26 April 2023
9294
Reasuransi Jiwa
Sudden Sensorineural Hearing Loss
Penyakit ‘stroke telinga’ alias ‘ear stroke’ ramai menjadi perbincangan beberapa waktu yang lalu. Penyakit yang diagnosisnya disampaikan oleh dokter di Indonesia ini, dinyatakan sebagai ‘tidak ada’ oleh dokter lain di luar negeri. Hal tersebut menimbulkan keramaian dan pertanyaan terkait apakah kompetensi dokter di Indonesia kurang mumpuni dan tidak dapat dibandingkan dengan kompetensi dokter di luar negeri.
Sebetulnya, memang dalam dunia medis tidak ada penyakit atau istilah ‘stroke telinga’. Istilah tersebut lebih merupakan bahasa awam dokter untuk berkomunikasi dengan pasien dalam menyebut kondisi yang dinamakan Sudden Sensorineural Hearing Loss. Di artikel ini, tentu saja kita tidak akan membahas terkait polemik penggunaan istilah ‘stroke telinga’, yaa. Melainkan, kita akan membahas secara mendalam terkait kondisi Sudden Sensorineural Hearing Loss itu sendiri J
Dilansir dari National Institutes of Health (NIH), tepatnya dari National Institute on Deafness and Other Communication Disorder, Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSHL) merujuk kepada kondisi kehilangan pendengaran yang dialami oleh seseorang secara mendadak (sudden deafness). Kehilangan pendengaran tersebut dapat terjadi secara total dan sekaligus, namun dapat juga bersifat gradual (semakin memburuk dengan cepat dari hari ke hari). Kehilangan pendengaran ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua telinga. Meskipun penyebab pastinya sulit diidentifikasi, SSHL umumnya disebabkan oleh gangguan pada sensory organs pada telinga bagian dalam.
Penyebab dari SSHL amat beragam, dan kondisi SSHL sendiri memiliki banyak underlying cause, seperti infeksi pada telinga, cedera kepala, penyakit autoimmune, efek samping kemoterapi, konsumsi antibiotik tertentu, gangguan peredaran darah, aging process, tumor, gangguan neurologis seperti Multiple Sclerosis, dan kelainan telinga dalam seperti Meniere’s Disease. Pada bayi baru lahir, kondisi SSHL dapat disebabkan oleh faktor genetik, berat badan lahir rendah, infeksi Toxoplasmosis, atau infeksi lainnya yang ditularkan oleh ibu, seperti Rubella, Syphilis, atau Herpes.
Gejala yang dirasakan oleh penderita SSHL dapat serupa dengan penyakit/kondisi lainnya. Hanya sekitar 10% dari penderita SSHL yang dapat diketahui secara pasti underlying cause dari diagnosis SSHL yang dialaminya. Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk mampu menggali riwayat atau gejala lainnya yang dialami oleh penderita. Misalnya, penderita SSHL yang mengalami kehilangan pendengaran di kedua telinga umumnya mengalami tumor di area telinga atau penyakit autoimmune tertentu.
Penderita SSHL umumnya merasakan kehilangan pendengaran secara mendadak saat bangun tidur di pagi hari. Terkadang, penderita baru merasakan kalau mereka mengalami kehilangan pendengaran di salah satu telinga pada saat menggunakan telepon. Beberapa penderita SSHL merasakan adanya suara letupan keras seperti ‘POP!’ pada telinga, tepat sebelum mereka mengalami kehilangan pendengaran. Biasanya, beberapa hari sebelum kehilangan pendengaran, penderita juga mengeluhkan kalau mereka mengalami sensasi ‘penuh’ pada telinga (bindeng), dizziness (pusing/keliyengan), tinnitus (telinga berdering), vertigo, gangguan koordinasi tubuh, dan gangguan mendengar suara dengan nada tinggi.
Penderita SSHL pada awalnya menyangka kalau mereka mengalami alergi, infeksi rongga sinus (sinusitis), atau penumpukkan kotoran telinga yang mengakibatkan mereka mengalami gangguan pendengaran. Asumsi tersebut umumnya menjadi penyebab penderita SSHL terlambat memeriksakan diri ke dokter, karena mereka berasumsi bahwa gangguan tersebut akan mereda dengan sendirinya. Padahal, penting bagi penderita kehilangan pendengaran untuk dapat segera memeriksakan diri ke dokter, untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat, agar pendengarannya dapat dipulihkan seperti sedia kala.
