224385 kali
- Ada Apa dengan BA.4 dan BA.5?24 Jun 20222931 kali
- Ramsay-Hunt Syndrome20 Jun 20223123 kali
- Keterkaitan Asma dengan GERD10 Jun 20225407 kali
- Penyakit Virus Hendra03 Jun 20223523 kali
- Mengenal Cacar Monyet26 May 20222990 kali
- Keterkaitan Infeksi Covid dengan Hepatitis Misterius19 May 20223134 kali
- Hepatitis Misterius19 May 20223196 kali
- Serba-Serbi Sakit Pinggang11 May 20225106 kali
- Evidence Based Medicine22 Apr 202218619 kali
- Mewaspadai Potensi Penyakit Ginjal pada Penyintas Covid07 Apr 20223653 kali
- Penyakit Tipes, Penyakit Masyarakat Indonesia31 Mar 20225760 kali
- Menilik Kesiapan Indonesia vs Negara Tetangga Dalam Melangkah Ke Status Endemi29 Mar 20223216 kali
- Riwayat Pandemi Flu Spanyol 191816 Mar 20228003 kali
- Son of Omicron09 Mar 20222652 kali
- Vaksin Zifivax22 Feb 20226894 kali
- Bahaya Strobo Bagi Kesehatan15 Feb 20225012 kali
- Flurona, Infeksi Apakah Itu?02 Feb 20222953 kali
- Pentingnya Warna Urine Sebagai Indikator Kesehatan25 Jan 202235368 kali
- Spinal Cord Injury17 Jan 202212481 kali
- Mengenal Gerd03 Jan 20226527 kali
- Tentang Varian Omicron10 Dec 20213279 kali
- Mengenal Nyeri Dada06 Dec 20215177 kali
- Mengenal Insomnia dan Sleep Deprivation29 Nov 202114300 kali
- Mental Health Awareness Di Lingkungan Kerja23 Nov 20218698 kali
- Dampak Kemunculan Virus Covid Subvarian Delta Plus12 Nov 20213591 kali
- Pemberian Vaksin Pfizer Pada Anak29 Oct 20214305 kali
- Risiko Myokarditis Pada Penerima Vaksin MRNA19 Oct 20217550 kali
- Pengajuan Asuransi Jiwa dan Kesehatan Bagi Penyintas Covid06 Oct 20213305 kali
- Tentang Varian Mu28 Sep 20213211 kali
- Tentang Vaksin Sputnik-V15 Sep 20214258 kali
- Badai Sitokin pada Penderita Covid01 Sep 202110288 kali
- Vaksin Moderna Di Indonesia25 Aug 20216080 kali
- Amunisi Pandemi Anak Bangsa09 Aug 20213933 kali
- Pemberian Dosis Booster pada Program Vaksinasi Covid di Indonesia05 Aug 20214405 kali
- Telaah Penggunaan Azithromycin dalam Pengobatan COVID-1928 Jul 202110772 kali
- Peranan Vitamin D dalam Imunitas23 Jul 20217681 kali
- Polemik Ivermectin dalam Pengobatan COVID-1914 Jul 20214733 kali
- Peningkatan Kasus COVID-19 pada Anak di Indonesia28 Jun 20213867 kali
- Peranan Varian Mutasi dalam Lonjakan Kasus COVID-19 di Indonesia18 Jun 20213896 kali
- Wacana Sekolah Tatap Muka di Tengah Pandemi COVID-1914 Jun 20218437 kali
- Infeksi Jamur Hitam pada Penderita COVID-1910 Jun 20215123 kali
- Program Vaksinasi Gotong Royong09 Jun 20214131 kali
- Faedah Pemberian Terapi Plasma Konvalesen bagi Penderita COVID-1904 Jun 20215008 kali
- Fenomena Long Covid pada Penyintas18 May 20216547 kali
- Mengenal Varian P1 dari SARS-CoV-230 Apr 20214324 kali
