Reasuransi Jiwa
Mengenal Insomnia dan Sleep Deprivation
Insomnia tentunya bukan kata yang asing lagi bagi kita, bahkan, sebagian dari kita mungkin pernah merasa kalau kita ‘mengalami insomnia’. Selama ini, kita mengenal insomnia sebagai suatu kondisi di mana kita mengalami kesulitan untuk tertidur. Namun, tahu kah kalian, kalau ternyata cakupan dari insomnia lebih luas dari sekedar ‘sulit tidur’?
Sumber foto: www.freepik.com
Dikutip dari
American Academy of Sleep Medicine, insomnia dapat diartikan sebagai gangguan tidur yang dapat meliputi kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan untuk tetap berada dalam kondisi tidur, terbangun di tengah sesi tidur, bangun dari tidur terlalu cepat dan tidak dapat kembali tidur, serta tidur yang berkualitas buruk dan bersifat
non-restorative.
Insomnia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk di antaranya faktor
biological, psychological, dan
social. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, insomnia dikelompokkan menjadi insomnia primer dan insomnia sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang tidak dilatarbelakangi oleh kondisi medis tertentu atau gangguan lainnya. Sementara, insomnia sekunder adalah insomnia yang dilatarbelakangi oleh adanya gangguan kesehatan lainnya, seperti GERD, asma, gangguan psikologis, serta penyalahgunaan obat, alkohol, atau substansi tertentu.
Selain berdasarkan faktor yang mempengaruhinya, insomnia juga dapat dikelompokkan berdasarkan lama waktu terjadinya, yang terdiri dari insomnia akut dan insomnia kronis. Insomnia akut merupakan insomnia yang terjadi dalam jangka waktu pendek, yaitu sekitar beberapa hari hingga beberapa minggu. Insomnia akut ini umumnya di
trigger oleh adanya
stressor akut, seperti kehilangan keluarga, hubungan yang tidak baik dengan pasangan atau teman, atau adanya permasalahan pekerjaan.
Dikutip dari
The International Classification of Sleep Disorders 2nd Edition, insomnia akut memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan
adaptive disorder, di mana, penderitanya sedang mengalami suatu perubahan dalam hidupnya dan kesulitan untuk dapat beradaptasi. Oleh karena itu, insomnia akut sering dikenal juga sebagai
adjustment insomnia. Penderita insomnia akut umumnya dapat pulih sempurna apabila penyebab dari insomnianya dapat diidentifikasi dan diatasi dengan baik.
Sumber foto: www.freepik.com
Apabila penderita insomnia akut tidak mendapat penanganan yang adekuat, kondisi insomnianya dapat terjadi secara berkepanjangan dan akhirnya menjadi insomnia kronis. Insomnia kronis tidak harus berarti bahwa seseorang mengalami insomnia setiap hari. Orang yang mengalami insomnia setidaknya tiga hari dalam seminggu dan telah mengalami hal tersebut selama tiga bulan berturut-turut juga dapat dikatakan mengalami insomnia kronis. Beberapa hal yang dapat menyebabkan insomnia kronis di antaranya adalah menderita gangguan psikologis seperti gangguan cemas, depresi, atau bipolar; menderita penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang seperti diabetes, hipertensi, atau kanker; serta mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung substansi tertentu –misalnya, kafein-.
Berdasarkan data dan studi yang ada, insomnia ternyata mempengaruhi sekitar 30% dari populasi orang dewasa di seluruh dunia. Meskipun demikian, insomnia tidak hanya dapat dialami oleh orang dewasa saja, karena, anak-anak pun ternyata dapat menderita insomnia.
Insomnia pada anak dapat terjadi dalam beberapa bentuk, di antaranya adalah
sleep-onset insomnia dan
limit-setting insomnia. Sleep-onset insomnia merupakan kondisi di mana anak mengalami kesulitan tidur karena terbiasa dengan kebiasaan tertentu, misalnya, anak baru bisa tidur saat digendong atau digoyang tempat tidurnya, atau anak baru bisa tertidur sambal menghisap dot, ibu jari, atau memegang boneka tertentu. Anak yang mengalami
sleep-onset insomnia umumnya akan mengalami kesulitan untuk memulai tidur apabila kebiasaannya tersebut tidak dilakukan.
Sumber foto: www.freepik.com
Limit-setting insomnia merupakan kondisi di mana anak mengalami gangguan tidur karena tidak ada aturan tegas yang diberikan oleh orang tuanya. Anak yang mengalami
limit-setting insomnia umumnya menolak untuk tidur, karena memang orang tuanya tidak memberikan batasan jam tidur dan jam bangun tertentu untuk anaknya.
