12 June 2023 10350
Reasuransi Jiwa

Fenomena Peningkatan Insidensi HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga

 
Meskipun insidensi kasus Covid sudah dapat dikatakan relatif sangat terkendali, nampaknya Kementerian Kesehatan Indonesia masih memiliki tugas berat lainnya yang sudah menunggu. Data Kementerian Kesehatan Indonesia untuk tahun 2022 dan 2023 menunjukkan fakta yang sangat mengejutkan, di mana, terdapat peningkatan insidensi kasus HIV/AIDS yang didominasi oleh kelompok ibu rumah tangga. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kelompok ibu rumah tangga mendominasi penderita HIV, yaitu pada proporsi sekitar 35%. Proporsi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi kelompok lainnya, yang sebenarnya masuk ke kelompok berisiko terinfeksi HIV, seperti kelompok pekerja seksual dan kelompok homo seksual (MSM – man sex with man).
 
Mengapa fenomena peningkatan insidensi HIV/AIDS pada ibu rumah tangga ini dapat terjadi, dan apa yang dapat kita lakukan untuk memutus rantai penularan ini?
 
Sebelum membahas fenomena ini, mari kita bersama me-refresh kembali ingatan kita tentang apa itu HIV dan AIDS. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, dan dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. Berbeda dengan HIV, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kondisi di mana infeksi HIV telah mencapai tahapan akhir, dan tubuh penderita telah tidak lagi memiliki kemampuan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa AIDS adalah kondisi tahap lanjut/akhir dari penderita HIV, sehingga asumsi awam bahwa HIV sama dengan AIDS adalah kurang tepat. Penderita yang terinfeksi HIV dapat menjalani pengobatan tertentu yang dimaksudkan untuk memperlambat perkembangan penyakit, sehingga penderita HIV tidak segera jatuh ke kondisi AIDS.
 
Gejala dari infeksi HIV maupun AIDS tergantung pada tahap mana orang tersebut terinfeksi. Pada infeksi HIV tahap awal, penderita umumnya tidak merasakan gejala apapun selama beberapa tahun, selain beberapa episode penyakit seperti flu yang menunjukkan gejala seperti demam, nyeri tenggorokan, ruam kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, diare, kelelahan, nyeri otot, dan nyeri sendi beberapa bulan setelah terinfeksi. Pada tahap selanjutnya di mana penderita sebenarnya telah terinfeksi HIV selama beberapa tahun, virus di tubuh penderita telah menyebar dan mulai merusak sistem kekebalan tubuh. Selain itu, penderita juga mulai dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Tahap selanjutnya alias tahap lanjut, daya tahan tubuh penderita semakin menurun, sehingga penderita menjadi mudah sakit. Gejala penyakit juga mulai tampak memberat dan konstan. Inilah kondisi di mana penderita HIV mulai masuk ke dalam tahapan AIDS.
 
Untuk dapat menegakkan diagnosis HIV, penderita perlu menjalani beberapa pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan antigen, antibodi, hitung sel CD4, HIV RNA, dan uji resistensi. Pemeriksaan antigen dilakukan untuk mendeteksi protein yang menjadi bagian dari virus HIV, yaitu p24. Pemeriksaan antigen ini dapat dilakukan 2 – 6 minggu setelah penderita dicurigai terpapar HIV. Apabila pemeriksaan menunjukkan hasil positif, penderita perlu untuk menjalani pemeriksaan lainnya untuk mengetahui tahap dari infeksi yang diderita dan untuk menentukan pengobatan yang sesuai. Sementara itu, pemeriksaan antibodi dilakukan untuk melihat status antibodi yang dihasilkan oleh tubuh untuk melawan infeksi HIV. Pemeriksaan ini dilakukan sekitar 3 – 12 minggu setelah penderita dicurigai terpapar HIV, untuk mendapatkan hasil yang akurat.
 
Pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan antigen dan antibodi adalah pemeriksaan hitung sel CD4. Sel CD4 merupakan bagian dari sel darah putih yang dihancurkan oleh virus HIV. Normalnya, seseorang memiliki sel CD4 dengan jumlah sekitar 500 – 1,400 sel/millimeter kubik darah. Seseorang dicurigai terinfeksi HIV apabila hitung sel CD4 berada di bawah 200 sel/millimeter kubik darah.
 
Pemeriksaan lanjutan lainnya adalah pemeriksan HIV RNA yang bertujuan menghitung viral load RNA, yang merupakan bagian dari virus HIV yang berfungsi mereplikasi diri dan menginfeksi sel-sel tubuh. Jumlah RNA yang lebih dari 100,000 copy/millimeter darah menandakan bahwa infeksi HIV baru saja terjadi atau tidak tertangani. Sementara itu, jumlah RNA yang masih berada di bawah 10,000 copy/millimeter darah menunjukkan perkembangan virus yang tidak terlalu cepat, meskipun tetap saja, kerusakan pada sistem kekebalan tubuh telah mulai terjadi.
 
Selain itu, untuk dapat menentukan pengobatan yang sesuai bagi penderita, dokter akan melakukan uji resistensi. Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk melihat apakah penderita memiliki resistensi terhadap obat tertentu, yang dikhawatirkan dapat menghambat proses pengobatan yang dilakukan. Meskipun sampai saat ini belum ada obat yang diakui secara global dapat menyembuhkan HIV, terdapat beberapa obat yang dapat memperlambat perkembangan virus pada tubuh penderita, yaitu obat golongan antiretroviral (ARV). Secara umum, ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk mereplikasi dirinya, dan ARV juga membantu mencegah virus HIV untuk menghancurkan sel CD4. Beberapa jenis obat ARV yang umum digunakan dalam pengobatan HIV di antaranya adalah Etravirine, Efavirenz, Lamivudin, Zidovudin, dan Nevirapine.
 
Selama penderita mengkonsumsi ARV, dokter akan melakukan monitoring secara ketat dan rutin, terutama pada jumlah virus (HIV RNA) dan jumlah sel CD4. Monitoring tersebut ditujukan untuk melihat dan menilai respon tubuh penderita terhadap pengobatan yang diberikan. Pemeriksaan HIV RNA umumnya dilakukan setiap 3 – 6 bulan, sementara pemeriksaan hitung sel CD4 umumnya dilakukan setiap 3 – 4 bulan. Selain itu, dokter juga akan melakukan monitoring terhadap penyakit-penyakit yang dapat menjadi komplikasi dari HIV/AIDS, seperti misalnya penyakit pneumonia, tuberculosis, dan meningitis.
 
Nah, mari kita kembali pada insidensi HIV pada kelompok ibu rumah tangga.
 
Secara umum, penyebaran dan penularan infeksi HIV disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Oleh karena itu, meskipun pada dasarnya semua orang dapat terinfeksi HIV, terdapat kelompok-kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi HIV, seperti misalnya, orang yang berganti-ganti pasangan seksual, orang yang membuat tato atau tindikan di tempat yang tidak steril, dan pengguna narkotika melalui jarum suntik. Fakta kelompok berisiko inilah yang menjadi concern dari Kementerian Kesehatan, di mana, ‘seharusnya’ ibu rumah tangga bukan merupakan kelompok yang berisiko tinggi untuk terinfeksi HIV dan menderita AIDS.
 
Mohammad Syahril selaku Juru Bicara Kementerian Kesehatan dalam Konferensi Pers Melindungi Anak dari Penyakit Menular Seksual pada 8 Mei 2023 lalu menyampaikan bahwa kelompok ibu rumah tangga menempati urutan tertinggi kelompok dengan HIV-AIDS. Data Kementerian Kesehatan tersebut merupakan data penderita HIV-AIDS yang dikelompokkan berdasarkan mata pencahariannya. Kelompok ibu rumah tangga mendominasi kelompok penderita HIV-AIDS, yaitu pada persentase sekitar 33%, di mana angka ibu rumah tangga penderita HIV-AIDS ternyata lebih tinggi dari angka kelompok pekerja seks komersial dan angka kelompok homoseksual (dalam hal ini: man to man) yang terinfeksi HIV dan menderita AIDS. Data Kementerian Kesehatan tersebut juga menunjukkan bahwa di setiap tahunnya, terdapat sekitar 5.100 kasus HIV baru yang terjadi pada ibu rumah tangga.
 
Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
 
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa kelompok ibu rumah tangga berisiko terinfeksi HIV lantaran memiliki suami yang berperilaku berisiko, terutama karena perilaku seksualnya. Fakta tersebut sangat disayangkan, lantaran, ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV sangat rentan menularkan infeksi tersebut kepada anak dan keluarga lainnya. Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa peningkatan insidensi HIV pada kelompok ibu rumah tangga tersebut turut menyumbang peningkatan insidensi HIV pada kelompok anak, di mana, penularan jalur vertikal/maternal (dari ibu ke anak) ini menyumbang sekitar 20 – 45% dari seluruh jalur penularan HIV. Berdasarkan data yang ada, 45% bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV juga akan turut terinfeksi penyakit tersebut dan menderita penyakit tersebut di sepanjang hidupnya. Saat ini, kasus HIV pada anak usia 1 – 14 tahun telah mencapai 14.150 kasus, dan angka tersebut diperkirakan akan bertambah sekitar 700 – 1.000 kasus di setiap tahunnya.
 
Selain memiliki suami dengan perilaku berisiko, tingginya insidensi kasus HIV pada kelompok ibu rumah tangga disinyalir juga diakibatkan oleh stigma negatif yang melekat pada HIV. Hal tersebut tercermin oleh fakta di mana hanya 55% dari ibu hamil yang menjalani pemeriksaan HIV pada saat kehamilannya. Padahal, pemeriksaan HIV pada ibu hamil merupakan salah satu deteksi dini yang penting untuk dilakukan, yang diharapkan dapat mendeteksi infeksi HIV secara dini pada ibu dan calon bayi, sehingga pengobatan adekuat dan segera dapat dilakukan. Masih belum tingginya angka pemeriksaan HIV pada ibu hamil ini sebagian besar disebabkan oleh tidak didapatkannya izin dari suami untuk melakukan pemeriksaan HIV. Hal ini dapat disebabkan oleh rasa enggan suami untuk membiarkan istrinya melakukan pemeriksaan HIV lantaran stigma negatif HIV, atau juga dapat disebabkan oleh rasa khawatir suami kalau istrinya akan terdeteksi positif HIV karena suaminya sebenarnya telah mengetahui bahwa dirinya merupakan penderita HIV.
 
Upaya pemberantasan, penanggulangan, dan pencegahan peningkatan insidensi kasus HIV di Indonesia sepertinya masih perlu melalui perjalanan yang panjang dan berat. Kita perlu memusatkan upaya untuk mengatasi stigma HIV yang buruk di masyarakat, yang mana sebenarnya justru akan memperlambat dan mempersulit penanganan dari HIV itu sendiri. Concern Kementerian Kesehatan harus ditempatkan pada dikencangkannya gerakan door-to-door yang komprehensif, di mana edukasi perlu dilakukan kepada keluarga –terutama ibu rumah tangga- akan risiko, gejala, deteksi, pengobatan, dan potensi komplikasi dari HIV. Edukasi terhadap keluarga tersebut diharapkan dapat membantu memperbaiki komunikasi dan keterbukaan di antara anggota keluarga, apabila ternyata ada di antara anggota keluarga tersebut yang positif terinfeksi atau berisiko terinfeksi HIV. Harapannya, edukasi dan keterbukaan komunikasi tersebut dapat menggerakkan awareness akan HIV dan AIDS di level keluarga, serta dapat membantu menurunkan insidensi kasus HIV di Indonesia.
 
Stay safe and healthy, semuanya!
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id