- Vaksin COVID-19 untuk Ibu Hamil19 Apr 20214007 kali
- Mengenal Varian Trégor16 Apr 20213521 kali
- Multisystem Inflammatory Syndrome In Children (Mis-C)24 Mar 202114057 kali
- Polemik Vaksin Astrazeneca19 Mar 20216251 kali
- Tentang Varian Mutasi B 117 Yang hadir di Indonesia15 Mar 20213113 kali
- Pengembangan Vaksin Covid-19 Di Indonesia26 Feb 20215496 kali
- Rekomendasi Terbaru Kemenkes Untuk Vaksinasi Covid-1918 Feb 20215674 kali
- Proses Pengelolaan Masker Medis Bekas Pakai15 Feb 20214539 kali
- Pandemic Fatigue11 Feb 20213720 kali
- Telaah Imunitas Dalam Disiplin Ilmu Psikoneuroimunologi01 Feb 20217031 kali
- Fakta-Fakta Terkait Kejadian Kematian Penerima Vaksin Pfizer22 Jan 20214895 kali
- Kesiapan Edar Vaksin Sinovac di Indonesia15 Jan 20214720 kali
- ISOLASI MANDIRI PADA COVID-1908 Jan 20214791 kali
- Mengenal Mutasi VUI-202012/0104 Jan 20213691 kali
- Delirium pada Penderita COVID-1923 Dec 20206657 kali
- Wacana Dimulainya Penyelenggaraan Sekolah Tatap Muka Kembali23 Dec 20203413 kali
- Gangguan Pencernaan Pada Kasus Covid-1922 Dec 20207083 kali
- Mengenal Vaksin Pfizer27 Nov 20208337 kali
- Klorokuin Dalam Pengobatan Covid-1920 Nov 20205016 kali
- Dominasi Klaster Perkantoran Pada Pandemi COVID-1920 Nov 20204079 kali
- Risiko Transmisi Covid-19 Dalam Penerbangan17 Nov 20203859 kali
- Antibody Dependent Enhancement02 Nov 202010920 kali
- Mengenal Herd Immunity24 Jul 20204841 kali
- Mungkinkah COVID-19 terjadi pada hewan?20 Jul 20204273 kali
- Virus Flu Babi G4 EA H1N1, Akankan Menjadi Pandemi Baru Di Tahun Ini ?03 Jul 20204739 kali
- Penggunaan Masker Dalam Kehidupan ‘Normal Baru’26 Jun 20204402 kali
- Kilas Balik Penanganan COVID-19 di Indonesia28 May 20203750 kali
- COVID-19 dan Penyakit Kardiovaskular11 May 20204280 kali
- Proses Pembuatan Vaksin05 May 202079855 kali
- COVID-19 dan Demam Dengue28 Apr 20204521 kali
- Mitos dan Fakta tentang COVID-1923 Mar 20204481 kali
- Menangani Gigitan Ular02 Mar 20208106 kali
- Mengenal GERD24 Feb 20208229 kali
- Serba-Serbi Jamu17 Feb 20204250 kali
- Mengoptimalkan Kekebalan Tubuh10 Feb 20203615 kali
- 2019 - Novel Coronavirus28 Jan 20204567 kali
- Vegan vs Vegetarian20 Jan 20204731 kali
- Banjir, Penyakit Pes, dan Leptospirosis13 Jan 202010889 kali
- Serba-Serbi Vitamin D06 Jan 20203464 kali
- Hyperventilation Syndrome30 Dec 201924806 kali
- Pentingnya Kalsium untuk Tubuh26 Dec 20198478 kali
- Serba-Serbi Keluarga Berencana17 Dec 20197136 kali
- Chronic Fatigue Syndrome09 Dec 20199064 kali
- Hipnosis dan Diet Hipnoterapi03 Dec 20197824 kali
- Manfaat Ikan Salmon25 Nov 20198696 kali
- Ulkus Lambung18 Nov 201916651 kali
- Sifilis12 Nov 201921449 kali
