09 July 2024
751
Reasuransi Jiwa
Sepak Terjang Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS)
Pada bulan Maret 2024, Jepang dikabarkan dilanda sebuah wabah penyakit yang terbilang langka dan mematikan. Wabah penyakit tersebut dikenal sebagai Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS). Sebenarnya, STSS sendiri bukan merupakan penyakit yang benar-benar baru.
Tahun 2023 lalu, National Institute of Infectious Disease (NIID) telah mencatat kejadian STSS sebanyak 941 kasus. Meskipun demikian, kasus STSS memang tercatat melonjak sangat tajam pada awal tahun 2024 ini. Per tanggal 10 Maret 2024, NIID telah mencatat terjadinya 474 kasus STSS di Jepang dengan mortality rate yang mencapai 30%.
Apakah sebenarnya STSS ini dan bagaimana penyakit tersebut dapat menimbulkan fatalitas yang tinggi?
Dilansir dari halaman Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh bakteri bernama Streptococcus pyogenes. Streptococcus sendiri telah tercatat sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan infeksi invasive pada manusia, terutama mereka yang memiliki imunitas kurang baik (immunocompromised). Infeksi dari bakteri tersebut menyebabkan sekumpulan gejala dengan onset mendadak yang ditandai dengan adanya shock, kegagalan fungsi organ, dan kematian.
Streptococcus pyogenes merupakan bakteri gram-positive, yang berdasarkan klasifikasi Lancefield termasuk salah satu bakteri yang berada di dalam group A. Oleh karena itu, Streptococcus pyogenes juga dikenal sebagai A Streptococcus atau A strep. Sebenarnya, tidak semua penderita yang terinfeksi Streptococcus pyogenes akan mengalami STSS.
Saat bakteri Streptococcus pyogenes menginfeksi orang dengan imunitas baik, umumnya orang tersebut ‘hanya’ mengalami gejala ringan seperti nyeri tenggorokan, batuk, atau bahkan tidak mengalami gejala apapun. Meskipun demikian, dalam lingkup studi laboratorium, bakteri Streptococcus pyogenes yang ditumbuhkan dalam cawan memang dapat memicu terjadinya β-hemolysis (complete hemolysis). Oleh karena itu, pada kondisi infeksi yang nyata, produksi bacterial exotoxins dan faktor virulensi yang terjadi di jaringan tubuh dan aliran darah dapat menyebabkan induksi aliran cytokine. Aliran cytokine yang masif ini dapat menyebabkan shock dan kegagalan fungsi organ.
Penyakit STSS di Jepang pertama kali teridentifikasi pada tahun 1992. Sejak saat itu, di setiap tahunnya terdapat sekitar 100 – 200 kasus STSS yang tercatat di Jepang. Meskipun demikian, baru sejak tahun 2019, Jepang mencatat peningkatan kasus STSS yang sangat melonjak yaitu sebanyak 894 kasus pada tahun 2019.
Apa saja gejala yang dialami oleh penderita STSS?
Serupa dengan sebagian besar penyakit infeksi lainnya, STSS umumnya diawali dengan influenza-like symptoms seperti demam, meriang, nyeri otot, serta mual dan muntah. Meskipun demikian, apabila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat, penderita STSS dapat memburuk dengan cepat ke tahapan di mana terjadi sepsis yang disertai dengan adanya hipotensi (penurunan tekanan darah), tachycardia (peningkatan denyut nadi), tachypnea (peningkatan laju pernafasan), serta kegagalan fungsi organ yang umumnya terjadi pada ginjal, liver, dan paru-paru.
Pada dasarnya, infeksi group A Strep jenis apapun dapat berkembang dengan buruk dan menjadi STSS. Penyakit STSS sendiri diawali dengan masuknya bakteri melalui cedera terbuka atau mucous membrane. Lokasi infeksi group A Strep yang umumnya dapat mengarah ke STSS di antaranya adalah vagina, faring, mukosa, kulit, serta jaringan lunak.
Sebagai contoh, apabila terjadi cedera pada kulit akibat sayatan (misalnya, pada saat dilakukan operasi), bakteri Streptococcus pyogenes berpotensi masuk melalui luka sayatan tersebut dan menyebabkan infeksi. Selanjutnya, bakteri akan masuk ke jaringan dalam dan aliran darah hingga akhirnya menyebabkan infeksi berat yang bersifat sistemik.