Dalam proses penegakkan diagnosis SSHL, penting bagi dokter untuk mampu membedakan antara SSHL dengan gangguan pendengaran lainnya, seperti Conductive Hearing Loss (CHL). Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk dapat melakukan pemeriksaan telinga secara mendetail, untuk memastikan dugaan diagnosis yang ada, karena, presisi diagnosis dapat mempengaruhi pilihan pengobatan yang dilakukan kepada penderita.
Pada penderita kehilangan pendengaran mendadak, dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan yang dinamakan pure tone audiometry. Pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk mengetahui seberapa keras frekuensi atau nada suara yang diperlukan agar pasien dapat mendengar suara tersebut. Salah satu pertanda dari SSHL adalah hilangnya pendengaran pada setidaknya 30 decibels pada tiga frekuensi berturut-turut dalam waktu 72 jam. Penurunan ini akan menyebabkan pasien mendengar suara percakapan hanya sebagai ‘bisikan’. Selain pemeriksaan pure tone audiometry ini, dokter juga mungkin akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan darah, pemeriksaan pencitraan (imaging, seperti MRI), dan pemeriksaan keseimbangan.
Penatalaksanaan sudden deafness umumnya dilakukan dengan pemberian obat kortikosteroid, terutama, untuk sudden deafness yang belum dapat diketahui penyebabnya dengan pasti. Pemberian kortikosteroid umumnya dilakukan dengan mengkombinasikan pemberian kortikosteroid injeksi intra-timpani dengan kortikosteroid sistemik. Obat kortikosteroid dan steroid dapat membantu mengurangi peradangan, pembengkakan, dan membantu tubuh untuk mengatasi berbagai penyakit. Oleh karena itu, pemberian kortikosteroid/steroid umumnya diberikan pada penderita, bahkan sebelum pemeriksaan yang dilakukannya menunjukkan hasil tertentu. Pemberian pengobatan kortikosteroid dengan segera tidak hanya dimaksudkan untuk mengurangi gejala yang dialami oleh penderita, namun juga dapat mencegah terjadinya kehilangan pendengaran yang permanen. Meskipun demikian, pemberian kortikosteroid terutama injeksi tidak direkomendasikan bagi penderita yang mengalami penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus tidak terkontrol, hipertensi tidak terkontrol, Tuberculosis, dan ulkus peptikum.
Penatalaksanaan SSHL dapat secara spesifik diberikan apabila dokter telah mengetahui penyebab dari kondisi SSHL itu sendiri. Misalnya, pada SSHL yang disebabkan oleh infeksi telinga, dokter akan memberikan obat antibiotik. Kemudian pada SSHL yang disebabkan oleh kondisi autoimmune, dokter akan memberikan obat immunosuppressant yang dapat membantu menekan kerja sistem imun, agar pendengaran penderita berangsur membaik.
Pada kasus kehilangan pendengaraan yang berat, terjadi pada kedua telinga, atau tidak merespon kepada pengobatan yang diberikan, dokter dapat merekomendasikan penderita untuk menggunakan hearing aids (untuk amplifikasi suara), atau melakukan cochlear implant (untuk memberikan stimulasi kepada auditory connections pada telinga yang menuju ke otak secara langsung).
Nah, bagaimana teman-teman, sudah lebih memahami tentang SSHL kan? Yang penting untuk diingat adalah apabila teman-teman mengalami gangguan atau kehilangan pendengaran, jangan remehkan kondisi tersebut, dan segera periksakan diri ke dokter yaa. Bagi teman-teman yang memiliki bayi atau anak kecil, gangguan pendengaran bahkan dapat terlihat sangat ‘subtle’, dan mungkin ‘hanya’ tampak sebagai kesulitan mendengar stimulus suara, tidak kaget atau bereaksi saat mendengar suara keras, mengalami beberapa episode infeksi telinga, atau mengalami gangguan keseimbangan. Segera periksakan anak ke dokter, agar diagnosisnya dapat segera ditegakkan dan kondisinya dapat segera tertangani.
Stay safe and healthy, semuanya!