- Mengkonsumsi Vitamin C05 Nov 20197448 kali
- Skizofrenia28 Oct 20198506 kali
- Overdosis Kafein21 Oct 20193981 kali
- Bahaya Mengkonsumsi Makanan dan Minuman Panas16 Oct 201917054 kali
- Peran Kolesterol bagi Kesehatan Tubuh27 Aug 20198947 kali
- Penyebab Bau Badan14 Aug 20195805 kali
- Social Drinker05 Aug 201917877 kali
- Mengenal Kandung Empedu30 Jul 201960213 kali
- Nutrisi untuk Rambut15 Jul 20193619 kali
- Mengenal Rambut08 Jul 201948710 kali
- Apakah Menguap Itu Selalu Pertanda Mengantuk01 Jul 20199123 kali
- Serba Serbi Warna Ingus28 Jun 201923927 kali
- Mengenal Cacar Monyet21 May 20195541 kali
- Manfaat Berpuasa bagi Kesehatan06 May 20193766 kali
- Mengapa Garam Dapat Menyebabkan Tekanan Darah Meningkat?29 Apr 201929508 kali
- Mengapa Kita Mengalami Cegukan?22 Apr 201912662 kali
- Manfaat Bawang Putih15 Apr 20199555 kali
- Mau tidur siang? Ternyata ada aturannya, lho!26 Mar 20199413 kali
- Extrapulmonary Tuberculosis18 Mar 201912432 kali
- Manfaat Zat Besi untuk Tubuh14 Mar 20198562 kali
- Hipertensi pada Anak06 Mar 201928614 kali
- Gangguan Psikosomatis04 Mar 201912228 kali
- Pentingnya Tidur Untuk Kesehatan18 Feb 20198945 kali
- Waspada Demam Berdarah Dengue (DBD)!12 Feb 20199558 kali
- Fungsi Usus Buntu04 Feb 201917789 kali
- Serba-serbi Tonsil28 Jan 201934850 kali
- Protein dan Asam Amino21 Jan 201984117 kali
- Mengenal IQOS14 Jan 201938131 kali
- Mengenal Diet Keto07 Jan 20199927 kali
- Serba-Serbi Kurang Tidur31 Dec 20185332 kali
- Kolesterol yang Terlalu Rendah26 Dec 20184518 kali
- Ada Apa dengan Nasi?26 Dec 20185639 kali
- Benarkah Vape Tidak Berbahaya?11 Dec 20187546 kali
- Efusi Pleura12 Nov 201821287 kali
- Pneumonia06 Nov 20189337 kali
- Encephalitis29 Oct 20187780 kali
- Meningitis22 Oct 201810039 kali
- Imunisasi Rotavirus15 Oct 201816306 kali
- Prostatitis11 Jul 20188689 kali
- Cystitis02 Jul 201816079 kali
- Tahan Banting Selama Puasa04 Jun 20184261 kali
- Vaksin untuk anak : Iya atau Tidak?21 May 20184152 kali
- Vaksin Cacar Air, Penting atau Tidak ?30 Apr 201816267 kali
- Eclampsia23 Apr 20185418 kali
- Chikungunya12 Mar 201813777 kali
- Rubeola05 Mar 201813206 kali
- Benign Prostatic Hyperplasia05 Feb 20189795 kali
- Transplantasi Liver06 Mar 20178104 kali
- Diet sehat itu seperti apa?06 Mar 20175955 kali
- Sirosis Hati06 Mar 201718746 kali
- Pre-Diabetes, akankah menjadi Diabetes?06 Mar 201710911 kali
- Kanker Pankreas03 Mar 20178704 kali
- Kanker Lambung03 Mar 201712014 kali
- HFMD02 Mar 201710574 kali
- Cholelithiasis02 Mar 201764600 kali
- Alcohol-Related Liver Disease02 Mar 20177321 kali
- Rokok Elektronik: Penolong dari Ketergantungan atau Alternatif Baru Merokok?10 Dec 20167005 kali
Follow Us