Penyakit STSS tahap awal cenderung sulit dikenali karena gejalanya yang masih sangat bias dan sangat mungkin ditemui pada penyakit-penyakit lainnya. Hal tersebut yang mungkin membuat penegakkan diagnosa dan penanganan pada penderita STSS sering terlambat.
Pada umumnya, penderita STSS ‘baru’ terdiagnosa apabila sudah terjadi hipotensi (tekanan darah kurang dari 90/60 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari percentile kelima pada anak berusia kurang dari 16 tahun), gangguan fungsi ginjal (level creatinine lebih dari 2 mg/dL pada dewasa), coagulopathy (level trombosit kurang dari 100,000/mm3), gangguan fungsi liver (peningkatan kadar enzim liver lebih dari dua kali range normalnya), acute respiratory distress syndrome (ARDS), erythematous macular rash yang meluas, serta nekrosis pada soft-tissue (necrotizing fasciitis, myositis, atau gangrene). Oleh karena itu, apabila terdapat infeksi yang cukup berat dan memburuk dengan cepat pada pasien yang dinilai berisiko, ada baiknya apabila dilakukan pemeriksaan untuk memastikan apakan pasien itu menderita STSS atau tidak.
Siapa saja orang yang berisiko terinfeksi STSS?
Penyakit STSS dapat terjadi pada siapapun. Pada sekitar tahun 1980an ditemukan fakta bahwa STSS juga dapat terjadi pada kelompok usia muda yang secara umum memiliki kondisi yang sehat. Meskipun demikian, STSS paling umum ditemui pada kelompok usia 65 tahun ke atas yang kondisi imunitasnya cenderung menurun.
Selain itu, sebagian besar dari penderita STSS ternyata memiliki riwayat pembedahan, cedera pada kulit, penyakit kronis, atau mengkonsumsi obat yang masuk ke dalam kelompok non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs).
Dikutip dari Asahi Shimbun, sepanjang Juli hingga Desember 2023 lalu, sebanyak 65 orang berusia kurang dari 50 tahun terdiagnosa STSS dan 21 penderita di antaranya meninggal dunia. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya fatalitas dari STSS tidak hanya terjadi pada kaum lansia atau immunocompromised saja, melainkan juga dapat menimpa kelompok dewasa yang kondisi kesehatannya secara umum baik.
Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM menyampaikan melalui edukasi media sosialnya bahwa tingginya kejadian serta fatalitas dari kasus-kasus STSS belakangan ini dapat juga disebabkan oleh long tail effect dari COVID-19, di mana para penyintas COVID-19 yang saat ini terinfeksi oleh STSS mengalami immunity multiplier effect yang dapat mengarah ke perburukan dan fatalitas penyakit.
Apa saja pengobatan yang dapat diberikan kepada penderita STSS?
Mengingat tingkat fatalitasnya yang cukup tinggi, penderita STSS harus mendapatkan penanganan yang adekuat dan segera. Perawatan sangat direkomendasikan untuk dilakukan di rumah sakit (rawat inap) untuk memastikan pasien mendapatkan pengobatan yang dibutuhkan dan mengantisipasi adanya perburukan yang membuat pasien membutuhkan perawatan intensif.
Pemberian antibiotik menjadi salah satu kunci utama dari pengobatan STSS. Pemberian antibiotik harus diberikan secara adekuat dan dilakukan evaluasi setiap 24 – 48 jam untuk memastikan progress dari pasien. Pemberian antibiotik pada pasien STSS umumnya dilakukan secara kombinasi. Pemberian Penicillin dan Clindamycin umumnya menjadi first line regiment pada pengobatan STSS. Selain itu, pemberian immunoglobulin via jalur intravena juga dapat diberikan pada pasien dengan sakit yang berat atau imunitas yang kurang baik.
Hal yang tidak kalah penting dari pengobatan STSS adalah mengeliminasi sumber infeksi. Misalnya, pada penderita STSS yang diperkirakan infeksinya muncul dari infeksi kulit, tindakan surgical debridement harus dilakukan untuk mengantisipasi perluasan infeksi.
Nah, teman-teman, hanya karena pandemi COVID-19 telah mereda, jangan sampai kita mengabaikan kesehatan kita dan pentingnya melakukan protokol kesehatan ya. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan perlindungan.
Stay safe and healthy, semuanya!