Limit-setting insomnia ini erat kaitannya dengan pola asuh orang tua, dan berdasarkan data yang ada, sekitar 10 – 30% dari populasi anak di seluruh dunia ternyata mengalami
limit-setting insomnia.
Dari kedua bentuk insomnia pada anak tersebut, dapat kita lihat bahwa sebenarnya insomnia tersebut dapat diatasi dengan memperbaiki pola asuh pada anak. Orang tua perlu menetapkan aturan yang tegas terkait dengan jam tidur dan jam bangun anak, karena kecukupan tidur sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak. Selain itu, orang tua dan anak dapat melakukan ‘ritual’ yang menyenangkan dan produktif sebelum waktu tidur anak, seperti misalnya membaca buku atau menggosok gigi bersama, yang selain dapat membuat anak ‘nyaman’, juga dapat dijadikan sarana edukasi orang tua kepada anak.
Selain insomnia, terdapat juga gangguan tidur yang disebut dengan
sleep deprivation. Sleep deprivation merupakan kondisi di mana seseorang mengalami kurang tidur, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Sleep deprivation sendiri berbeda dari insomnia, di mana, penderita insomnia mengalami kesulitan tidur walaupun mereka sebenarnya memiliki cukup waktu untuk dapat tidur dengan baik. Sementara. penderita
sleep deprivation mengalami kekurangan kuantitas dan kualitas tidur karena memang tidak memiliki cukup waktu untuk tidur –misalnya, karena pekerjaan, kesibukan, atau kebiasaannya-.
Terlepas dari perbedaan tersebut, baik insomnia maupun
sleep deprivation dapat mempengaruhi kualitas tidur, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup dan kesehatan kita secara umum. Pada umumnya, orang dewasa membutuhkan waktu tidur sebanyak 8 jam dalam sehari untuk mempertahankan kesehatan dan kebugarannya. Gangguan tidur tentunya akan menimbulkan gangguan lebih dari sekedar ‘mengantuk dan merasa lelah pada siang hari’. Berdasarkan data dan studi yang ada, orang yang mengalami gangguan tidur cenderung lebih mungkin mengalami penyakit kronis –seperti kanker, diabetes, dan hipertensi-, nyeri kepala, gangguan pencernaan, nyeri otot, sendi, dan saraf,
mood yang berfluktuatif, penurunan fokus dan konsentrasi, penurunan daya ingat, penurunan performa di pekerjaan atau sekolah, hingga dapat memicu terjadinya cedera atau kecelakaan pada saat beraktivitas.
Apabila kita mengalami insomnia atau
sleep deprivation, kita tentu harus segera mengidentifikasi penyebab serta mendapatkan terapi yang adekuat untuk kondisi tersebut. Kita dapat melakukan konsultasi dengan dokter untuk dapat membantu mengidentifikasi penyebab dari gangguan tidur yang kita alami. Untuk pengobatan, umumnya dokter akan melakukan konseling, psikoterapi, pemberian obat-obatan, atau kombinasi dari terapi-terapi tersebut. Beberapa obat yang umumnya diberikan kepada penderita insomnia atau
sleep deprivation di antaranya adalah
anti-histamine, benzodiazepine receptor agonist, non-hypnotic benzodiazepines, anti-depressant, anti-convulsant, dan
barbiturate. Meskipun obat-obatan tersebut dapat meredakan gangguan tidur, peresepan dan konsumsi obat-obatan tersebut harus dilakukan dalam pengawasan dokter untuk mencegah potensi terjadinya penyalahgunaan.
Selain pemberian obat-obatan, dokter umumnya akan merekomendasikan agar penderita menjalani
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang meliputi
Cognitive Therapy, Relaxation Therapy, dan
Stimulus Control. Hal yang paling utama dan harus diingat adalah obat-obatan dan terapi tersebut harus dibarengi dengan upaya mengatasi faktor yang menyebabkan gangguan tidur. Misalnya, apabila kita mengalami gangguan tidur karena gemar menonton Drama Korea secara maraton, mungkin kita harus mengurangi dan membatasi kebiasaan kita tersebut. Selain itu, kita juga harus menghindari kebiasaan-kebiasaan yang dapat memicu gangguan tidur seperti tidur siang terlalu lama atau mengkonsumsi minuman berkafein pada saat malam hari.
Stay safe and healthy, semuanya!